Inspirasi





KATA PENGANTAR

 
Assalamu'alaikum Wr Wb.
Bismillahirrahmanirrahim

Selamat datang dan terima kasih karena anda telah sudi mengunjungi Blog  ini. Sahabat ku..! Mungkin tulisan yang sedang  anda baca ini banyak kelemahannya,  terutama dalam pemakaian kosakata.

Sebenarnya siapapun kita apapun profesi kita tentu mempunyai sejarah dan cerita tersendiri. Cuma saja kita tidak pernah mencoba untuk menuangkannya dalam sebuah tulisan. Kenapa..? Jawaban tentu saja beranekaragam, ada yang mengatakan saya tidak punya waktu, tidak punya kemampuan bahkan tidak punya teknik  ilmu di bidang tulis menulis dan lain sabagainya.

 

Pengunjung yang budiman, sebenarnya kita ini adalah penulis yang handal. Masih ingatkah anda ketika kita  masih duduk di bangku sekolah dahulu, mulai dari sekolah Taman Kanak-Kanak sampai ke perguruan tinggi. Hari-hari kita ketika itu disibukkan dengan belajar membaca dan menulis. Kenapa hari ini kita tidak mengulanginya lagi..? setidak-tidaknya kita masih bisa menulis tentang kejadian sehari-hari yang sedang kita hadapi atau kejadian di lingkungan kita sendiri.
Padahal, meskipun kita tidak lagi di bangku pendidikan, tetapi tetap saja kita sehari-harinya melakukan aktivitas berkomunikasi dengan segala  urusan yang patut kita catat melalui tulisan. Bahkan, mungkin saja kejadian atau pengalaman yang kita lihat /alami pada hari ini berguna untuk orang lain yang harus kita sampaikan kepada public agar mereka mengetahui dan menjadikannya sebuah referensi. Sehingga apabila mereka (yang membaca tulis kia itu) sedang menghadapi pesolan dan hal yang sama seperti yang perna kita hapabpi, tentu secara tidak langsung mereka telah mendapatkan jawaban dari goresan tulisan kita yang perna dibacanya.
Apa bedanya ketika kita masih di bangku sekolah, hampir seluruh kegiatan di sekolah/kampus pada saat itu kita tuang dalam buku harian, bahkan banyak dari pada kita pada ketika itu mempublikasikannya melalui majalah dinding yang ada di sekolah/kampus kita.
Kenapa kebiasaan menulis ini tidak kita lakukan lagi…? Kini Blog MEDIA ONLINE PEWARTA INDONESIA adala salah satu Blog tempat kita mencoba  kembali dan mengulangi aktivitas menulis yang perna kita lakukan ketika masi duduk di bangku pendidikan dulunya.  
 Blog MEDIA ONLINE PEWARTA INDONESIA ini disingkat (MOPI)  adalah salah satu Blog dimana tempatnya Pewarta Warga menyalurkan  tulisanya yang kini tren disebut Citizen Journalist.

Blog MEDIA ONLINE PEWARTA INDONESIA  adalah salah satu dari sekian banyak media online di tanah air saat ini untuk para Pewarta Warga Indonesia / Indonesian Citizen Journalist Association, baik dalam maupun luar negeri  untuk "berkarya".  

Pengunjung yang budiman. Kami sebagai pengelolah Blog ini mempunyai kemampuan yang sangatlah terbatas, jadi kami sangat berharap para pengunjung yang budiman bisa memberi masukan, saran, dan keritikan bahkan bersama-sama ikut mebantu mengembangkan Blog MOPI ini, disamping menyumbangkan karya-karya tulisannya yang bermanfaat untuk Publik, sesuai dengan namannya.

Disamping kita menulis dan menyampaikan aspirasi jangan lupa mengacu kepada kode etik Indonesian Citizen Journalist Association. Sebab secara tidak langsung kita sebagai pewarta warga melalui tulisan kita, tentu secara tidak lansung kita telah ikut berpartispasi dan menyumbang ide-ide untuk proses percepatan pembangunan negeri ini, setidak-tidaknya kita menberitakan diri sendiri atau lingkungan di sekitar kita.

Dijelaskan dalam UU NOMOR 14 TAHUN 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP). Bahwa informasi merupakan kebutuhan pokok setiap  Orang bagi pengembangan pribadi dan lingkungan sosialnya serta merupakan bagian penting bagi ketahanan nasional.

Bahwa sesunggunya hak memperoleh informasi merupakan hak asasi  manusia dan keterbukaan Informasi Publik merupakan salah satu ciri penting  negara demokratis yang menjunjung tinggi kedaulatan rakyat untuk mewujudkan  penyelenggaraan negara yang baik.

Bahwa keterbukaan Informasi Publik merupakan sarana dalam mengoptimalkan pengawasan public terhadap penyelenggaraan negara dan Badan Publik lainnya  dan segala sesuatu yang berakibat pada kepentingan publik.
Serta pengelolaan Informasi Publik merupakan salah satu upaya untuk mengembangkan masyarakat informasi; sebagaimana dimaksud di UU NOMOR 14 TAHUN 2008 Pasal 20, Pasal 21, Pasal 28 F, dan Pasal 28 J Undang-Undang   Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Bagi pengunjung yang budiman yang hobi menulis cerpen, puisi, sanjak, dan artikel lainnya, seperti  Opini, Pariwara dan tulisan Ilmia lainnya. Kami selaku pengelolah Blog ini sangat mengharapakan, dengan catatan:

Tulisan tidak anda tidak dipublikasikan jika ada sifatnya dan unsur pencemaran nama baik. Baik itu person maupun lembaga.

Kirim indititas anda yang lengkap ke email c.rifnaldi@yahoo.co.id  & ocerifnaldi@gmail.com   
Semogah Blog ini nantinya bermanfaat bagi pengunjung yang budiman dan menjadi acuan dan di minati oleh Pewarta Warga di Tanah Air yang hobi menulis. Amin.... 
Wassalam
                                                                                        Selasa 8 Februari 2011  
                                                                                      
                                                                                       Pengelolah Blog MOPI
                                                                                                 
                                                                                                 RIFNALDI
 ======================================================================

Jenderal Chaiyya Chaiyya Briptu Norman Kamaru Mengubah Wajah Polisi

KOPI, Seandainya Briptu Norman Kamaru sudah diterima di Brimod dan di tempatkan di Medan atau di Binjai Sumut Indonesia pasti perang antara tentara dan polisi pada saat itu dapat dicegah atau dihindarkan. Bayangkan, tugas berat yang membebani kedua aparat tersebut namun kesejahrteraan tidak terjamin. Membuat emosi dari ujung kaki naik ke lutut terus melewati laras pendek yang diapit dua peluru hingga keubun-ubun akan sirna takkala Norman Kamaru berdiri diantara manusia-manusia yang kesurupan itu. Bagaimana tidak, dengan hentakan gerakan seluruh tubuh, mimik wajah dan bibir Jenderal Chaiyya Chaiyya Briptu Norman sambil mengikuti irama lagu India Chaiyya Chaiyya yang dinyayikan artis terkenal India Shahrukh Khan akan membuat manusia dari 2 kesatuan yang berbeda itu, tertawa terbahak-bahak bahkan ikut berjoget ria. Sambil menyodorkan tangan untuk bersalaman ala SALAM AMERIKA, “Kita teman, kita bersahabat, kita bersaudara, kita sportif, kita jentlemen, kita anti pimpinan/penguasa yang diktator dan otoriter”, demikian kata-kata yang keluar dari para prajurit lapangan itu sambil berpelukan dan menepuk dada.
Ohhh bahagianya seandainya itu terjadi. Perang sungguhan pun terhindar, pertumpahan darah tidak ada. Sehingga korban yang tewas pun tidak ada dan lagu gugur bunga pun tidak jadi berkumandang. Tapi sayang 1000 triliun kali sayang (wah nih angka pajak yang menguap setiap tahun menurut pengakuan Gayus Tambunan sang pengheboh dari Republik danga-danga alias carut-marut) perang pun terjadi. Perang antara panser yang digunakan tentara dan senjata biasa yang digunakan polisi meletus. Tar…tir...tur…ter…tor, dar…dir…dur…der…dor (belajar baca di TK nih yeee) kilatan api keluar dari semua ujung senjata. Korban berjatuhan , darah berceceran nyawapun melayang. Sepuluh orang tewas, terdiri dari empat anggota Brimob, satu anggota TNI, dua anggota Polres, dan tiga warga sipil. Mereka korban langsung dari kontak senjata selama sembilan jam, antara pasukan TNI AD dari Batalion Lintas Utara (Linud) 100/Prajurit Setia (PS) Binjai dengan Polisi Binjai dan Brimob Medan.

Manusia aparat atau keparat yang dikasih makan oleh rakyat lupa diri akan motto SALAM AMERIKA. Egoisme, emosi, iblis, setan menjadi andalan kedua belah pihak. Mereka lupa bahwa mereka memiliki tanggung jawab besar dalam menjaga keamanan masyarakat dan kedaulatan rakyat. Oh manusia, siapakah sebenarnya yang kau sembah?
Jakarta heboh, Indonesia bergoyang dunia tercegang. Mengapa terjadi perang antar kesatuan aparat ? Presiden Jawa Megawati Soekarno Putri yang nota bene Islam, Pangab Jenderal Jawa Endiarto Sutarto yang nota bene Islam, Kasad Ryamizard Ryacudu yang bukan Jawa nota bene Islam dan Kapolri bukan Jawa Dai Bachtiar nota bene Islam ketakutan luar biasa. Takut menyebar perang antar kesatuan yang berbeda diseluruh Indonesia. Istana bergoyang seolah-seolah mau rubuh. Rapat dilakukan berkali-kali, telepon berdering-dering tak henti-hentinya antara Istana, Mabes Cilangkap, Mabesad, Mabes Polri. Kesimpulan pun diambil. Kasad terbang ke lokasi kejadian dan terjadilah pemecatan 20 anggota tentara langsung dipecat dan dihukum penjara. Prajurit yang dipecat tidak menerima putusan atasan itu dan unek-uneknya pun dibeberkan kepada para jurnalis. “Ada lebih 100 orang yang menyerang kantor polisi Binjai, tetapi mengapa cuman kami yang dipecat dan dipenjara. Ini benar-benar tidak adil”, teriak sang prajurit sambil menggebrak meja kuat2 dan alat2 jurnalispun berhamburan (wah tenaga raksasa nih, adu panco dong). Bahkan beberapa kancing baju para jurnalis terbuka. Wah asyik nih ada tontonan belahan gunung indah. Bolelah hitung-hitung ngilangin stress.
Peristiwa ini menjadi bukti ilmiah bahwa Demokrasi dan HAM masih dipalsukan di Indonesia. Di negara yang konsisten menjalankan Demokrasi dan menghormati HAM seperti Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Israel, Australia, Uni Eropah dll bahwa pimpinan/komandan akan melindungi sang prajurit. Seharusnya Presiden, Pangab, Kapolri dan Kasad yang harus mengundurkan diri dari jabatannya. Namun hal itu tidak terjadi di Indonesia. Pantas aja dari Presiden Jawa ke Presiden Jawa, dari Presiden Islam ke Presiden Islam dll hanya menjadikan bawahan santapan atau tumbal, yang penting DINASTI aman sentosa. Ohh para manusia busuk yang bau mu tercium keseluruh pelosok bumi ini terimalah akibatnya NKRI (Negara Kesatuan Teroris Indonesia) hancur dan akan semakin hancur. Mau mengetahui lebih detil kejadian Binjai Medan berdarah ketik di google/yahoo.
Antara Mamak, Amru dan Bekas Kesatuannya
Dari hari ke hari citra polisi semakin terpuruk di mata masyarakat. Padahal justru masyarakat atau rakyatlah yang memberikan makan polisi, tentara, PNS dll. Pungli masih sering terjadi dijalanan, di kantor pelayanan publik baik ketika hendak membayar/memperpanjang pajak kenderaan, penyelesaian kasus dll. Bahkan antara polisi dan Brimob yang sama2 bernaung dibawah Kapolri justru mengalami perbedaan kesejahteraan yang tinggi. Tidak heran Brimob selalu sinis melihat para polisi biasa baik polantas atau yang mengurusi administrasi. Kami dari Brimob harus bertarung nyawa dengan bom. Kesejahteraan yang kami dapatkan tidak sebanding dengan apa yang kami berikan. Tapi polisi yang mengurusi kenderaan dijalanan/administrasi di kantor dengan mudah mendapatkan apa yang mau mereka perlukan. Kesejahteraan mereka jauh lebih baik dari kami. Tapi kami dari Brimob terkadang tidak dapat tidur memikirkan istri, anak, dan dapur. Apa besok masih ada asap mengepul atau tidak, belum lagi pendidikan, kesehatan dll”, celoteh unek2 sang prajurit sambil menatap keatas sekalian melepas nafas panjang. Wah tragis dan ironis sekali kehidupan para penyelenggara negara ini. (Masih menunggu evolusi genetik jutaan tahun tapi berani2nya memimpin Indonesia. Akibatnya kesengsaraan terus berkembang seperti ulat bulu yang menyerang warga Jawa Timur dan Jawa Barat).
Siapakah Briptu Norman Kamaru ? yang pasti dia adalah manusia biasa. Mendadak terkenal ketika iseng hendak menghibur temannya yang lagi kesusahan. Dia seorang perjaka tapi sudah punya pacar (wah buat cewek2 lain pintu sudah tertutup buatmu). Tapi jadi penggemar sah2 sajalah. Norman Kamaru berpangkat Briptu dan bertugas di kesatuan Brimob Gorontalo. Lip Synch lagu India Chaiyya Chaiyya yang ditirukannya di You Tube justru diluar dugaan membuat dia terkenal dan tersohor di Indonesia bahkan dunia maya dan nyata. Sukses untukmu Briptu Norman Kamaru. God Bless You. Ganteng , berbicara simple, gerak tubuhnya mengundang ketawa, murah senyum, lirikan agak genit membuat yang ditatap penasaran. Pokoknya wajahnya bersahabatlah. Melalui profil dan ketenaran ini pantaslah Briptu Norman Kamaru mendapat gelar JENDERAL CHAIYYA CHAIYYA. Hidup sang Jenderal Chaiyya Chaiyya Briptu Norman Kamaru.
Boleh dong beliau dianugerahi Jenderal Chaiyya Chaiyya. Masak hanya Jenderal Rekening Gendut saja yang boleh. Jenderal Rekening Gendut jelas membangun kesengsaraan, kemiskinan rakyat. Lah kalau Jenderal Chaiyya Chaiyya Briptu Norman Kamaru jelas membangun kesejahteraan, adem ayam, kekompakan, keakrapan, membangun ekonomi, membangun sportifitas pokoknya serba yahudlah buat sang Jenderal Chaiyya Chaiyya. Dapat dikatakan Sang Jenderal Chaiyya Chaiyya Briptu Norman Kamaru telah berhasil mengubah wajah Polisi. Pokoknya Jenderal Chaiyya Chaiyya Briptu Norman pantas diangkat menjadi DUTA POLISI baik di Indonesia dan Dunia. “PBB/Perserikatan Bangsa Bangsa tolong sang Jenderal Chaiyya Chaiyya Briptu Norman Kamaru ini diangkat menjadi Duta Polisi untuk negara-negara berkembang/miskin di Asia dan Afrika. Untuk Indonesia sebagai negara pusat dosa bumi sang Jenderal ini pantaslah diangkat jadi KAPOLRI hahaha.
Sedikit melihat kebelakang lagu Chaiyya Chaiyya. Di mata pengamat ekonomi Drajad Wibowo, lagu 'Chaiyya, Chaiyya' yang dinyanyikan Norman tidak sekadar lagu biasa. Ada kisah unik dan pesan di balik lagu tersebut yang berkaitan dengan isu kekinian di tanah air.
Lagu India yang dinyanyikan Norman itu adalah "Chaiyya Chaiyya", yang artinya bayangan cinta, dinyanyikan oleh Sukhwinder Singh dan Sapna Awasthi. Lagu ini muncul di film Dil Se (1998) yang dibintangi Shahrukh Khan dan Malaika Arora. Pengarah musiknya adalah AR Rahman, yang lalu memenangi Oscar pada 2009 lewat aransemen musik dan lagu-lagu di Slumdog Millionaire (2008).
Mungkin Norman sendiri dia belum menyadari sejarah lagu kesukaannya tersebut. Lagu tersebut dipakai sebagai soundtrack film "Inside Man" yang dirilis akhir tahun 2006 lalu.
Film ini dibintangi oleh Denzel Washington, Clive Owen, Jodie Foster dan Willem Defoe, yang di sutradaranya oleh Spike Lee. Alur cerita film ini adalah tentang perampokan bank dan penyanderaan. Yang ujungnya adalah mengungkap kejahatan masa lalu seorang bankir top New York, yaitu kejahatannya jaman Nazi yang membantai Yahudi. Bankir ini mengkhianati teman Yahudinya ke Nazi dan menyimpan berlian Cartier milik temannya tersebut.Clive Owen yang berperan sebagai perampok bank yang membongkar bukti ini dan memberi pesan ke Denzel (sebagai detektif polisi)" Followthering".
"Kalau otoritas seperti BI dan Kepolisian masuk angin dalam menindak kasus seperti Citibank (dan dulu ada Bank Century, Bank Global dll), apa kita menunggu orang-orang seperti Dalton Russel (diperankan oleh Clive Owen) dan detektif Keith Frazier (diperankan oleh Denzel Washington) untuk mengambil tindakan ekstrem untuk membongkar kejahatan perbankan atau kejahatan umum di negara ini?" tanya Drajad.
Tertarik menyelami film 'Inside Man'? Ternyata “Chaiyya Chaiyya” Pernah Jadi Soundtrack film Hollywood. “Chaiyya Chaiyya” adalah sebuah lagu berbahasa Hindi menjadi soundtrack dalam film Dil Se disutradarai oleh Mani Ratnam. Film ini dibintangi Shahrukh Khan , Manisha Koirala , dan Preity Zinta. Meskipun gagal menjadi box office India, namun film ini sukses di luar negeri, menjadi film India pertama yang masuk 10 besar di Inggris box office chart. Lagu Chaiyya Chaiyya ini merupakan salah satu lagu India paling popular yang sering digunakan untuk memeriahkan acara budaya di negeri itu. Diciptakan oleh AR Rahman liriknya ditulis oleh Zeena Gulzar dan dinyanyikan oleh Sukhwinder Sing dan Sapna Awasthi.
Pada tahun 2003 BBC World Service melakukan jajak pendapat internasional untuk memilih sepuluh lagu yang paling popular sepanjang masa. Ada sekitar 7000 lagu yang dipilih dari seluruh dunia oleh masyarakat di 155 negara. Lagu Chayya Chayya menempati urutan ke-9 dari tangga Top Ten.
Ternyata lagu Chaiyya Chaiyya berhasil menembus perfilman Hollywood dan menjadi soundtrack pada film Inside Man.Film yg dibintangi Denzel Washington , Clive Owen , Willem Dafoe dan Jodie Foster ini dirilis tahun 2006 dikomposeri oleh Terence Blanchard dengan orkestrasi tambahan oleh composer Howard Drossin. Walaupun tidak ditampilkan dalam daftar soundtrack film. Tapi lagu Chayya Chayya jelas terdengar bahkan diputar sampai dua kali yaitu saat opening credit dan closing credit. (TS juga nonton pilemnya bahkan sempat TS rekam untuk dijadikan ringtone).
Sedikit berbeda dengan lagu yg ditampilkan sebelumnya, lagu Chayya Chayya diremix ulang oleh AR Rahman berkolaborasi dengan Panjabi MC dengan menambahkan unsur Rap berbahasa Inggris didalamnya. Mereka menyebutnya sebagai “Chayya Chayya – Bollywood Joint”.

 ============================================================

Kantor-kantor Kosong di Pemerintahan

KOPI, PADANG PANJANG -- TERINGAT saya akan pertama kali diperkenalkannya konsep lima hari kerja di kantor-kantor pemerintah, termasuk dalam hal ini semua kantor yang ada di lingkungan Pemerintah Kota Padang Panjang. “Agar bisa melayani masyarakat dan melaksanakan tugas-tugas mereka selaku abdi negara dengan maksimal.” Begitu kira-kira alasannya.
Dahulu, ketika di negeri ini diterapkan pegawai negeri bekerja enam hari dalam sepekan, dan oleh karenanya, mereka masuk pukul 08.00 WIB dan pulang pukul 14.00 WIB. Sering orang terkendala, karena ketika datang ke sebuah kantor pemerintah untuk berurusan, sering urusannya jadi terkatung-katung dan berhari-hari.
Ketika kita datang ke kantor pemerintah itu pukul 09.00 WIB -–sejam setelah mereka masuk kerja—para pegawai berseragam tersebut sedang istirahat. Akhirnya harus menunggu hingga pukul 10.00 WIB. Belum apa-apa pekerjaan dikakok, sudah tiba pula jam istirahat pukul 12.00 WIB sampai pukul 13.00 WIB. Pada jam terakhir hingga pukul 14.00 WIB, biasanya tak ada lagi pekerjaan yang akan mereka lakukan. Nampak benar pemalasnya mereka.
Lalu jam kerja diperpanjang hingga pukul 16.00 WIB dengan menjadikan libur dua hari sepekan. Ternyata hingga kini, belum juga bisa ditemukan adanya pegawai yang sungguh-sungguh menunaikan pekerjaannya di jam-jam kerja yang sudah cukup panjang itu.
Sebagai wartawan dan orang yang bergiat di berbagai organisasi kemasyarakatan, saya sering menemukan ruangan demi ruangan di kantor Walikota Padang Panjang dalam keadaan kosong melompong. Tak terlihat puncak hidungnya para pegawai yang ditempatkan di sana. Suasana serupa juga ditemukan di banyak kantor SKPD. Pemalas benar para pegawai itu nampaknya. Entah pemalas, entah memang tidak ada pekerjaan, atau atasannya yang tak bisa membagi kerja. Tak jelas benar oleh kita di mana letak masalahnya.
Kalau memang tidak ada pekerjaan yang harus mereka lakukan, kenapa pula pemerintah terus setiap tahun menambah pegawai? Inikah yang namanya upaya politis untuk membungkus agar pengangguran tidak meledak di negeri ini untuk kemudian bisa meletus dalam bentuk revolusi? Terus-terang, pegawai negeri yang bersitungkin setiap hari melaksanakan pekerjaannya hanyalah mereka yang bekerja sebagai guru dan petugas di rumah sakit.
Walikota Padang Panjang dan segenap jajaran pemko, disarankan agar bisa melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke kantor-kantor yang ada di bawah binaannya. Kalau terbukti, kantor itu kosong karena tidak ada pekerjaan yang akan dilakukan, sebaiknya dirasionalisasi saja pegawai, sesuai kebutuhan ril kantor yang bersangkutan. Selebihnya? Perbantukan saja mereka Satpol PP. Bisa jugalah nanti ditugaskan untuk menertibkan kesemrawutan kondisi pasar Padang Panjang yang kini keadaannya sudah memalukan. Bau, semrawut, ojek menutupi jalan ke toko-toko, parkir sembarangan, pedagang kaki lima, dan sebagainya. Berani pak? (Musriadi Musanif)

=============================================================

Pernikahan Pangeran Inggris, Motivasi Kebangkitan Pendidikan(?)

KOPI, Tidak lama lagi Pangeran William akan mengakhiri masa kesendiriannya. Tepatnya Jumat 19 April 2011 di Gereja Westminster Abbey London sang penerus tahta kerajaan Inggris ini akan diberkati penikahannya dengan tambatan hatinya Kate Middleton. God Bless You. Seluruh dunia menantikan perberkatan pernikahan itu. Miliaran manusia di bumi akan menyaksikan pernikahan sakral tersebut melalui tayangan televisi yang disiarkan langsung keseluruh pelosok planet bumi.
Undangan pun sudah disebar. 100 warga biasa juga diundang untuk menghadiri pernikahan tersebut. William saya dari Indonesia dan kekasih ku dari Hungaria kok belum juga menerima undangan pernikahn mu hehehe. Pemimpin dari setiap negara juga sudah diundang. Bahkan mantan pejabat Angkatan Udara Inggris yang kini terlibat dalam pengelolaan Lembaga Kajian Unidentified Flying Object (UFO) George Filer mengatakan bahwa kemungkinan UFO akan datang di pernikahan tersebut. Harapan ini dicetuskan mengingat UFO selalu hadir dalam peristiwa-peristiwa besar. Sebagaimana UFO yang menampakkan diri di langit Libya dan di dekat lokasi terjadinya tsunami Jepang.
Info tambahan, UFO menampakkan diri di Indonesia percisnya di Sleman 24 Januari 2011 dan di Jogyakarta 25 Januari 2011. Kedua tempat itu disinggahi UFO diatas tanaman padi siap panen. Membentuk lingkaran dan di dalam lingkaran itu ada tapak berupa sekat-sekat yang kalau dilihat dari atas menjadi suatu karya seni indah. Peristiwa ini menjadi pro kontra antara sesama ilmuwan dan juga antara ilmuwan dengan masyarakat. Tapi sekarang bisa kita lihat puluhan juta ulat bulu menyerang lima kecamatan yakni Kecamatan Leces, Bantaran, Tegal Siwalan, Wonomerto dan Sumberasih di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur + 100 km dari tempat UFO di persawahan tersebut.
Dari hari ke hari serangan ulat bulu itu semakin meluas. Peristiwa ini mengerikan karena sudah sampai menyerang warga. Seluruh tubuh yang terkena ulat bulu akan mengalami gatal-gatal hingga membuat tidak dapat tidur. Cepat baca Bible/Alkitab kitab suci umat Nasrani. Ketik di Google/Yahoo, FIFA Ajang Para Patriot, enter; Muammar Khadafi si Beruang Pembunuh Manusia, enter. Ingat ketika Tuhan akan melepaskan orang Israel dari Mesir. Teguran kah ini kepada Presiden Jawa yang juga Islam, Wakil Rakyat, Ulama, Habib, Gubernur/Wagub Jatim/Jabar dll yang dianggap Tuhan sebagai pemberontak karena menghalangi manusia ciptaannya berhubungan langsung dengan sang Pencipta ? UFO benarkah engkau ada ? UFO adakah engkau permainan cahaya/sinar buatan manusia? UFO adakah engkau Cahaya/Sinar Kemuliaan Tuhan Allah Yesus Kristus ? UFO adakah hubungan kedatanganmu yang semakin sering walau pro kontra akan tahun 2012 dll ?
Delapan (8) tahun pacaran sang Pangeran dan Kate Middleton bukanlah waktu yang singkat tetapi cukup lama. Apa yang membuat bertahan lama CINTA sang PANGERAN terhadap sang kekasih Kate Middleton. Perekatnya, apakah teori matapelajaran yang didapat semasa kuliah di Universitas ? atau riset yang kerap kali menjadi andalan setiap Universitas dalam berinovasi untuk mensejahterakan manusia? Sehingga tanpa disadari keasyikan dalam belajar dan melakukan riset menjadi penyebab utama cepatnya waktu berganti.
Kate dikenal oleh Pangeran William tahun 2001 ketika sama sama kuliah di Universitas St Andrews. Saat itu sama sama ambil mata kuliah Sejarah kesenian di Universitas St Andrews di Fife, Skotlandia. Dia selesaikan kuliah selama 4 tahun dengan prestasi cemerlang. Pangeran William terpesona ketika dirinya sedang down saat kuliah di tahun pertama kemudian Kate datang membujuk dan memberinya semangat agar tetap terus kuliah. Akhirnya Pangeran William pun lulus juga.
Dalam prosesi pernikahan tersebut Kate dan Pangeran William akan menaiki Kereta State Landau yang telah berusia 109 tahun itu untuk membawanya dari Gereja Westminster Abbey usai pemberkatan menuju Istana Buckingham Palace. Kereta ini yang paling sering digunakan Ratu Elizabeth ketika mengunjungi kepala negara.
Sesuai tradisi di kerajaan Inggris atau Wales, William sebagai putra tertua dari Pangeran Charles dengan alm. Putri Diana sekaligus adalah cucu dari Ratu Elizabeth II yang bakal meneruskan tahta.
Pacaran dalam lingkungan pendidikan dan kalau dirawat dengan benar seperti sang Pangeran akan berbuah indah dan bahagia. Dapat belajar bersama, memecahkan masalah bersama berdiskusi bersama dan masih banyak lagi. Pacaran yang terbaik adalah memang ketika duduk di bangku kuliah. Biasanya pacaran diusia ini dapat diteruskan hingga kejenjang pernikahan. Penyebabnya pribadi sudah mulai stabil sehingga emosional atau egoisme sudah mulai ditinggalkan. Berbeda ketika pacaran di SMP atau di SMA. Pacaran diusia ini justru dapat dikatakan adalah pacaran ala monyet atau biasa disebut cinta monyet. Pacaran diusia ini masih sering diselingi dengan pertengkaran yang membuat perpisahan sehingga jarang sampai ke jenjang pernikahan. Maklum emosinya belum stabil tapi labil. Sel dalam tubuh belum matang masih muda. Itulah pengaruh dari dalam tubuhnya. Juga pribadi yang masih labil/gampang berubah dan sensitif.
Pacaranlah pada waktu kuliah di Universitas dan itu akan indah sekali. Pangeran William dan Kate Middleton dapat dikatakan sebagai Lambang Kebangkitan Pendidikan atau sebagai Lambang Percintaan Universitas.
Ada baiknya setiap Kepala/Pimpinan negara berkembang di planet bumi ini supaya menjadikan momen pernikahan Pangeran William dan Kate Middleton sebagai motivasi Kebangkitan Pendidikan.
Hanya dengan pendidikanlah kesejahteraan manusia dapat dipercepat. Bukan dengan senjata atau membangun militer seperti di Cina, Korea Utara, Kuba, Iran, Myanmar, Libya dand lain-lain.
Ratusan ribu hingga jutaan manusia setiap hari meninggal kelaparan, dibunuh, dibantai seperti hewan. PBB supaya melakukan pemetaan kejahatan pimpinan atau paham setiap negara yang terang-terangan dengan sadis dan brutal membunuh rakyatnya. Seret semua ke pengadilan internasioanl pelaku kejahatan kemanusiaan tersebut tanpa pandang bulu.
Sudah saatnya bumi ini menjadi satu negara dengan ibu kotanya Washington DC. Militer hanya boleh dimiliki Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Israel dan Mesir.
Ronald Reagan sudah mengubah dunia melalui konsep perang bintang dan lahirlah Globalisasi. Internet, google, yahoo, facebook, twitter, hi5, FIFA dll adalah media yang berperan penting dalam mempercepat terwujudnya negara bumi. Sehingga kesejahteraan, kemakmuran dan kedamaian manusia terwujud. Mark Zuckerberg, Bill Gates, Shakira, Cristiano Ronaldo dll thank you very much for you all. God Bless You.

Penulis adalah Presiden Lembaga Ilmu Pengetahuan Demokrasi dan Hak Azasi Manusia/LIDAM

==================================================================


M-150 Mencari Pahlawan, Degradasi Nilai Kepahlawanan

KOPI, PT M-150 Indonesia sejak bulan Desember 2010 gencar mengiklankan : “M-150 MENCARI PAHLAWAN, ANDA BISA” di berbagai harian nasional (termasuk di Harian KOMPAS dan Koran TEMPO) dengan hadiah Rp. 150 juta yang terbagi atas Rp. 75 juta untuk para pahlawan terpilih dan Rp. 75 juta untuk para pengusul.
Para finalis adalah : Kategori FAMILY MAN : Parjan (Yogyakarta), Eri Andrian (Malang), Joko Sumpeno (Solo). Kategori HONESTY adalah : Paryadi (Salatiga), Husni Thamrin (Bogor), Denny Hamdani (Bandung). Kategori COMMUNITY MINDEDNESS adalah : Eko Cahyono (Malang), Gusti Hamdan (Surabaya), Simanto (Solo).
Yang mengherankan adalah :
1. Tidak ada satupun finalis dari luar Jawa. Apakah orang dari luar Jawa tidak mempunyai kisah inspiratif yang layak dijadikan teladan heroik?
2. Para finalis kurang dikenal track record-nya, padahal gelar “pahlawan” menuntut kontinuitas dan konsistensi dalam berkarya, bukan penilaian sesaat saja.
3. Ada finalis yang kalah dalam Kick Andy Award dan atau menyontek ide “Yes We Can” dari Tupperware, sekarang menjadi finalis pada “M-150 MENCARI PAHLAWAN” - apakah Panitia hanya memiliki “stock pahlawan” yang terbatas sehingga tidak ada alternatif lain yang lebih “mencerahkan”?
4. Ada finalis yang sebenarnya melakukan kegiatan biasa-biasa saja (membatik bagi anak-anak TK), tapi oleh Panitia dan Dewan Juri dianggap melakukan tindakan yang spektakuler sehingga layak dapat gelar pahlawan (Bandingkan dengan foto “Kegiatan Membatik bagi anak-anak TK” yang dilakukan oleh TK Islam Terpadu Ar-Raihan, Desa Kebonagung, Imogiri, Kab. Bantul, Yogya, yang dimuat di Kompas, Jumat, 25 Maret 2011 halaman 12).
Rupanya Panitia dan Dewan Juri tidak pernah menonton Kick Andy atau From Zero to Hero atau membaca kisah para tokoh yang mencerahkan yang dimuat setiap hari di Kompas, halaman 16 - sehinggga gelar pahlawan diobral begitu saja, tanpa referensi yang jelas.
Apa buktinya? Ratna Indraswari Ibrahim (Penulis terkenal dari Malang yang lumpuh) yang hari Senin, 28 Maret 2011 ini berpulang, jauh lebih layak dari Eri Andrian dan Eko Cahyono (kedua finalis dari Malang) untuk mendapat penghargaan “M-150 Mencari Pahlawan” yang berhadiah Rp. 150 juta itu.
Bukankah gelar pahlawan itu bukan untuk diobral, tapi membutuhkan penilaian terus menerus (kontinuitas) dan ajeg (konsisten) dalam berkarya seperti yang telah ditunjukkan oleh Ratna Indraswari Ibrahim itu, yang sayangnya sama sekali tidak terpilih sebagai finalis itu…
Adanya protes di Facebook : M-150 Mencari Pahlawan dan Twitter : @M150hero hendaknya tidak diabaikan begitu saja agar kita tidak mengalami “erosi kepahlawanan”.

==========================================
Batanggang
Senin, 11 April 2011 10:22 | Oleh : Nova Ibun | PDF| Cetak| Email
DUO
Perasan wajahnya mengintip penuh debaran hati, sebelum mereka bersahutan salam membingkai persahabatan walau hanya lewat celetukan kasar. Kekecewaan terhadap IPK yang sedikit lagi mencapai cumlaude terhalang karena ada nilai C menari-nari pada bidang study praktek mengajar. Kehampaan yang tercipta membuatnya menjadi pecinta sosok melankolis dalam lagu Kerispatih, ada cinta tapi tertinggal dalam kenangan manis di atas pusara. Ia memusatkan senyuman itu pada sosok anak kecil yang masih ingusan dengan cucuran air ludah yang menetes di sele-sela lobang bibirnya. Lelaki kecil itu duduk bagai onggokan boneka yang sabar dan manis bila selalu di pandang lama-lama, matanya yang coklat hitam di lengkungan pelipis menggambarkan tangisan yang masih tersisa, tapi kata-katanya yang tidak lurus mencerminkan keikhlasan dan kerinduan pada kasih sayang yang telah lama ia lupakan, “Jemariku membelai lembut mengungkapkan keterharuan serta menarik senyuman lugu dari bibirnya.”
Felly berdiri di sisinya dengan jaket kuning, rambut kepang satu dan berjalan bak bodigar, sosokya yang santai, perkasa, hanyut oleh tatapan yang menyimpan kerinduan dari lelaki mungil tak berdosa itu yang duduk di halte depan sekolah 34 Purus Padang. Mata sayu dengan jepitan hitam di poni tertawa khas “Betawi” menghampiri Rexa.
“Sejauh mana pertualanganmu hari ini? Apakah ada agenda walikota selama bulan Ramadhan? Ceritakan padaku!”
Fatna berdiri membelakangi rak buku, dan menggenggam satu buku ekonomi yang berada di depan pintu rumahnya. Sikapnya yang bersahaja menatap ke wajah kakeknya dengan penuh pertanyaan. Ia memiliki wajah cantik putih neneknya yang meninggal di Makkah saat menunaikan ibadah haji, wajah khas Pakistan jelmaan perjuangan pada kerajaan Pagaruyung, hidung mancung, bermata besar dan sayu. Meneriaki kegirangan atas kedatangan Rexa dan Felly di rumah tua gonjongnya.
“Tumben kalian kesini, ada angin apa ya…?”
Mereka bersalaman membagi kondisi kesehatan yang telah lama tidak berjumpa seraya duduk lesehan di tengah rumah, Rexa menjawab, kami hanya melepaskan kerinduan yang telah lama di pendam, sekaligus silaturrahim melihat kondisimu dan kakek.
“Benarkah itu Felly, tangkis Fatna.”
“Ya…iyalah Na masak singgah saja, kecuali kami pengen sekali rindu itu terobati dengan sambal lado petai, he…he”
“Huh kalian maunya yang lebih cendrung ke makanan yang gratis.”
Tapi tidak masalah dan sekalian kita membahas bagaimana perjalanan hidup kita selama ini dan di tambah adanya suka dan duka kehidupan, sebentar lagikan akhir thun 2010 menuju 2011.
Sofie serempak mengucap kesenangannya, aku hanya butuh semangat baru untuk generasiku yang akan datang walaupun tahap pertama calon hakimku lulus dan tahap keduanya gagal tapi aku tetap optimis untuk menelusuri jalan kearah cita-citaku itu. Sofie tinggal di rumah Fatna setelah rumahnya ambruk karena gempa 30 September 2009 kemaren.
Sepintas terlihat rona mengharu biru terhadap cerita Sofie akan nasibnya yang hidup menumpang dari rumah kerumah sahabat. Lain halnya dengan kejengkelan yang didapat di bandara siangnya oleh Rexa, dia mengulang kembali cerita geramnya pada PNS teman lama menjempol terbaliknya tertuju pada privasi kerjanya.
Felly dengan sigap berdiplomasi mengatakan jadikan apa yang kita dapat hari ini menjadi cambuk untuk menuju kesuksesan, oh…, ya belum tentu juga PNS menjadi prioritas utama kerja masyarakat untuk tahun yang akan datang, justru sebaliknya menjadikan pekerjaan yang paling rendah di mata luar Indonesia dan dunia. Tak obahnya kerja yang kita lakukan hari ini menjadi “murai” kata-kata orang termasuk teman dekat sendiri, heran, mengapa hanya karena pakaian seragam bisa menyepelekan orang tak berbaju seragam, angkuh dengan gaji tetap, sombong dengan kedudukan tapi mereka tidak sadar bahwa masyarakat menyelipkan doa karena telah terzolimi dengan tugas yang tidak dikerjakan dengan sebaiknya, boleh jugatu PNS disebut sebagai “pelayan masyarakat” cinta dengan gaji besar dan benci dengan kerja menumpuk. Rexa berkata pada Felly, “PNS Rinsya menanyakan tentang Fatna si Pakistan kesasar.” Setelah kebengisan menyeruak hening, ia menambahkan, ya betul Sofie jika kamu mau PNS jadilah sebagai abdi masyarakat untuk negara.
Felly tertawa terkekeh pipinya menutupi seluruh matanya yang sipit, untung aku masih dianggap berarti dalam stasiun TV, tempatku bekerja dan mencari nafkah, walaupun orang bawahan yang tidak PNS tapi aku sudah pernah sebangku, semeja makan dan sekerja dengan petinggi-petinggi daerah maupun kota, duh bahagianya hati dengan menikmati apa yang ku punya, bukan begitu Rexa?
Rexa teringat dengan pekerjaanya yang lain, pekerjaan butuh kesabaran dan butuh perjuangan yang mendalam, guru Sekolah Dasar, selama dua tahun kurang menjadi guru telah mendapatkan NUPTK sampai mati, tapi bagaimanapun saat kawan honor denganku yang sama-sama keluar telah diterima menjadi PNS Dosen di STSI Padang Panjang, tapi temanku ini jauh berbeda dengan sifat kawanku yang bertemu dibandara tadi siang, tidak sombong, dan tidak anggkuh, menghargai apa yang kupunya. Rexa berada saat yang genting, tapi sahabatnya yang lain tidak melihat dimana letak gentingnya itu, dengan sifat periang Rexa sulit mencari waktu pasang dan surutnya. Kejenuhan yang berlebih melele pada bahasa tubuh Rexa, sementara Rexa jenuh dengan segala kemewahan orang yang belum ia cicipi, orang tua yang selalu memaksa untuk jadi PNS, keluarga yang menuntut untuk menikah, dan regenerasi menuntut untuk jadi yang terbaik, lebih baik menikmati menjadi MC petatah petitih, penulis dan menjadi pelicin jalan selalu mondar mandir dalam keadaan mencari inspirasi, sahabatnya menjadi saksi nyata akan keberhasilannya suatu saat duduk berdampingan dengan Kikc Andy, keliling dunia, dan memiliki tulisan yang best seller.
“Kek, jadikan kita berangkat kerumah Buya Hamka?”
“Kita akan mengetahui perjuangan Hamka dalam menjelajahi tulisannya yang populer. Aku akan menunjukkan kepada kawan-kawan bahwasanya perjuangan menulis itu bukan dilandasi dari hanya sekedar hobi saja tapi mencintai huruf per makna, seperti yang pernak kakek ingatkan kepadaku mengenai makna di balik tulisan.”
“Berusaha membuka hati untuk mencintai segala sesuatu.”
Felly sebagai jembatan pelangsung kedua orang tuanya yang meninggal karena tabrakan lari dua tahun yang lalu; semangat, penyelamat dan perawat pertama yang menolong kedua orang tua Fatna, saat itu Felly sedang memantau kegiatan masyarakat Padang dalam pesta ulang tahun kota Padang, maka dari itu Fatna tidak bisa melupakan jasa baik Felly dan Rexa yang di telpon Felly saat kejadian berlangsung.
“PNS itu meludahiku dengan kata-kata culun yang berujung pada kenanganku selama kuliah, seksi sibuk dengan menulis yang belum tentu dapat uang!”
Felly menghibur, oh… ya mereka belum tahu telah berapa banyak tulisan singkat tercipta hanya lewat beberapa menit, yang terakhir pembuatan petatah petitih yang berangsur pudar pada budaya Minang.”
“Andaikan saja tadi aku bersamamu di bandara mungkin sudah ku kuahi kata-katanya itu pada sifat yang tidak sepantasnya menjadi baju kebesarannya. Manusia yang pandai menulis sudah sama artinya dia bisa menggenggam dunia, sedangkan PNS dia hidup didunia yang kita genggam.
“Aku yakin dia yang sok kaya, sok hebat, dan sok berlebih tidak menyukai bacaan?, tidak menyukai musik, dan bahkan tidak mencintai yang namanya buku panduan jika sewaktu-waktu kerjanya itu mendapatkan pelanggaran yang nyaris memecatnya secara tidak terhormat?”
“Keluarganya menyukai petatah petitih yang kamu bawakan pada pesta pernikahan dan pesta adat kan?”
“Kalau begitu mesti dia tidak bisa jauh dari sistim surat menyurat, tulis menulis dan terutama surat cinta.”
“Fatna, sedari tadi mengemasi sisa masakan di dapur, dan menyiapi berbagai bentuk masakan, lalu menyeru, “Ayo kita makan, dan berharap Rexa, Felly untuk dapat tidur disini.”
Rexa memberitahu, bahwa petai dan rebusan kangkung jangan dihabiskan, karena Rexa harus kekamar kecil, okedeh kalau begitu tanggap Felly, “Bagaimana dengan ikan asin? Apakah aku akan menantikanmu juga?” Kemudian mereka melanjutkan makan setelah Rexa kembali dari kamar kecil, kemudian disela kunyahan pada ikan asin, mereka menceritakan tentang beasiswa bagi penulis yang telah memiliki buku pada surat kabar Padang Ekspres oleh Gubernur. Rexa sedikit susah melahap makanan yang berada dihadapannya, saat nasi yang menjulang tinggi pada piring kakek, Fatna, Sofie, dan Felly telah ber-angsur habis karena Rexa memiliki banyak kekurangan jumlah gigi, karena diwaktu kecil sampai semester tujuh Rexa terbiasa tidak mengunyah makanan melainkan mengisapnya sampai rasa manisnya telah hambar. Sofie pun tak mampu menahan keinginannya untuk meminta teh pahit yang ada di gelas Rexa.
Felly mengutarakan filosofi yang dia peroleh dari adat bahwa, apapun yang dimakan saat ini jika disyukuri apa yang kita dapati nantinya saat makanan tak di depan mata memperoleh sifat yang tunduk pada kesaksian alam, siapa dia, bagaimana dia dan untuk apa dia hadir semuanya telah jelas menjadikan itu semua dengan tidak kesenangan semata melainkan semangat yang tinggi akan cita kita.
Rexa mengungkapkan keterharuannya pada setiap kata-kata yang keluar dari bibir Felly yang berilmu.
Setelah makan malam sesudah maghrib, suasana kenyang berpihak pada pemandangan yang gelap dan sedikit dihiasi kelap kelip lampu nelayan, ya tepi laut biasa disingkat menjadi taplau, cukup menghabiskan waktu lima menit menuju hembusan angin malam pantai Padang.
Rexa bergumam sambil memencet senter yang melekat dalam telepon genggam, ada saja pemandangan yang memuakkan saat terik lampu senter menyulut seonggok kotoran hewan, sedikit buruk kondisi cuaca tiada aba-aba bersahabatnya, termasuk bintang yang enggan memamerkan keceriaan dideru ombak. Felly heran “Rexa melihatkan tingkah yang sedikit aneh, spontan yang lain kaget. Rexa berhayal andai hamparan laut bisa disulap menjadi pustaka daerah pengganti pustaka yang ambruk karena gempa, dan membuka peluang usaha yang terlebih dahulu telah teroganisir dengan baik, tertib dan jujur.
“Kamu harus berani mengambil resiko atas gambaran cita-cita untuk memajukan daerah, walaupun kerikil tajam harus kau jalani.”
“Aku ingin berhayal sekali lagi.”
“Oke tapi tolong masukkan kami dalam perjalanan hayalanmu itu, tapi ingat saat dunia International mengetahui ide gilamu, pasti kamu akan di jadikan kekuatan bagi mereka.”
“Maksud lho…, aku aneh aja melihat imajinasimu yang telah memuncak keubun-ubunmu.”
Banyak masyarakat awam yang tidak mengerti tentang kerja yang kita geluti, tiada titel, tiada seragam, dan tiada gaji dan tunjangan perbulan.
“Aku mengerti impianku terlalu tinggi, sehingga waktumu mengimpikan yang sama timbul kebosanan dalam dirimu untukku, karena aku harus menciptakan dalam dimensi imajinatifku kedalam kertas, bukan hanya dalam pidato syairku yang menyayat.”
“Aku memiliki masalah besar dalam keluarga dan masyarakatku di kampung Felly.”
“Benarkah? Kau sedang mengalami pertengkaran hebat dalam batinmu, sehingga telah bertahun-tahun bertahan kau jadikan rahasia, tanpa kau bagi pada kami semua? Sungguh sejauh mana arti kami sebagai kekuatan bagimu…?
“Tolong Felly, jangan kecam aku dengan pertanyaanmu yang menusuk ragaku, enam tahun ku simpan takutku utarakan segala onak hidupku pada kalian semua, aku khawatir menganggu ketenangan kalian, dan menganggap permasalahanku ini hanya sebagai buah ide kreasiku dalam menciptakan buku. Bukan kawan, tapi mungkin malam ini aku ingin mengutarakan segalanya pada kalian semua, ada apa dan bagaimana selama ini aku menyimpan dan berpura-pura bahagia dihadapan kalian.
“Aku menghargai keputusanmu kawan tapi bagiku ini belumlah terlambat untuk memulai hidup yang baru, dan kami sangat prihatin pada masalah yang akan kau ceritakan nanti. Kemudian Felly mendewasa dalam nasehat dan berkata, “kau akan lebih nyaman saat semuanya telah dibicarakan, dan kau harus tetap fokus untuk selalu menulis tentang apa saja yang kau lihat, rasa, cintai dan bencikan. Tidak mungkinkan kita semua menjadi pengangguran yang hanya memusingkan mata bingkai masyarakat? Tidak akan mungkin kita menjadikan apa yang kita impikan hampir diraih pupus begitu saja? Tidak kawan kita harus bangkit, walaupun aku belumlah mendapat gelar sarjana, dan begitu juga kawan kita yang lain belumlah mencicipi gaji bulanan.
Hujan mengingatkan ku pada kisah belasan tahun yang lalu saat ibu Rukhayah memberikan lima puluh ribu untuk anak ingusan yang berdiri disudut masjid Istiqlal Jakarta, ibu itu mengingatkan kondisi saat dia harus dimanja cengeng dan sifatnya cendrung kekanak-kanakan.
“Rajin makan, nulis dan baca.”
“Cengeng.”
“Mencari bahagia adalah motto hidupku, dalam keadaan bagaimanapun, menghayal adalah jembatan untuk merangkai kata-kata indah, menghadirkan kekuatan insting dan di resapi lewat makna hidup mendalam.”
“Aku meninggalkan ngajar tanpa dipengaruhi oleh perkembangan keinginanku untuk terus maju.”
“Apa alasan kau meninggalkan pekerjaan yang mulia itu.”
Ia sangat menghambat kinerja otakku yang biasa bebas berekspresi, menciptakan nuansa inovasi dan menghadirkan metode yang asyik tidak kaku. Gelap yang kerontang, tanpa bayangan, tanpa tawa lebar. Selaksa kegundahan di jalan raya menuju pulang, hujan mulai mencubit dahan tulang yang dibaluti daging yang tebal.
“Apakah pekerjaanmu di lembaga sosial belumlah menjamin kebahagiaanmu.”
“Mengapa masih ada goresan kekecewaan pada piringan katamu?”
Sepintas terlihat dalam telaga matanya ada kekecewaan terhadap sikap dan keputusan pimpinan, serta tidak arifnya menanggap bahasa keputusan dan solusi yang ditawarkan.
“Sebenarnya kau mencintai dunia pendidikan.”
“Tolong katamu di perjelas antara menulis dan mengajar.”
“Kau tidak akan dapat pengakuan saat metode ngajarmu banyak disukai murid, tapi disela-sela tidak menjalankan metode itu, justru banyak yang memakai kriteria metode ajar yang pernah diciptakan.”
Felly menghela nafas perlahan, dan menyepak botol bekas sampai depan pintu gerbang Fatna dan berkata, “Hal seperti itu sudah lumrah dalam kehidupan ajar mengajar, tapi aku heran waktu keputusan untuk dapat guru honor berprestasi kenapa kau memutuskan untuk mengundurkan diri tanpa pamit. Sepengetahuanku guru itu harga dirinya lebih besar dibandingkan dari presiden, coba bayangkan menjadi presiden pasti dilalui oleh bimbingan ilmu seorang guru bukan..? guru bisa menikmati berbagai ilmu yang mendalam, ada seni, agama, ilmu sosial dan budaya. Bagi yang menjalani dan menghargai seluruh jiwanya beruntunglah ia menjadi guru tapi…, zaman sekarang sulit mencari sosok guru berjiwa emas, ah aku tidak ingin berlarut-larut menerangkan keberadaan guru di mata masyarakat padamu Rexa, tapi bagaimanapun aku sekali lagi sangat menghargai keputusanmu untuk menjadi petanya dunia, menjadi penulis, kaca matanya masyarakat tentang apa yang terjadi hari ini, esok, dan dari tahun ke tahun.
“Aku penulis justru dari seorang guru, setia mengajariku menulis berbagai macam bentuk tulisan, dan berbagai macam jumlah buku yang harus dibaca.”
“Aku yakin pergolakan yang mendasar tentang jumlahnya pekerjaan yang pernah kau kerjakaan menjadi jembatanmu untuk meng-audisi mana yang pantas atau tidaknya dalam hidupmu, di hatimu dan untuk generasimu.”
“Lihatlah setiap Jum’at malam siaran Kick Andy, banyak menimbulkan inspirasi yang pantas kita ikuti, terutama tentang menulis, karena jika jasad kita telah mati tapi hati tangan fikiran dan argumentasi dalam tulisan akan tetap hidup sampai zaman ini benar-benar kembali pada Empunya dunia.
“Ya…, ya aku yakin sekarang, dan kami berharap kisah hidupmu yang penuh liku bisa juga kau tuliskan agar suatu saat jika masalah masyarakat sama atau hampir menyamai dengan masalahmu, mereka tentu sudah bersiap-siap dengan solusi yang kau tuangkan dalam tulisanmu, oh ya jangan lupa ya nama kami juga di cantumkan sebagai sahabatmu yang paling setia, walaupun kebenaran setia itu ragu kami peroleh melihat sikapmu yang netral pada yang lain, jadi kesan spesial kami sebagai sahabatmu kurang kami resapi.”

 ===========================================================


Minggu, 10 April 2011 10:27 | Oleh : Nova Ibun | PDF| Cetak| Email
CIEK
Mendung bukan berarti hujan, awan gelap meneduhi alam Minang yang melintasi cakrawala hijau dan penuh gemerlapan, ada yang menandai tempat itu dengan gonjongnya rumah maupun gedung, dengan hadirnya segerombolan anak punk yang memetik gitar dan ayunan tepuk tangan di hiasi cincin yang terbuat dari biji salak, melintasi dipelintasan keramaian masyarakat yang hiruk pikuk dengan aktifitas mereka, melangkah cuek mengisahkan nuansa kebebasan yang tak tahu ujungnya. Rexa melirik bingung melihat gitar yang tergantung di emperan toko saat dia masih atret melangkah tanpa jelas. Jarum jam telah menusuk pada ruang yang harus di temui hari ini.
Ruangan di penuhi paket yang akan di salurkan pada anak asuh menyesakkan di sudut mata, banyak yang menjadi kewajiban saat tulisan yang harus dibuat hari itu juga melalui jaringan internal, menyajikan dengan sangat baik sesuai dengan ke-narsisan seorang marketing “tebal muka” kendati proposal, surat kerjasama dan lobi-melobi wartawan agar bisa hadir meliput kegiatan yang telah dirancang oleh kantor pusat. Tetapi waktu kerjaku akan menghampiri habisnya masa kontrakan tiga bulan. Semakin banyak kerja yang dianggap sulit bisa di mengerti, satu pekerjaan jarang bisa di kerjakan dengan cepat, karena banyaknya permintaan yang harus di segerakan mungkin sesuai dengan masa mood nya seorang pimpinan.
Anak punk sampai melintasi gerbang kantorku yang terbuka lebar tanpa pembatas ruang, dan betapa eratnya ikatan dunia menjelajahi seluruh urat ketidak tahuannya, pada kejamnya zaman yang bergurau dalam alusinasi nafsu. Sungguh sebuah benteng berpintu tanpa bisa di buka. Mengapa harga manusia bisa di lihat dari kerja yang ia pegang? Mengapa pedagang-pedagang di sepanjang batasan mata memandang penuh dengan keceriaan? Ringtone yang berbaur dengan dengkuran langkah menyeruak di pehujung ruang tunggu bandara, dan kemudian seorang wanita cantik berbaju pegawai negeri sipil menghampiri di kursi yang kosong didepan mata, sambil berkata “Berangkat jam berapa ke Jakarta?"
Sepuluh tahun kuliah dengan titel sederhana S.Pd.I dan M.Pd.I, MMc tidak lagi seakrab masa kuliah dulu, ia membelakang menatapku dengan jenjang dikeningnya, di sanalah dia mulai bertanya, mencela dan memperbandingkan baju kuning hambar ke emasan dengan baju kemeja biru yang tampak sedikit lusuh, seorang wanita pendek, gemuk dan kulit sawo matang berjilbab sedang di bahu. Sedikitpun tak pernah pujian keluar dari mulutnya yang judes, berbeda saat pegawai belum berpihak padanya dia baik, menghargai tidak angkuh dan sombong.
Masih nganggur Rexa? Kau tetap culun seperti yang dulu, lamban dan banyak diam!”
“Aku tidak berharap bisa bertemu denganmu.”
Mereka saling sungging senyuman yang berbuah dendam dihati.
“Hitam sekali engkau ku lihat tidak obahnya sehitam “ekor kuali” di dapur orang! Dari dulu engkau memang hitam dekil tapi tidak segemuk ini, seperti ibu-ibu yang memiliki anak lima,” katanya sambil melihat bekas korengan di kedua lengannya kepada Rexa.
Rexa berusaha tenang dan tersenyum menjawab pertanyaan yang semula belum dijawabnya, “Aku tidak ke Jakarta melainkan hobi duduk di sini mencari inspirasi untuk tulisanku nanti.”
“Aku heran dengan kegiatanmu, sejak dulu engkau terkenal dengan seksi sibuk, tidak mau berkumpul dengan kami, suka sendiri dan sibuk dengan uang yang hari ini ada harus pengganjal perutmu?” Bisa jadi gali lobang tutup lobang.
Sungguh ingatan yang bagus sekali dari seorang kawan yang telah memiliki ketetapan kerja. Bagaimanapun, kayanya seorang pegawai tidak luput dari perantara masyarakat yang tidak pegawai juga; siapa yang mengenal seorang penulis biasa kecuali tulisannya bestseller?
Pegawai itu tertawa sinis ketika sedang mengeluarkan telepon genggam Nokia berwarna orange dan berkata, “Kau benar-benar pengangguran. Kau seperti pengangguran tinggkat tinggi, tak ada yang berubah dari dirimu kecuali pena dan lembaran kertas yang dilipat menjadi empat bagian serta sepatu olahraga dan tas ransel!”
Rexa menyeka air wajahnya yang kuyu oleh kata-kata intel yang mengajak menari peluh dingin di pelipis atas, ia memperbaiki letak kacamata minus seraya berpura-pura menguap tanpa mempedulikan lototan mata disekitar.
“Aku tidak senang bertemu denganmu, Pegawai Negeri Sipil.”
“Dan aku malah senang bertemu denganmu karena telah lama aku kurang suka dengan gayamu yang tak sejalur dengan kami, aku puas sedikit mempermalukanmu dengan pertanyaanku yang bisa menjebakmu untuk malu dengan status kerjamu.”
Ia kembali membuka telepon genggamnya untuk meminta nomorku, saat dia harus mempersiapkan dirinya untuk pergi ke Jakarta, mengisyaratkan pada Rexa untuk berhenti berbicara.
“Aku ingin mengajakmu membuang segala yang engkau lakoni untuk beralih keperkerjaan yang bisa dipandang baik oleh masyarakat, bukan serabutan dan bukan pekerjaan hari ini dapat uang dan esok tidak.” Ia membuka buku kecil dan mengasihkan sebuah nama dan nomor agar nanti setelah kepergiannya ke Jakarta bisa cepat di hubungi. “Nama Aris Ahzani, 08167372887, pekerjaan sebagai Agen Asuransi.
“Oh.. ngomong-ngomong kau sudah menikah?.. aku sudah empat tahun yang lalu tapi setiap hamil keguguran terus.”
“Belum.”
“Menurutku sih betapa banyaknya yang harus kamu perbaiki Rexa, mulai dari penampilanmu, dan gaya keseharianmu, sungguh norak sekali sama seperti waktu kuliah dulu? Tapi kini makin menjadi, kemeja kotak-kotak, rok levis dan…? Apakah engkau tidak ingin tampil seksi dan modis?”
“Menurutku yang ku pakai hari ini sudah melebihi modis, bersih dan wangi.”
Pegawai itu membantah dan menunjuk beberapa orang yang lewat dan memuji betapa pantas dan tidak pantasnya baju yang ia kenakan.
Rexa mengelus renda jilbabnya dengan ekor pena dan berkata:
“Aku yakin suatu saat bisa berhasil dibandingkan dengan pekerjaanmu sebagai Pegawai Negeri Sipil.”
Sang pegawai mengeles kata-kata yang ia dengar barusan, “Tidak ada yang lebih berhasil kalau dia telah jadi pegawai, sedikit bekerja, bahkan dalam seminggu itu kerja hanya beberapa jam, dapat gaji tetap, tunjangan ini dan itu, aku dapat berhutang, dan tidak susah cari uang untuk penebus hutang tersebut, sedangkan engkau tunjangan apa yang akan didapat dan di banggakan?
“Ya, ya…"
“Ku akui aku kalah berbicara dengan mu, dengan orang yang sudah punya penghasilan tetap, yang semena-menanya meremehkan orang, dan menyanjung tinggi gaji besar tanpa usaha yang maksimal.”
“Tak ada kerja se-enakku, pns!”
“Masih ada yang akan dipamerkan lagi?”
“Camkanlah ya… pns adalah pekerjaan yang enak, sedikit bekerja banyak gaji, sedangkan kamu terlalu banyak mengeluarkan tenaga, energi, waktu tapi hasilnya tidak sebesar yang aku dapat.”
“Terima kasih sudah support dengan kata-katamu yang bermakna, malah saat akalku telah letih dengan segalanya ini, aku akan jadi pns juga, sebagai pelarian kerjaku.”
“Bagus-bagus… aku setuju pada akhirnya kamu punya niat juga jadi pns, walaupun hanya sebagai pelarian bagimu. Dan tidakkah engkau mau mengambil kesempatan di tahun ini? Semua pendaftaran telah di buka untuk CPNS, CPNSD, dan sebagainya.
Rexa memalingkan wajahnya pada satu titik mobil Damri yang baru berhenti di tempat penyebrangan bagi pengunjung, “Aku jenuh dengan segala yang ku dengar setengah jam yang lalu, muak melihat setiap manusia berpakaian dinas, bahkan permintaan keluarga. Keadaannya semakin rumit untuk ditanggapi.”
“Kalau begitu aku sarankan kamu punya pekerjaan yang bisa mengangkat martabatmu bukan…”
“Masalah martabat dilihat bukan dari sebuah pekerjaan yang di sandang, melainkan bagaimana dia mampu berguna bagi manusia disekitarnya, aku datang kesini berharap dapat ketenangan dari semua yang ku lihat bukan ceramahmu yang menyudutkan setiap pekerjaan.”
pns itu mendapatkan informasi pesawat yang akan dia tumpangi delay tiga jam lagi, kira jam dua-an, ia beranjak menuju ruang informasi. Rexa bergegas berdiri pindah duduk di bangku bagian belakang dari dua bagian bangku pengunjung. Semua kata terhenti, sang pns menunjuk wajah Rexa dengan telunjuk kirinya, memberi tanda akan melanjutkan pembicaraan terputus.
Banyak keunikan wajah dan baju yang dipakai oleh setiap pendatang, mulai dari seragam office boy, supir, calo, polisi, tentara, guru, pelayan restoran dan seperangkat karyawan bandara, semuanya seragam walaupun yang lain tidak memakai seragam yang pasti dengan gaji melimpah. Ide bisa dapat dari apa saja termasuk dari mulut pedas pns tadi, kalau di cermati dengan hati lapang banyak hikmah yang didapat terkadang menyakitkan. Ya memang awal kuliah dulu banyak jenis kerja yang ku lakoni mulai dari; jual sayur, jual ikan, koran, tukang masak, cuci piring di pasar raya, tukang cuci, nggosok, guru ngaji, presenter, guru sekolah dasar, penulis skenario film, dan banyak lagi, serta bekerja sebagai marketing support officer disalah satu yayasan sosial, semuanya berlalu tanpa meninggalkan bekas, suka duka berkumpul jadi satu membentuk kekuatan yang keluar dari dalam diri, bahwa kegagalan itu adalah prioritas utama untuk meraih impian yang maha dasyat.
“Aku bukanlah bodoh kawan…? Rexa memejamkan matanya diam-diam ia mulai melangkah membingkai coretan demi coretan membentuk piramid terbalik. Kenangan tadi mengganggu kesadarannya bagaikan petir menyambar. Ia berharap pns itu menghilangkan pembicaraannya setelah ia pulang dari study banding ke Depok, agar kawan yang lain tidak ikut juga menambah serta membumbui kata-kata yang dikurang serta dilebihkan pns tersebut, supaya kemarahan Rexa tidak menjadi-jadi.
Banyak teman selama kuliah menjadi pemicu amarah karena Rexa tidak sejalur dengannya, sekilas terlihat sedikit individualnya Rexa, berteman ya tapi tidak terlalu mengikuti kemana ekor temannya pergi. Walaupun sebagian teman telah dahulu mendapatkan gelar sarjana, telah bekerja dan menjadi kebanggaan bagi masyarakatnya.
Wajah Rexa melipat kenangan dengan desahan nafas yang terlalu berlebih, berusaha keluar dari deretan sandaran bandara menuju lelaki paruh baya dengan genggaman karcis menuju pulang menyusuri jalan-jalan dan rumah penduduk di sepanjang kejenuhan waktu. Kemudian melihat ke jam digital telpon genggam, menyudahi kegalauan hati dengan gumaman kecil “Aku harus bisa berhasil di bandingkan mereka, aku harus bisa menciptakan lapangan kerja dan menjadikan pekerja sama sepertiku menjadi pekerjaan yang banyak diminati oleh masyarakat, bukannya pns yang selalu terikat dan semena-mena bicara menumpah ruahkan air liur kewajah orang yang telah tersakiti” Rexa menghempaskan badanya yang gemuk di sandaran kursi Damri berusaha mengingat kembali kata-kata pns dan mencari tahu di mana keberadaan Felly yang bekerja sebagai wartawan TV salah satu tv lokal, yang selalu menghargai apa yang Rexa kerjakan, sahabat dikala susah maupun senang. Begitu juga dengan pacarnya yang berprofesi sebagai Satpol PP Padang, mereka saling memberi semangat kepada siapa saja yang menjadi sahabat baginya. Termasuk Rexa, walaupun jarang bertemu tapi dengan pesan singkat yang dikirimkan untuk Felly, menjadikan persahabatan mereka menjadi yang terbaik, memahami satu sama yang lainnya dan tak terkecuali juga membahas tentang impian yang di persembahkan untuk alam yang di pijaki.

================================================================


Sabtu, 02 April 2011 14:37 | Oleh : Edison | PDF| Cetak| Email
KOPI, Malam ini tak ada kata yang bisa aku katakan dan tak ada kata yang bisa aku rangkaikan. Akan tetapi, ada satu cerita yang ingin aku ceritakan, cerita pertemananku, cerita jeritanku, cerita kebersamaan dengan Yek, orang yang telah menemaniku, mengajariku, dan menjadi pendengar yang baik dalam tiap tangis dan tawaku, orang yang istimewa yang pernah aku temui dalam hidupku.
Sudah cukup lama aku tidak menatap matanya yang selalu menjadi rembulan yang menerangi tiap-tiap jalan yang aku lewati dan rasanya sudah lama juga aku tidak menyalami tangannya yang dulu menjadi penunjuk arah kemana aku harus berjalan saat aku menempuh persimpangan.
Aku sangat merindukan wejangan yang selalu ia sampaikan padaku, tatkala aku dihadapkan pada pilihan yang akan aku pilih. Seperti dimana aku sekolah, kenapa sekolah itu, atau hanya sekedar wejangan untuk selalu mandi di sore hari.
Semua itu memang terdengar konyol dan gila, tapi kekonyolan dan kegilaan itulah yang selalu membawaku mengingatnya dan menyunggingkan seutas senyum saat pesan untuk mandi itu terlintas lantaran aku merebahkan tubuhku di ranjang dengan bau badan yang menusuk indera penciumanku.
Bayang-bayang itu terkadang terlalu kuat. Ia seakan menjelma sesosok Yek yang selama ini menemani hari-hariku di Palembang. Ia menjadi sosok yang nyata ketika aku bepergian dengan Busway. Aku ingat betul alasan ia mengajariku bersepeda motor ketika SMP, tak lebih karena ketidaktahanan beliau melihatku menunggu Angkutan Desa yang membawa anak-anak seusiaku ke sekolah.
Terkadang aku berandai, andai beliau ada di Jakarta, atau andai beliau tahu aku sedang menuggu Busway. Aku dapat pastikan bahwa ia tidak akan senang melihatnya, ia tidak pernah senang melihat siapapun juga menunggu, ia ingin melihat orang bekerja dan melakukan sesuatu. Beliau selalu mengatakan bahwa ia tidak pernah menunggu.
Alih-alih menunggu, ia pernah berbagi cerita denganku, bahwa selama bujangan ia pernah meninggalkan seorang wanita yang selalu menemani hari-hari tuanya saat ini lantaran keterlambatan si nenek menjumpai beliau di tempat yang telah dijanjikan. Spontan cerita itu menggelitik ‘urat tawaku’. Aku pun tak bisa membayangkan merahnya muka beliau jika ia tahu saat ini aku sedang menunggu temanku yang terjebak macet untuk memenuhi janji pertama kami.
Aku rasa andai pun beliau tahu aku sedang menungggu temanku yang terjebak macet itu, akan aku katakan pada beliau, ini bukan Taja Raya, desa tempat dimana aku dilahirkan, ini adalah Jakarta, ibukota negara yang selalu berisik dengan deru mobil di tiap detiknya. Mungkin aku pun akan mengatakan padanya, aku tidak akan menunggu lagi, karena aku akan segera pulang ke Banyuasin, kabupaten yang menjadi saksi bisu dari pesan-pesan beliau untuk cucunya yang nakal ini.
Beliau selalu menjadi daya tarik sendiri bagiku, ia bahkan lebih dari seorang Yek. Ia selalu menjadi cermin bagiku sebelum aku berangkat ke Paramadina. Beliau selalu mengatakan bahwa, aku adalah perpanjangan tangan dari kehidupan di masa mudanya. Tapi aku selalu mengatakan bahwa kehidupan aku sekarang adalah jalan hidupku, bukan perpanjangan dari kehidupan beliau.
Seperti biasanya, jika aku mengatakan kata-kata itu, mukanya selalu masam dan sedikit menggerutu serta ia mengernyitkan dahinya kemudian tertawa, menunjukkan giginya yang sudah tak lengkap lagi, aku pun tergelak menyaksikan tingkahnya yang kadang aku pikir terlalu kekanak-kanakan. Aku dan adikku memiliki panggilan khusus untuknya ‘Yek Jat’.
Sekarang aku tinggal di Jakarta, kuliah disini, merajut mimpiku. Secara tak langsung, apa yang beliau pernah katakan menjadi awal dari tiap langkah yang aku tempuh sekarang. Sekarang aku hidup di asrama, aku selalu berandai ada di Palembang bersama beliau, tetapi tetap saja, ketika aku bangun dari tidurku, aku di sini, di Jakarta. Itu semua yang selalu terngiang dipikiranku, moment itulah yang selalu aku mimpikan di setiap tidurku di sini, di Jakarta.
===========================================================

Sarunai Saluang Musriadi

Saciok dantuang gurindam
mambali tangisan malam
paubek luko nan dalam
baurai sayuik dik nan manyayuik

basimbah langkah manapi
bapantang duduak di subarang
aluih kurina dunie manyalo
mananti likuak jo tari pituluik

kato lah bulek di mufakaik
mufakaik tali kasiah ka bakeh dunsanak,
kok ado juolai sarosok bak pituah budi
denai manarimo ilimu na tabilang

mahanyo ilimu bukan karano pitih,
tapi mahanyo ilimu dik karano budi, niek, usaho jo doa
sarjana dipangku bukan untuak manyasak bumi,
tapi mangumpuakan budi nan taserak,
akhlak nan baleak,

Sarunai Saluang Musriadi
dihari raba-a mampukek jalo
di hari kamih maelo selo..
oi anggun tungga babeleang
danga-dangalah kaba rang tuo-tuo

sabab apo nan kadipangku
manjadi pangkuan kito di akhia dunie..
ka tuo bakubuah tanah
nan mudo pancataik sajarah..

tarimokasih kabakeh pak Musriadi
lah mambari ilmu nan alun tantu kami dapek i di subarang jalan..
 =================================================================

Ku Jua akan Menantimu

Semua yang mereka punya merupakan lambang tak bertuan,
lambang yang menatahkan semangat dan menimang segala yang tidak kau punya,
di satu sisi ada semat menyemati gelagat yang di tirukan dengan itu.
ada lautan yang menanti derunya ombak,
gelombangnya memanggil penantianmu yang sempit.
Usiamu bukan taruhan untuk membentangkan sayapmu yang kian sakit dan patah,
tapi jalan kepak tak bermuara dipersimpangan jalan..
kau tahu aku siapa?
aku muara tandus yang kemaren baru disirami hujan tangismu.
Ku Jua akan menantimu didermaga itu,
dermaga yang seuntas benang merah yang diselipi melati putih berdarah jingga,
namun itu belum bisa mengalahkan ketidak tahuanmu atas nama penantian semu.
==============================================================

Surat untuk Tuhan (15)


lorong-lorong masa lalu
menganga seperti mulut buaya
menghampiri,
mengendap, tanpa bunyi
menerkam setiap mangsa yang lengah
seperti aku
saat ini
menaruh harap kehadiran bidadari
yang kutemui di setiap langkah
kusapa dengan senyum, dan sedikit kerlingan
Rabb,
untukMu kuabadikan
tarikan nafas penuh asmaMu
Rabb,
berbulan-bulan
tahun demi tahun
kembali kutemukan wajah-wajah yang sama
miris, menanti kabut senja bertabur air mata
aku hampir-hampir hilang kendali
menatap sesuatu yang Kau ciptakan bukan milikku
Rabb,
ingin ku kembali ke masa itu
dimana wajah-wajah itu masih di sini
dalam rengkuhan anugerahMu, biarpun penuh noda
Padang Panjang, 13 April 2011
 ===============================================================

Pencuri Senja

jaminan apa yang kau beri.........
kala hujan tak berhenti sirami.......
dalam luka sang pencuri senja......
tak tertanya,,,,,,,,
hanya terasa.........
===========================================

Ada yang Hilang

ada yang hilang dalam cerah hariku...
ada yang hilang dalam canda tawaku...
ada yang hilang dalam kebersamaanku...
ada yang hilang dalam suka duka ku...
ada yang hilang dalam slide-slide hidup ku...
yang hilang itu kamu!
ada yang hilang dalam hati kecilku, desah nafasku, detak jantungku...
ada yang hilang dalam seluruh bagian hidupku,kisah-kisahku, alir darahku..
ada yang hilang dalam harapan-harapan hidupku, tujuanku, progresiku..

yang hilang itu kamu!!

keceriaanmu, suka dukamu, senyum manismu,canda tawamu...
kau tak kan pernah tahu itu...
karena ku tahu ku bukanlah untukmu...
itu semua lah yang buatku tak beri tahumu...
bahwa ku sangat kehilanganmu...
ku sangat cintaimu...

ya itu kamu...

alasanku yang bisa membuatku bertahan sampai saat ini...
membuatku kuat memenangkan pertaruhan antara hidup dan mati diri...
membuatku bisa bertahan hidup hingga detik ini...
kamu adalah alasanku bertahan sampai waktu ini...

kamu...
itulah  satu-satunya alasanku..

saat kamu pergi...
tak disini disamping diri...
menjauh,berkasih dengan jiwa yang lainnya lagi...
alasanku pun juga turut pergi...
jadi tak ada guna lagi aku disini..

sungguh terasa ada yang hilang..

yang hilang itu kamu!!!
ya....itu kamu!!!
==========================================

Aku Pergi

Aku pergi..
dan berharap tak kan pernah kembali lagi..
Ku tlah coba tuk banyak mengerti,
Ku tlah sedia ada di sisimu saat kau sendiri..
Namun apa? semua tak pernah berbalas, yang ada hanya perih..

Perih hati ini, bag ribuan pisau menyayat-nyayat hati..
Hanya semua perasaan melankolis yang memeluk diri yang bisa kulaku saat ini..
Sedih, pedih, atau apalah semua istilah perih yang pernah ada di dunia ini,,,
Buatku ingin lari dari semua cerita kita...Aku ingin pergi!!
Aku harus pergi!!... Ya..aku Pergi!!!

Jangan pernah menyesal jika kutak kan pernah kembali lagi..
Jangan pernah berharap ku kan slalu ada di sisimu lagi..
Mengemis-ngemis cintamu, seolah ku tak punya harga diri seperti dulu lagi..
Jangan pernah berharap...Dan ku tak kan pernah seperti dulu lagi..

Mulai kini..
Mulai saat ini..
Selamat tinggal kekasih...
Ya..Aku Pergi..
Benar-benar pergi...
(By (Annisa Puspa Kirana)
================================================

Mencari Cinta Kasih di Belakang Balok

KOPI, Jiji seorang lulusan seni terkemuka di negeri orang, bukan Indonesia. Sepuluh tahun telah meninggalkan kampung halaman di Payakumbuh. Akan tetapi ketika ia pulang kekampungnya ada ketidak betah-an dirinya di kota batiah tersebut, tiada kawan seangkatan dan tiada usaha yang sepadan dengan kemampuannya. Tak heran jika kepulangannya ke kampung halaman sering jadi pertanyaan orang lain, dimana kerja, apakah sudah pegawai negeri, menganggur, atau apakah dia sudah menikah, dan kenapa belum menikah di usianya yang hampir kepala tiga. Kedua orangtuanya pun ikut terpengaruh pula oleh omongan para tetangga, membuat mereka merasa menyesal dan kecewa dengan tidak nampaknya hasil yang anaknya peroleh selama pergi merantau. Jiji sangat berbeda wataknya dengan teman sebayanya, serta pribadinya yang sedikit “unik” dimata orang yang tiap kali memandangnya. Jiji sering hidup secara nomaden, dari rumah orangtua angkat ke rumah orangtua angkat satunya lagi, hal itu dilakukan saat hatinya benar-benar telah tersinggung dengan kata-kata yang menyesak dada. Jiji dibesarkan selama dua belas tahun dari seorang ummy yang berasal dari negeri Arab. Negeri yang banyak menginspirasi perubahan besar pada diri Jiji. Seorang ibu dan ayah yang di tinggal mati buah hatinya dalam usia dua hari.
Jiji anak yang selalu ditinggal sibuk oleh ibu bapaknya berdagang, jadi pantas saja Jiji memiliki sifat yang sensitif, banyak menatap dan selalu terdiam saat semua kesalahan ditumpah ruah pada hatinya, oleh kakak, adik, dan tetangga, wajar saja karena keisengan dan kesalahannya pada diri dan tidak biasa canda tawa oleh kakaknya. Hobi bertiduran di mimbar masjid berselimutkan sejadah imam masjid dekat rumahnya, dan bermain di pusara; membersihkan, mencabut rumput yang berkeliaran di liang-liang yang di penuhi rerumputan nakal. Di kota Padang, dan keliling dunialah tempat peraduan yang sangat ia sukai. Mencari inspirasi dan mencari sesuap rezki dari kebiasaanya bercuap bahasa minang yaitu petatah petitih, menyanyi minang, dan berpuisi ria, dan tak lupa pula menangkal segala gundah dalam hatinya dengan lantunan ayat alquran, walau masih terbata-bata namun tetap menghiasi harinya yang lengang.
Meskipun Jiji bukanlah siapa-siapa, bahkan kata orang Jiji tidak memiliki strata keluarga yang jelas, dan bukan kategori keturunan yang kaya, dan berpendidikan. Jiji memiliki kisah hidup yang membuat orang berusaha mencerna sampai tujuh hari kejadian yang menimpa dirinya, misalnya saja, uang yang dua puluh ribu bisa tahan sampai satu bulan kerja, dan keanehan lain yang membuat dirinya dalam satu bulan itu selalu diberi amplop berisi uang dua puluh ribu sebanyak dua puluh lembar, memang benar apa yang dikatakan ulama bahwa rezki itu selalu datang dari pintu mana saja. Setamat dai kuliah Jiji mencoba peruntungan dari sekolah ngajar ilmu umum es de, esempe, es em a, perguruan tinggi, namun kepuasannya untuk menjadi pribadi yang idealis, enjoy, cuek, peduli belum menjurus terhadap pengalamannya yang semakin hari semakin menyesak pikirannya agar cepat di salurkan bagi yang membutuhkan, ilmunya, pengalamannya dan kekuatan dalam suaranya. Jiji memiliki perawakan yang manis, tinggi semampai, hitam manis, badan tegap, dan apalagi kalau melihat senyuman dan telaga matanya, waduh.., luar biasa sejuknya. Jiji termasuk anak yang tenang dalam menyikapi orang yang menghinanya, namun larut dalam tangis membuat hatinya selalu mengadu pada Empunya jiwa dengan memakai bahasa minang totok (bahasa minang yang di baluti bahasa petatah petitih).
Jiji selalu mengikuti aturan keluarga angkatnya yang di Mesir, ibu dan ayah yang selalu mengajarkan etika kejujuran dan kesucian hati pada Allah, keluarga kaya yang mengajarkan Jiji sosok yang menerima apa adanya. Walau telah di besarkan dari keluarga kaya raya, asuhan dari seorang dokter umum dan dokter syaraf, namun kelelahan Jiji tidak selalu di hiyasi tidur beralasan kasur empuk, namun lapiak pandan yang dahunya di bawa dari Indonesia, hanya sebatang tubuh. Suatu ketika Jiji mengalami kecelakaan di daerah Padang, tepatnya di pasar raya, saat Jiji menuju masjid Taqwa selepas loper korannya habis. Suasana saat itu lengang dan tidak padat seperti biasanya, bahkan tidak semberaut dengan musik, klaksonnya yang buat telinga ikut tersakiti.. ribut, bising dan ntahlah apa lagi yang pantas di beri namanya itu. Angkot jurusan pasaraya dan lubuk buaya melaju kencang dari perbatasan Ramayana menuju pasaraya, selang panas yang menyiksa kulit, Jiji saat itu telah melangkah hamir mendekati batas jalan raya, nasib memang di tangan Tuhan, selayaknya ia harus sampai, angkot yang melaju kencang ternyata menambrak badan Jiji, semua yang memandang menjerit histeris, dan begitu ramai di sana, saksi mata begitu banyak yang melihat kejadian itu, namun ada satu saksi mata yang melihat kemana Jiji dibawa oleh orang berbaju putih tinggi. Mulut angkot peot, dan banyak yang ikut mencari keberadaan Jiji di bawah mobil. Al hasil Jiji yang sigap melangkah ke ruang masjid terhenti sejenak, kerumunan orang menyesak keheranan, seharusnya Jiji telah mati, lho kok masih hidup..?
Jiji kenal baik dengan beberapa warga pasar yang ikut mondar mandir menjadi parkiran, penjual bakso, dan es tabu. Wajah pucat pasi terlihat di wajah supir, sesekali air mata bersalahnya keluar menyatakan kehilafannya, namun Jiji tetaplah Jiji, dengan senyum yang membekas di bibir mungilnya. “maaf da, ado apo da..? bertanya seperti tidak terjadi apa-apa.
“Diak maaf bana, ambo indak singajo do ngebut karano langang”
“Ngeebut apo da” Jiji masih bertanya keheranan, yang paling herannya lagi orang di sekeliling kebingungan mendengar perkataan Jiji yang dingin, dan tetap tenang.
“Adiak tadi ambo lantak, badantuang bunyi oto ambo, bahkan oto amboko alah penyok”
“he..he uda bagarah ma, ambo sajo ko baru ka malangkah ka musajik, di ma pulo ambo ka balantak da..? tapi ambo iyo tadi agak takajuik mandanga bunyi dantuangan kareh bana, rasonyo manusuak ka talingo”
“onde diak, adiak indak sadar do..? molah ka rumah sakik kito, ambo batangguang jawab diak atas apo yang tajadi hariko, ambo indak ka lari do diak sebagai sopir yang batangguang jawab”.
Salah seorang masyarakat memakai baju kaus bermerek Bukittinggi, Datuak Nyao namanya, berusaha menjelaskan apa yang ia saksikan tadi, berkumpulah masyarakat, dan tak satupun kendaraan yang lalu lalang, Jiji yang merasakan tidak terjadi apa-apa juga mendengarkan penjelasan Datuak Nyao.
“Piak, sebenarnya kamu tadi memang seharusnya berada di kolong mobil, tapi dengan izin Allah, Datuak melihat kamu di angkat oleh dua orang lelaki berbadan besar dan berbaju putih, bunyi yang terdengar tadi adalah ingatan Allah untuk mu nak sopir agar kamu bisa lebih berhati-hati di jalan raya, maut sangatlah dekat sekali dengan diri kita. “Sudahlah, jangan di perdebatkan lagi kejadian ini, ambil saja hikmah pada kejadian ini, yang semula saat azan zuhur berkumandang, maka suara bising angkot ikut juga bisa saja saling sahut-sahutan, nah sekarang kalian ingin tahu tentang apa yang terjadi sebenarnya..ayo mari kita solat zuhur berjamaah, lima menit lagi jadwal solat akan masuk, sekarang, kita lakukan solat berjamaah, dan sehabis solat Datuak jelaskan sedetilnya, serta si upiak ini kita minta untuk berbicara, apa yang ia amalkan selama ini, sampai Allah benar-benar telah menolongnya.
Jiji tersimpul malu dan cemas, akan permintaan datuak untuk dia menyebutkan segala amalan yang ia lakukan selama ini, Novia Kolopaking, istri Em Ha ainun Majid, kira-kira seperti itulah wajahnya. Wajah yang menampakkan manisnya senyuman itu, he he mungkin perbedaan yang sedikit bonsor dari badan Novia.
“Maaf Pak datuak, saya bukanlah siapa-siapa, bahkan saya tidak tahu apa yang terjadi barusan, dan benar adanya suara itu memang saya dengar, sampai saat ini saya dengan jernih mendengarnya.”
Atas persetujuan masyarakat yang berkelumunan meng iyakan untuk solat jamaah di masjid Takwa. “Piak sebutkanlah apa yang ada dalam ibadah harianmu pada kita semuanya agar kita bisa mengambil pelajaran dari katamu Piak” Datuak Nyao menegaskan agar Jiji bisa membagi kebiasaan baiknya untuk bisa di pelajari dan tambah yakin dan dekat pada Tuhan.
Jiji segera meninggalkan Datuak Nyao dan masyarakat menuju tempat wuduk, banyak yang mengikuti Jiji, sampai kebiasaan Jijipun di tiru yaitu solat sunat rawatib, dan selalu berzikir menantikan saat-saat indah muazin mengumandangkan azan, sesekali matanya mengalirkan air mata haru dan takut mengingat kejadian tadi, bahkan sangat takut dengan, ia harus menggantikan posisi ustadz yang duduk di kursi yang tidak sembarangan yang bisa berbagi ilmu agama kepada jemaah, namun sangat mudah bagi Jiji untuk bisa menyebutkan kebiasaanya yang terbilang langka di usianya.
Solat jamaah yang mengesankan bagi Jiji, belum lagi doa menghias batin selesai, Jiji di panggil oleh garin masjid untuk bicara di depan jamaah semua, tak mau tapi harus mau.. mikrofon basah oleh dinginnya tangan yang berpeluh, gemetaran, menangis. “ tak tahu apa yang akan di sebutkan oleh Jiji, dengan tangis tertahan Jiji mengatakan bahwa amalan yang ia sering lakukan adalah selalu berprasangka baik pada Tuhan dan keadaan alam yang Allah amanahkan pada manusia, serta selalu membelai kepala anak yatim dan anak gelandangan.
Semua jemaah terkesan tidak percaya dengan amalan itu, Jiji berusaha menjelaskan di mana letak kekurangan dirinya sebagai hamba Tuhan dan umatnya nabi, tidak ada yang harus di banggakan didunia ini apapun jenis usaha kita, toh semuanya itu Allah sudah mengaturnya, dan tidak ada satupun manusia yang bisa menjamin apakah hari ini atau esok dia masih hidup. Datuak Nyao mengungkapkan bahwa Jiji bukanlah gadis sembarangan, walaupun sedikit ada terdengar nyeleneh tentang baju basiba yang ia pakai kemanapun ia pergi, warna warni!
Kagum dan luar biasa bagi Datuak Nyao akan kebiasaan Jiji, di usia yang terbilang sangat muda, ia mampu mengamalkan ajaran agama, walaupun belum seutuhnya sempurna. Datuak Nyao memiliki perguruan silat di Tabiang, Datuak Nyao menginginkan agar Jiji bisa bergabung dengan perguruan yang ia pimpin, mengingat selain menjadi pendekar juga menjadikan anak didiknya sebagai hafidz dan hafidzah. Jiji yang sedikit tomboy dari jalannya, mencoba meng-iyakan tawaran Datuak Nyao untuk menjadi anak didiknya di perguruan silat syahadat.
Apakah hanya dengan mengelus kepala anak jalanan dan tidak ber-ayah ibu bisa mendapatkan perlindungan dari Allah, dan berprasangka baik juga mendapatkan mukzizat yang nyata..? Datuak Nyao mencoba bertanya ulang apa yang ia dengar di masjid tadi pada Jiji. “Setahu yang saya baca memang begitu pak, dan saya hanya ingin meniru ajaran nabi yang dibiasakan oleh orang tua saya."
“Ya..ya..” Datuak Nyao mengangguk-nganggukkan kepalanya. “Saya baru tersadarkan jika orang melakukan segala sesuatu dengan senang hati maka kebahagiaanlah yang sampai pada hatinya, tenang, damai dan tetap semangat hidupnya, optimislah pokok nya.
Comments
Add New
============================================================

Tiga Cincin di Liang Lahat (01)

KOPI, “Sahabat adalah kebutuhan jiwa yang mendapat imbangan. Dialah ladang hati yang dengan kasih kau taburi dan kau pungut buahnya penuh rasa terima kasih. Dia pulalah naungan sejuk keteduhanmu. Sebuah pendiangan demi kehangatan sukmamu, karena…,kau menghampirinya dikala hati gersang kelaparan dan mencarinya dikala jiwa membutuhkan kedamaian.

Bila ia bicara menyatakan pikirannya, kau tiada menakuti bisikan “ tidak” dikalbumu sendiri. Pun tiada pernah takut melahirkan kata “ya”, dan bilamana ia diam, terbungkam tanpa bicara hatimu tiada kan henti mencoba menangkap bahasa hatinya. Karena dalam rangkuman persahabatan tanpa kata, segala pikiran, harapan dan keinginan dicetuskan dan didukung bersama.
“Persembahkanlah yang terindah demi persahabatan” jika dia harus tahu musim surutmu, biarlah ia mengenal pula musim pasangmu, sebab siapakah sahabat itu hingga kau hanya mendekatinya untuk bersama sekedar akan membunuh waktu? Carilah ia, untuk bersama menghidupkan waktu.
Sebab ialah orangnya untuk mengisi kekuranganmu, bukannya untuk mengisi keisenganmu dan dalam kemanisan persahabatan biarkanlah ada tawaria kegirangan, berbagi duka dan kesenangan sebab dari titik-titik kecil embun pagi, hati manusia menghirup fajar hari, dan menemukan gairah segar kehidupan.
Baris perbaris surat yang ku dapati dalam tasku yang disengaja oleh wanita muda alasannya kancing tasku terbuka yang duduk di pustaka pada deretan kedua yang tidak jauh pada deretan kursi yang ku duduki tadi sore, aku tak kenal dia, dan aku kurang ingat bentuk rupanya, kuamati dengan seksama di tepi Banda Bakali (sungai kecil) sejam sebelum suara azan Maghrib menandakan pertukaran siang menjadi malam. Aku tidak tahu apa maksud dan tujuan surat ini, yang terekam dalam benakku hanya maksud yang singgah sesaat lalu buyar kembali, yaitu pernikahan dan menjadi wanita baik dari yang terbaik. Mungkin itu, sangatlah sulit bagiku.
Tiada yang bisa mengikis habis ingatan selama bertahun-tahun tersiksa dan penuh depresi, telah berusaha mencari ruang waktu yang masih tersisa di balik keceriaan dibagi menjadi dua dimensi antara kebahagiaan yang datang dari hayalan dan keterasingan yang timbul dalam eraman musim. Siapa sangka diamku menjadi bumerang bagi mereka, iri terhadap kebiasaanku yang suka menghabiskan sore sepulang sekolah membersihkan batu tua bertuliskan nama penting berpulangnya ke rumah Tuhan tertanam di halaman rumahku, aku tidak tahu itu makam siapa? Untuk dijadikan kambing hitam diantara kawan sepemainanku agar ikut berhuru hara, mencuri jambu masyarakat, mematahkan jemuran kayu pengataman tukang perabot, mempalak setiap warga luar dari tempat lingkungan lurah dan RT Badai apabila jalan pintas yang dilalui pada jalan pintas umum kelurahan ku, mereka harus meninggalkan uang sekitar lima ratus perak, apabila uang diberi, jalan yang mereka lalui aman dan terkendali, dan apabila mereka tidak mau memberi uang maka bersiap-siaplah untuk di kurung pada barak yang tak layak huni tangannya diikat antara ujung kaki dan ujung rambut. Sungguh sadis.
Kelurahan Badai termasuk kelurahan yang angker bagi masyarakat lain, karena perkelahian, salah faham dan saling hasut menghasut telah mendarah daging bagi generasi penerusnya dan itulah motto kebersamaan lingkungan itu dan penyiksaan bagi masyarakat lainnya di luar daerah lingkungan kami.
Tak heran kelurahan Jihad memberi gelar pada kelurahan kami dengan sebutan gang “marvinas” gang tiada hari tanpa bertengkar, semuanya berdarah panas, gang setiap detiknya mengeluarkan api amarah, benci, api dendam dan andai kata ada satu orangpun yang berhati surga bersiap-sialah untuk di asingkan dan menjadi bulan-bulanan cemo-ohan orang. Untung aku termasuk warga Badai yang jarang di lingkungan sendiri karena pengaruh faktor keluarga yang selalu sibuk dalam mengumpulkan harta dan sibuk pula mencari kesalahan orang lain, melukis cubitan di perut, di bahu oleh kakak tiriku juga harus ada bumbu umpatan dan sayur lodeh dari rongga mulut yang bau, senantiasa meludahi setiap ruas wajah berbulu romaku.
Semuanya telah terjadi dan tidak bisa di reff ulang lagi untuk kesekian kalinya, dan kenangan ini harus dirangkai seperti rangkaian batu tasbih raksasa yang diperjual belikan dekat gerbang pemakaman wali songo berbentuk jambul persaksian dengan sedikit untaian manis di ujung tasbih tersebut, semakin diputar semakin terasa dalam genggaman masa lalu.
Aku tidak sanggup mengatakan mereka kejam walau rantai kehidupan kami hanya sedikit berbeda dari sperma pembuahan dari ayah seorang pelayan restoran dan sperma dari ayah seorang bangsawan.
Pedih memang pedih jika diingat sedikit penyiksaan saudara tiriku, pukulan sayang yang meninggalkan bekas luka yang amat dalam dari jari lentik ibukku, tamparan halus dari gulungan singlet, jewelan keras di telinga berbulu oleh ayahku, dan…, tapi apalah gunanya itu semua bila diingat, bukan munafik pula tidak ada pernah mengingat, ingat sih ingat tapi hanya mengurangi energi yang bertahun tahun dihematkan pemakaiannya dan jangan sampai tersia-siakan oleh enam huruf abjad ini yaitu “d e n d a m.” Tiada yang peduli dengan keberadaanku di atas rumah berjenjang sepuluh dan berdaun pintu yang masih kokoh itu untuk menyemaikan kemanjaan pada gurauan kakak, ibuk dan karyawan dagang yang dimotori oleh usaha laris kedua orang tuaku, semuanya hambar akan maknanya cinta serta hikmahnya di balik musibah, matanya berkilauan terpancar dari silauan uang logam keemasan pada peluh yang bergelantung di bibir dahi, jauh jangkauan mata bicara tentang rindu, dan jauh harumnya melati dari jemari besar sang ibunda dan jauh nuansa romantis mawaddah warahmah dalam istana nauangan malam jika dingin dan hujan yang datang silih berganti.
=========================================================

Tiga Cincin di Liang Lahat (02)

KOPI, Tiada belaian tiada pujian tiada sapaan dan tiada uang jajan yang berkelebihan, dan tiada pula yang istimewa dari penggalan kisah hidupku yang saat ini masih mencari jati diri sebagai jiwa “berkepribadi”, “berprinsip dan berinovasi”. Berlari tak cukup kencang mengejar bayangan sukses dari balik keberhasilan mereka yang ber-uang, tak heran keberhasilan itu susah di cari karena keseriusan menatap bayangan diri dengan semangat untuk bangkit sempit sekali, sesempit hidung yang sedang tersumbat dan begitu jugalah sempitnya hidup yang dijalani tiada dorongan semangat dari yang terdekat. Ada kemudahan di balik semua itu yaitu timbulnya nilai mudah semudah meraih prestasi dengan memilah masalah rumah dan sekolah agar beasiswa prestasi selalu menanti tiap bulan gajian para pegawai Negeri. Tujuh puluh lima ribu rupiah sudah cukup bagi siswa kelas tiga SMA, selama rezki yang selalu mengalir itulah niat hati menjadi manusia nekat berawal. Sedikitpun tonggak gengsi terpatahkan secara membabi buta agar aku tidak terhalang melangkahi jurang hidup untuk sekian kalinya.
2001, tahun kebebasan dalam hidup ku, tahun yang akan menjadi saksi bisu perjalanan menuju makbulnya impian, nyatanya setangkai doa; “Tuhan Izinkan hamba menjadi manusia yang bermartabat dan bermanfaaat bagi setiap sesama sampai ajal menjemputku” selalu berdoa hanya itu ke itu saja, dan jangan sampai Tuhan bosan mendengar kelanjutan doaku yang kemungkinan besar berulang-ulang dalam ucapan dan berkata-kata dalam bilangan dan menangkis sumpah saat kedurhakaan singgah sejenak lalu istiqfar, itulah aku sosok wanita muda yang berbulu remang di sekujur tubuh, memiliki rantaian retak tangan berbentuk huruf alfabet, bermata jeli pada penglihatan yang bukan penglihatan dari orang awam pada umumnya tapi penglihatan yang tak kalah canggih dari penglihatan para normal, bermata sayu penglihatan tajam berlingkar abu-abu dan tidak berbulu pada kelopak bawah.
Semenjak merantau ke daerah lain yang jaraknya lima jam perjalanan dari rumahku, keilmiahan berfikir masyarakat bercampur dengan kemustahilan dalam logika, karena kos yang kutempati semuanya berbau mistis, ditambah lagi dengan kemistisan yang kupunya saat masih dalam kandungan, semuanya aneh bagi masyarakat awam dan biasa saja bagiku, semua yang kulihat bila malam tiba ketransparanan terlihat jelas di sudut angker bagi orang, mengasyikkan bagi diriku. Pandainya aku melihat yang tidak bisa dilihat oleh orang lain membuat aku merasa berbeda dengan kawan kampusku, karena setiap ikut nimbrung makan di kafe tua di sebelah gedung fakultas maka terlihatlah jelas rombongan manusia halus di antara mereka, dan temanku tidak akan pernah merasakan dan tahu akan hal ini. Semua ku tutup rapat serapat musibah yang melanda mahasiswi ilmu akuntansi kerasukan tujuh jin di tubuhnya. Meronta, menjerit, marah dan dictator, mata melotot dan pingsan, tiada yang mampu menolongnya, dosen dengan sigap memanggil garin mesjid meminta pertolongan, hasilnya nihil, korban kerasukan semakin bertambah sampai pada tujuh orang, lagi-lagi tak ada yang sanggup menolong, kecuali ahli ruqiyah center yang di pesan datang dari telpon seluler, syukurlah bisa diselamatkan… Dan cerita singkat ini tidak perlu dirangkai lagi secara serius karena itu hanya penggalan sebuah arti rabun perjalanan, boleh percaya dan boleh juga tidak.
Gengsi tak mematahkan arangku untuk terus melanjutkan pertualangan yang masih kujajahi, antara kehidupan nyata dan kehidupan di bawah alam sadar, seperti temanku Rizal semenjak usianya menginjak dua belas tahun dia telah diwariskan oleh Eangnya ilmu meramal dan ilmu terawang lewat meditasi panjang dari Jawa Tengah, Sanusi pewaris tunggal ilmu pelet dari Banten, Ano calon “pemborong” handal yang keturunan Minang India, dan Ipung di gemleng sebagai buya kondang di ranah Minang.
Kami empat sekawan berusaha menerima keadaan kami dengan apa adanya, menjalani kehidupan yang serba tanggung dengan kepandaian hanya sebatas pengalaman, canggung menjalani pergaulan dengan bobot duit yang melimpah ruah, antipati terhadap dugem, menutup mata atas berpesta pora, memagar diri dari pacar yang selalu gonta ganti demi memuaskan nafsu sesaat dan dalam kamus hidupku, hidup ini adalah keputusan mutlak yang tidak bisa diganggu gugat dengan apapun jua, yang penting hidup harus dijalani sampai target Tuhan telah mencatat setiap ruh dalam jiwa untuk kembali kepangkuanNya. Syukurlah itu semua hanya pengamatanku kepada temanku yang tajir, seksi, dan…, ah sudahlah itu juga termasuk dalam daftar penyemangat hidup agar aku bisa menggenggam hidup sesuai dengan arah gelombang menerbangi angin badai pada satu poros lingkaran.
Mata kuliah bahasa Arab 2004
Setelah tamat dikeilmuan tanah, aku melanjutkan kuliah demi mengobati rasa pesaranku akan nilai-nilai berbahasa dalam mata pelajaran yang seratus derjat tidak adanya sangkut paut akan ilmu murni yang ku pelajari beberapa tahun nan lalu, pandai berbahasa selain bahasa ibu merupakan kesenangan batin yang sulit dilukiskan dengan kata-kata, tapi bagiku yang awam Mata kuliah bahasa Arab menyulitkanku untuk mendapatkan IPK tertinggi seperti mudahnya ku meraih IPK di ilmu ketanahan, tapi sulitnya bahasa Arab memudahkan jalanku untuk mengurai kesulitan yang tersendat-sendat karena bekal kupunya hanya ilmu tanah bukan ilmu berbahasa untuk mengeja bacaan huruf Arab yang tidak punya baris sama sekali boleh dikatakan pelajaran kitab gundul.
Harapan yang terbesar untuk nimbrung kuliah berstatuskan Arab, berupaya bisa menjadi penerjemah handal walaupun yang diterjemahkan bahasa desa yang skandal dalam peperangan antara perang Pakistan dan Amerika.
Dari situlah bayang-bayang uang mulai memaksaku untuk mencari dan mengejarnya pada pekerjaan serabutan mulai dari tukang cuci, tukang ketik, tukang masak, tukang koran, tukang sayur dan sedikit bergengsi tukang guru ngaji. Demi uang lima puluh ribu, dua puluh pasang perhari baju karyawan kantor kucuci dalam seminggu, tiada sedikit pun yang bisa membuatku malu dan tak satupun juga kawanku mengetahui kerjaanku selain kuliah, selama tiga bulan suka dan duka sebagai tukang cuci borongan membuat aku berhenti dari pekerjaan itu, dukanya upah nyuci tidak dikasih selama dua bulan, dan sukannya aku mendapatkan pengelaman, sedangkan hidup dirantau orang menuntutku untuk selalu berusaha demi mengganjal lambung tengah.
Lain halnya dengan pekerjaan ku sebagai tukang masak, selama kuliah di jurusan Sastra Arab, aku sempat berkenalan dengan seorang Dosen, Zainab namanya, Bu Zainab menyuruhku pergi ke rumahnya untuk bersilaturrahmi, aku menyanggupi ajakan beliau, setelah enam kali selalu nyasar mencari keberadaan rumah bu zainab, akhirnya ku “ hallo, bu Zainab, saya Syekhana, udah enam kali saya nyasar mencari rumah ibu, kalau boleh tau alamat persisnya dimana ya bu? Dan bu Zainab menjawab dengan semampunaya ditambah dengan ketawa geli “ o….dekat kampus no 2” setiba disana bukannya duduk yang disuruh melainkan pergi ke dapurnya untuk membantu, apa yang bisa saya bantu.
“ bikin apa bu? Kataku sekenanya “o ini mau bikin rendang tapi aku tidak bisa maklum aku orang Sunda” kamu bisa Syekhana? “ Mmm..saya coba dulu bu habis udah lama tidak bikin masakan ini.
Ku mencoba sekuat tenaga untuk membantu masakan bu Zainab, tak terasa selama 3 jam aku belum juga dikasih minum layaknya sebagai tamu, tapi aku hanya diberi uang sembilan ratus ribu untuk upah ku memasak. Tak di sangka rezki itu tidak berpintu. Dan selama satu tahun aku dipercaya oleh bu Zainab sebagai tukang masak pribadinya.
Dan hari ini tepat tanggal 14 juli 2004, lima hari sebelum hari ulang tahunku, ibuk menelfonku untuk pulang ditanggal delapan belas, pulang untuk memenuhi keinginan kawan sepermainan semasa kecil untuk menerima pinangannya, bukan kata tidak ku utarakan pada ibuk tapi, kata ya yang kusampaikan dan lagipun dia adalah cinta monyet berkarakter lembut tegas dan pintar, segala persiapan yang telah dilakukan oleh kedua belah pihak untuk mencapai hari yang sangat spesial, cincin tunangan, simbolis mahar, dan penetapan hari yang sangat sakral juga telah secepat kilat dirancang demi menyatukan insan yang punya hati semenjak kecil.
Surat izin kuliah telah ku ajukan kepada pihak kampus untuk mendapatkan izin tidak kuliah selama waktu yang telah ditentukan. Tiada satupun dosen yang mengizinkan atas ajuan suratku itu tetapi dosen menyarankan agar aku bisa libur sebentar dan dianjurkan kuliah untuk secepatnya.
Dua hari sebelum hari tunangan itu, aku bermimpi tentang Liwi calon tungananku, dia tertawa terbahak-bahak dan duduk di atas kendaraan bekas tabrakan, mimpi itu menghantui jiwaku, debaran jantungku kencang sekali bila mengingat hari yang telah di tentukan oleh kedua pihak keluarga. Dan tanggal 17 sebelum tanggal 19 aku ditelpon oleh Liwi untuk tidak datang ke kampung karena dia mau pergi jauh sekali.
Liwi : assalamu’alaikum Na? kamu sehat?
Aku : wa’alaikumussalam Wi, aku sehat saja, ada apa ya? Bisa saya Bantu wi?
Liwi : Aku mau pergi jauh sekali, jadi kamu besok jangan pulang kampung ya
Aku : Lho…kok begitu wi ada apa wi? Apakah kedua orang tuamu udah tau? Dan bagaimana dengan hari pertunangan itu?
Liwi : Ah.. nggak usah dikasih tau kok, lagipun mahar, cincin dan hari ha nya untuk menentukan hari terakhirku kok.
Aku : Lho…kamu kok ngomong gitu sih?
Liwi : Ya karena aku pengen aja dengar suara kamu untuk malam ini saja besok belum tentu aku bisa mendengarnya.
Aku : Aku besok juga pulang wi, karena aku dah minta izin dari kampus dan orang tuaku juga berkali-kali menyuruhku pulang.
Liwi : ya terserah kamulah tapi, demi cinta, demi persaudaraan kita aku akan menunggumu di sana. “aku akan selalu Mencintaimu,
Aku : Wi…? (telpon udah ditutupnya)
Hanya lima belas minit lamanya percakapan kami, jiwaku gundah, apakah ada pertanda dengan mimpiku itu? Aku cemas, bimbang, dan sedih. Ada apa ya sebenarnya terjadi, apakah Liwi tidak suka samaku, atau aku tidak pantas untuknya? Berbagai pertannyaan menemaniku untuk begadang tidak ada sepejam matapun bisa tidur nyenyak seperti biasannya. Pagi- pagi sekali aku telah berada di terminal mau beli tiket untuk keberangkatan jam tujuh, selama dalam perjalanan gundahku semakin menjaadi-jadi banyak kejadian yang terlihat selama dalam perjalanan, tabrakan mobil dengan sepeda motor, tabrakan sepeda motor dengan sesama sepeda motor, dan mengakibatkan cidera dan banyak menelan korban. Aku tidak tahu apa hikmahnya itu, lima jam perjalanan akhirnya aku sampai juga di rumah.
Sepi, sunyi, dan tiada satupun yang menjawab salamku, ibuk, ayah, dan keluargaku kata tetangga pergi ke pasar sebrang, ada yang meninggal, aku heran diantara keluargaku siapa ya yang meninggal? Kebetulan duplikat kunci rumah ada dalam tasku, rumah begitu rapi, ada hiasan indah di dinding, bercat putih bercampur ungu, mahar, cincin, dan kamarku pun ikut rapi.
“ Eh… kamu kapan nyampainya na? Kata karyawan ibuku
“ Baru sebentar ini mang” oh ya Ibu, Ayah kemana sih… kok rumah sepi sekal?
“ Waduh Na, lebih baik kamu ikut deh.
“ Kemana Mang, ke pasar seberang, ada…ada…aduh aku tak sanggup bilangin ini semua sebelum kamu pergi sendiri tapi kamu yang sabar ya.
“ Sebenarnya ada apa an sih Mang? Ayah tabrakan ya atau…?
“Ah nanti aja deh kamu lihat.”
“Oke deh Mang”
Sesampainya di pasar seberang semua keluargaku, keluarga Liwi melihat dan memelukku, tapi aku tidak boleh melihat siapa yang mereka tutupi sama kain kuning itu.
“ Kamu sabar ya Na” Sahut ibu dengan sedihnya.
“Ada apa bu? Semua mata tertuju kaku padaku
Liwi… Na, Liwi… di tabrak orang terdampar tubuhnya sampai enam meter, dan benaknya bercerai berai di aspal itu. Dengan sangat sedihnya orangtuaku menyebutkan itu semua, akhirnya timbul keinginan spontanku untuk mengumpulkan ceceran benaknya yang masih jelas terlihat di aspal, banyak yang melarang, tapi aku tidak mendengarkannya, dan polisipun ikut melarangku dengan alasan itu masih tugasnya polisi, dan aku tetap juga tidak mendengarkannya, tak segan-segan polisi itu sempat marah padaku, dan masih dengan spontan aku juga ikut marah pada polisi tersebut, dan akhirnya semua masyarakat, polisi dan seluruh keluargaku dan keluarga Liwi hanya melihatku dengan tangisan yang sungguh dasyat, mengumpul satu persatu ceceran isi kepala Liwi, ku kumpulkan dengan jilbab yang masih kukenakan, tak satupun rasanya yang tersisa lagi, setelah terkumpul kulekatkan ke kepala Liwi, banyak sekali darah bertebaran kesana kemari, namun aku juga tidak bisa menangis, tangisannku sudah tertahan dengan rasa sayang ku kepadanya.
Walaupun wajahnya tidak bisa dikenal lagi namun dengan rasa sayang itulah aku gendong dia yang pertama dan yang terakhir untuk memasukkan kedalam mobil ambulance. Tak satupun orang yang menghalangiku, semuannya diam mengharu biru.
Darah dibajuku akan menjadi saksi bisu betapa tulusnya cinta itu. Walaupun dia tidak sempat kumiliki namun kenangan itu akan menjadi pengobat rinduku diasaat ada lelaki berwajah mirip dengannya. Malam harinya setelah pemakaman aku disuruh kerumahnya untuk menjemput pesan yang dititipkan pada kedua orang tua Liwi dan kebetulan ibuk dan ayahku juga datang untuk melakukan malam salawat suatu adat di kampung kami, dan setiap ada yang meninggal malamnya diadakan salawat tujuh hari berturut turut.
Sekali lagi air mataku kering. Malamnya sebelum pergantian waktu aku di beri oleh orang tua Liwi surat ber amplopkan hijau, ditengah keramaian itu pula aku diminta orang tua Liwi membacakan isi surat yang ia tulis.
“Pariangan
Kepada, sahabat dan kekasihku
Yang terhormat
“Sungguh aku tidak mengerti akan rahasia hidup sesudah ini, kau sahabatku tapi kau sejuk bila ku ingat bersamamu, tak satupun aku mengerti betapa kejamnya dunia jikalua tidak bisa ditaklukkan dengan sebuah hembusan nafas cinta, aku bangga bila mengenalmu dan menyelami kepribadiannmu semakin jauh. Kau dan aku sungguh berbeda, aku seorang musisi dan kamu seorang petualangan, aku berharap ingatlah aku di saat engakau masih bisa menempatiku pada posisi hatimu yang sangat merindukan indahnya dunia, maaf jika selama ini aku pernah menyakitimu, dan membuatmu terlalu berarti dalam hidupku., Selamat berkurangnya hidupmu, selamat hari wafatmu, selamat hari jadimu dan selamat bertambahnya umurmu.
Aku akan selalu menantikanmu di dermaga surga.
Pesanku jadilah bunga melati diantara riuhnya bau duniawi
Salam sayang selalu
Liwi
surat itu sampai sekarang masih tersimpan rapi bahkan surat itu kuberi bingkai warna kesukaannya. Hari- hari selalu kulalui dengan sedikit kemurungan, jujur aku belum siap bila ditinggal sendirian, namun itu semua terobati dengan keceriaan anak asuh yang kudapati selama menjadi penulis amatir.
Comments
  Add New
===============================================================

Tiga Cincin di Liang Lahat (03)

Satu Langkah Sekaut bayang
“Gadis banyak anak”
putri dari lorong kemiskinan,
ratu sengsara lewat, itu segelintir gurauan yang tak pernah menenggang (menghargai) perasaan orang lain. Maklum mereka yang tak mampu menerima kekurangan karena mereka belum sanggup dan tidak tahu apa rencana Tuhan dalam kemiskinan selama nyawa masih dikandung badan. Gadis tomboy serba cuek, suka bepergian dan sedikit suka mengasingkan diri dari keramaian, dan tidak terlihat goresan kelembutan diwajahnya, yang terlihat adalah wajah kasar dan lukisan brewokan yang menutupi ciri khas seorang perempuan.
Ketertarikanku pada sesosok anak kecil yang berumur 6 bulan sebagian tubuhnya dipenuhi ulat belatung yang terkapar di pinggir jamban dimana, tempat itu sering kulalui saat pulang pergi maraton. Ada yang ganjil dalam pandanganku setiap kaki memintaku untuk istirahat sejenak dari kepenatan, selama ku amati seharian penuh dalam per istirahatan, hatiku teriris berkeping-keping rasanya tak satupun peduli dan tidak tahu keberadaan terhadap anak yang malang lagipun posisi anak itu cukup jauh dari keramaian.
Setiap yang melewati gang jamban itu menjadi pameo (omongan orang) sebagai jalan yang paling kumuh diantara jalan yang pernah dilalui, hari pertama ku amati hanya kaget luar biasa tapi tidak ada jalan keluarnya atas kejadian yang barusan dilihat, hari kedua semua persendianku makin layu karena kondisi yang kulihat kemaren berubah menjadi kondisi santapan semut, hari ketiga ku kembali untuk melanjutkan aktifitas seperti biasa namun mataku tak mau berpindah pandangan yang terlihat hanya kesedihan mendalam bercampur pertanyaan yang bergelayut dalam benakku apakah anak itu benar-benar teraniaya dan serius butuh pertolongan dan….. dimana orang tuanya…..?
Hari ketiga ku beranikan turun kejamban yang sudah lama tidak difungsikan lagi, mencoba mendekat dan menerangi dari henfonku, makin mendekat makin tak kuasa menahan penasaran batinku,
“Ah… masak masyarakat tidak tahu akan keberadaan warganya yang hilang”? Gumam kecilku. Dengan perlahan ku ayunkan langkahku, bukannya kemulusan yang kulewati tapi ketakutan yang menghujam karena di atas jamban itu ada ular sebesar dua kali jempol orang dewasa bertengger pada tubuh kecil tanpa bergerak, walaupun ku terbilang anak yang bisa menaklukan ular tapi…ularnya beda, “waduh…., takutnya anak itu makhluk jadi-jadian”, untung disamping jamban itu ada bilah (pohon betung) yang bisa membantuku untuk menjangkau anak dan ular dari jauh semakin kuat ku bangunkan anak itu untuk memastikan apakah masih hidup atau sudah mati, beserta ular yang menjadi penghalang untuk memegang dan merasakan nadinya, ternyata yang tidak bergerak adalah ular, sedangkan ada reaksi dari suara rintihan anak yang tak beruntung seolah-olah dalam rintihan dia mengatakan betapa sakitnya yang ia diderita.
Ku berlarian ke jalan untuk meminta pertolongan dari setiap yang lewat, respon mereka yang mendengar permohonanku menanggapi dengan cepat, “pak tolong ada anak kecil dijamban bersama ular yang sudah mati terkapar dijamban itu” pak tolong, tolong pak, dengan penuh kepedulian dan keingintahuan mereka yang mendengarkan turun beramai-ramai untuk membantu diriku, setiba di bawah tak satupun yang dapat membantu anak tersebut dikarenakan ada penghalang yang menakutkan, ular, mereka takut pada ular, mau tak mau akhirnya ku beranikan diri untuk memulai semuanya mengangkat ular dengan bilah yang masih kupegang.
Makin mendekat pada sosok anak malang tersebut makin terciumlah bau yang tak mengenakkan, ada yang muntah dan menghindar, ada yang merasa jijik dan tak mau melanjutkan pertolongan itu, dan ada yang tetap membantu sampai membuang ulat yang masih melekat dibagian kemaluan dan dipusat anak malang, alhamdulillah walaupun menguras waktu yang cukup lama akhirnya anak malang dilarikan ke rumah sakit terdekat.
Setibanya di rumah sakit, bukannya pertolongan pertama yang dikeluarkan malah ada di antara perawat yang tugas malam mengatakan.
“Sekarang tidak jadwal kami maaf,”
“Ayo buk”
Bantulah anak ini dia sudah lama terabaikan,
“Apa salahnya ibu membantu sekurang-kurangnya memberi oksigen dan menghangatkan tubuh layunya,”
“Buk bantulah kami!
Tolong bu…? Setiap perawat yang datang kami berusaha untuk meminta pertolongan mereka tapi…, permintaan kami itu sia-sia saja.
Tak segan- segan aku berlari menuju ruangan dokter yang dinas malam, sebelum dia pulang ku berlarian menuju kantor yang dirasa dokter sedang siap-siap menuju pulang, tak heran dengan keadaan yang membingungkan, ku menyenggol setiap mereka yang masih pules tidur di emperan jalan rumah sakit ada yang marah, dan ada yang diam saja melihatku dan ada yang mengejarku sampai dapat untuk membalas senggolanku karena aku telah membangunkan mimpi indah mereka.
Nasib mujur beralih pada anak malang yang kami temukan, ternyata ada dokter yang dari tadi telah mengintip dari jendela ruangan per istirahatannya, dia rasa perawat telah membantu memberikan bantuan pertama, sampainya aku di depan ruangan dokter, belum ku ketuk pintu ternyata dokter telah siap dengan alat yang akan dia bawa, pak dokter “Ayo dek,”
tolong kami pak,
dengan nafas yang masih berpacu dengan semangat peluhku,
“Ayo pak…”
“perawat telah memberi bantuan pertama kan?”
“Aduh….. pak tak ada perawat yang mau memberi pertolongan pertama pada kami pak, semuanya mengelak dengan alasan ini tidak jadwalnya, begitu erat genggaman pak dokter memegang tanganku, mengajak bersigegas(cepat-cepat) membantu anak malang itu”
“Sekarang anak malang itu berada dimana?
Dia di depan pintu masuk rumah sakit pak ditemani dengan warga yang membantu.
Pancaran kekecewaan terlihat sepintas pada senyuman pak dokter, dan bersahajanya, kepedulian pada sesama mendorongnya untuk sungguh-sungguh membantu kami. Tanpa banyak pertimbangan kami disuruh pak dokter menaikkan anak malang ke atas dipan (tempat tidur) di ruangan vip, kami pun menuruti kemauan dokter sampai pada tahap pencarian donor darah.
“Anak malang ini bila sehari lagi terlambat mendapatkan pertolongan medis mungkin dia tidak bisa tertolong lagi.”
“anak ini banyak kehabisan oksigen, banyak kekurangan darah dan pernafasannya pun tersumbat.”
Terimakasih, saudara telah membawanya kemari,
Kami yang datang saat itu hanya tertegun mendengar perkataan sang dokter yang dermawan,
“O...ya di antara saudara disini ada yang bergolongan darah B? karena pasien ini golongan darahnya B, ada? “ada pak, saya B golongan darahnya pak,” Sebentar lagi posko PMI akan buka kira-kira jam delapan, sekarang baru jam tujuh tiga puluh. Ba…baik pak, tak sanggup mengucapkan terimakasih sampai begitu luar biasanya kepedulian seorang dokter terhadap mereka yang membutuhkan. Aku malu seakan babak baru kehidupan harus akan disejarahkan pada pengalaman yang tak bisa ditawar dengan materi. Selang lima menit ketafakuran pandanganku ternyata informasi anak hilang yang dikabarkan oleh media elektronik tertuju pada Yoyon sianak malang. Bukan polisi saja yang datang melainkan kru dari pusat pertelevisian lokal mendatangi kami saat diruang VIP bersama rombongan masyarakat setempat.
Saat diwawancarai semua yang membantu dan mengantarkan Yoyon si anak malang kerumah sakit menghindar, telunjuk mereka mengarahkan pada diriku, yang saat itu aku masih melakukan perintah dokter untuk membilas tubuh kurus Yoyon. Dokter memintaku untuk berhenti menyudahi perintahnya dan menyarankan agar aku bisa menjelaskan kronologis penemuan Yoyon si anak malang.
“Merasa setubuh dan sejiwa” adalah jawabanku yang membuat setiap wartawan maupun polisi yang bertanya padaku terdiam dan terharu, selain pertanyaan lain yang nggak bisa kujawab adalah “dari mana dan mau kemana biaya perawatan anak malang dicari, sedangkan Yoyon si anak malang adalah anak simata wayang setelah kejadian kebakaran yang beruntun di kota yang tidak jauh dari tempat kosku, berjarak 5 kiloan dan arus banjirlah yang menyeret hingga Yoyon terbawa arus yang akhirnya berdampak negatif pada pemakai jalan, tabrakan dan kumuh.
Semuanya tentang biaya perawatan Yoyon si anak malang telah dijawab sendiri oleh dokter Hayyas, “semua perawatan Insyaallah saya yang nanggung, karena melihat pengorbanan mereka, dan besarnya kepedulian mereka yang telah membantu membawa anak sampai kesini itu sudah besar biayanya dibandingkan biaya perawatan anak malang ini”
Pagi yang begitu bijak sebijak hati dokter Hayyas yang bijaksana. Tak ada komentar apa-apa selain ucapan terimakasih yang sebesarnya pada pelayat dan pencari berita,
“Saya selaku dokter yang mewakili meminta izin selama tujuh jam demi memulihkan kembali kondisi pasien, kalau pelayat yang ingin melihat, lihatlah setelah tujuh jam yang telah dijadwalkan, dan saya meminta tolong kepada saudara-saudara pencari berita maupun kepada rekan polisi jika golongan darah saudara semua ada yang bergolongan darah B, saya secara pribadi meminta untuk didonorkan karena si pasien membutuhkan delapan belas kantong darah”.
Semuanya terkesima mendengar permohonan dokter Hayyas.
“Dengan senang hati kami akan membantu pasien malang dan menginformasikan lewat televisi bagi yang berbagi kasih sayang dengan mendonorkan darahnya untuk kelangsungan hidup yang membutuhkan khususnya pasien, semua telah sibuk antrian di posko PMI termasuk dokter Hayyas yang seharusnya ia telah pulang kerumah dan digantikan oleh rekan sesama dokter”
Tenang, bersahaja dan berwibawa di bawah naungan wajahnya yang teduh membuat para perawat bertanya-tanya apakah ada hubungan dokter dengan pasien? Kok sampai segitunya dokter mengorbankan materi dan waktu istirahatnya.
Semakin lama semakin banyak saja yang datang dari berbagai kalangan mendonorkan darahnya untuk Yoyon, kalau darahnya lebih dikasihkan pada yang mebutuhkan. Memang benar yang di seberang kota ku telah terjadi kebakaran masal yang memakan korban tujuh kepala keluarga dan ditambah air laut meninggi sampai membanjiri semua tempat, banjirnya mencapai satu meter tinggi orang dewasa dan mengimbas kejalan raya yang tiap pagi ku lalui pulang pergi maraton.
Selama di rumah sakit sepulang kuliah aku selalu mendampingi Yoyon dengan seizin dokter Hayyas, selama seminggu dirawat Yoyon telah menampakkan reaksi, badannya yang kurus sedikit telah berisi, wajahnya yang pucat telah segar, darahnya bekas ulat bersarang telah berangsur kering, tapi makan masih disalurkan lewat slang ke hidungnya, dan matanya yang bengkak berdarah belum juga bisa melihat, dan telinganya belum juga bisa mendengar, walaupun demikian kebahagiaan akan muncul di sunggingan bibirnya. “nda…nda” sesekali terdengar rintihan haru dari mulut kecil Yoyon memanggil ibunya, andaikan kamu tau Yon apa yang sebenarnya terjadi pada keluargamu, gumaman batinku yang tak bisa menahan kisah hidupnya.
Assalamu’alaikum Pak Hayyas, wa’alaikumussalam terdengar dari balik pintu kantor, masuk dek, silahkan duduk.
“Maaf pak mengganggu” nama saya Syekhana
“Saya ingin bertanya tentang perkembangan Yoyon, apakah dia bisa melihat dan mendengar besok pak”? dengan senyuman yang khas, dokter Hayyas mengatakan “mudah-mudahan bisa tapi tidak sejernih pendengaran anak se usianya, kecuali dilakukan terapi lilin pada telinganya, karena gendang telinganya telah banyak di tutupi jamur, begitu juga penglihatannya tidak sejelas kita melihat, karena retina matanya telah mengalami radiasi terputusnya syaraf pada mata di akibatkan hempasan kepala ke tembok terlalu keras. Lagi lagi dokter Hayyas mengayunkan tangannya dan mengucapkan
“Terimakasih atas kerja samanya.”
“Sama-sama pak Hayyas,” Permisi pak saya mau pulang dan saya titip Yoyon pada pak dokter, “Ya insyaallah…”
Tuhan…
Ternyata masih ada orang yang berhati mulia dizaman sekarang, sepanjang ruangan menuju gerbang hatiku selalu bertanya-tanya, siapa sih dokter Hayyas itu? Terlalu banyak perawat membicarakan ketampananya, dan…, ah itu cuma isu yang tidak perlu ditanggapi, setibanya aku di tempat kos, yang terbayang bukannya kondisi Yoyon tapi, sepintas ucapan yang terekam tak sengaja dari ruang perawat yang kulalui, “Dokter Hayyas baru masuk Islam lho…, selama ini dokter Hayyas menganut dua agama, Hindu dan Protestan dan keturunan Jepang Minang. Tapi setelah empat bulan semenjak pindahannya ke Indonesia, dokter Hayyas masuk Islam, selama empat bulan dokter Hayyas belajar bahasa minang secara intensif.
Andaikan para perawat yang berbicara tentang dokter Hayyas bisa mengambil hikmah dari mana dan apa tujuan utama yang di embankan bagi seluruh pelayan masyarakat khususnya perawat mungkin rasa malulah yang akan menutupi wajah mereka, karena begitu tertinggalnya pengetahuan para pelayan masyarakat akan visi dan misi yang sering dikumandangkan dan dipajang di setiap dinding rumah sakit.
Bermaknanya hidup dikala bisa merasakan penderitaan sesama. Ternyata bukan Yoyon saja yang dibantu biaya perawatan sampai sembuh, melainkan banyak lagi pasien yang tidak mampu untuk membayar biaya persalinan dan biaya operasi. Sempurna sudahlah kekuasaan Tuhan menciptakan alam semesta ini, disaat tiada berdayanya seseorang datanglah sebuah tongkat keikhlasan untuk membantu sesama, ya itulah ke ikhlasan yang tidak mengharapkan pamrih, dan ketulusan yang tidak diharapkan pujian.

Sebelum kuliah aku harus kerumah sakit dahulu melihat perkembangan Yoyon, semoga Yoyon bisa melihat dan mendengar, karena sudah seminggu aku tidak kerumah sakit di karenakan semakin banyaknya tugas kuliah dan persiapan ujian semesterku yang pertama di tahun dua ribu satu, seperti biasa mereka yang simpati pada keadaan Yoyon selalu datang silih berganti, dan begitu juga aku, aku tidak mau kalah dengan mereka, aku harus cepat datang biar aku yang memandikan dan menyuapi Yoyon makan. “Terlanjur cinta” perasaan inilah yang membuatku selalu melihat dan mencintai Yoyon seperti adikku sendiri.
Satu bulan penuh Yoyon dirawat di rumah sakit, dan satu bulan pula kebersamaanku dengan pak dokter dan Yoyon, banyak ilmu yang dapat ku ambil dari perjalanan hidup dokter Hayyas, saat ia membicarakan kisahnya di Jepang terhadap masyarakat yang sakit, begitu besar kepeduliannya pada pasien. “Kesehatan itu mahal, mahal itu bukan uangnya tapi keikhlasan dan ke jujuran,” Sebelum Yoyon diserahkan ke panti asuhan, kursi tua di sudut mushollah rumah sakit menjadi saksi bisu dokter Hayyas menceritakan pengalaman hidupnya padaku.
Yoyon si anak malang walaupun belum pulih total, dia di asuh oleh yayasan panti asuhan “usaha permata” ku berharap semoga Yoyon betah dan mendapatkan kasih sayang yang lebih dari pembina panti asuhan, di sekolahkan serta di berlakukan seperti anak kandung sendiri. Amin …!
Aku sedih satu aktifitasku sedikit menghilang Yoyon pergi, aku selalu sibuk dengan kuliah baruku menjelang semester dua, siapa lagi ya…yang bisa ku bantu. Seiring berjalannya waktu aku dan dokter Hayyas jarang ketemu lagi, semenjak Yoyon pergi dari rumah sakit tak ada lagi ku menemukan sosok pria yang bersahaja di luar rumah sakit, maupun saat aku berada di rumah sakit saat menjenguk teman yang luka-luka karena kebakaran di kosnya.
Banyak kenangan bersama dokter Hayyas, memang betul kalau anda ingin di hargai hargai dulu diri anda, tergiang-ngiang di pelupuk kantukku nasehat bijak para sufi, penggalan kata itu ku dapat karena aku suka membaca, ya membaca alam sekitar, membaca diri sendiri dan membaca kebaikan dan kejelekan, itu semua tak jauh, jauh dari kata “pengalaman” guru yang tak pernah marah dan tidak pernah jenuh menghadapi muridnya dan pengalaman juga memberikan konstribusi positif pada mereka yang menjalani hidup dan kehidupan ini, ada pengalaman baik maupun buruk semua itulah guru yang berjasa secara otodidak.
Masa liburan semester telah datang, aku sebagai mahasiswa baru tidak dibolehkan pulang terlebih dahulu selama tiga hari, karena ada pelatihan pembuatan makalah dan pengkaderan untuk organisasi yang dipandu oleh BEM Jurusan. Banyak keuntungan yang ku dapat saat pelatihan pembuatan makalah, di hari kedua latihan, kak pembina walau umurku lebih tua dibandingkan mereka menyuruh kami pergi ke pustaka untuk mencari bahan makalah yang temanya bebas, maklum baru pertama dalam bahasa Arab, lain yang di suruh lain pula yang ku buat, justru makalahku berbentuk kerangka proposal yang mengarah pada metode penelitian, pembina dan instruktur memanggilku secara empat mata, karena mereka tidak mau mempermalukanku akhirnya hari itu juga aku di percayai untuk memulai penelitian yang di arahkan oleh buku panduan yang masih ku pegang yang di pantau terus selama pelatihan.
Judul proposalku tak tanggung tanggung “peran dokter terhadap sinergi kerja para perawat” Penelitian ini ku selesaikan selama satu setengah hari, aku cukup mempunyai data dan fakta dan metodenya secara wawancara dan observasi ke lapangan, tinggal di foto dan akhirnya di situlah kembali pertemuanku dengan dokter Hayyas, penelitianku cukup mudah karena dokter Hayyas dengan senang hati membantu penelitianku, aku di pinjamkan kamera oleh dokter Hayyas, dan di berikan sedikit masukan, istilahnya kata-kata bijak. Penutupan pelatihan akan di tutup sebentar lagi, waktuku hanya tinggal satu jam lagi, semua yang ku lakukan ini berkat kekagumanku pada sosok dokter yang dermawan yang jarang ku temui. Suara adzan telah memanggilku untuk cepat-cepat membenahi diri menuju musholla bersama dokter Hayyas dan setelah itu aku harus tancap gas untuk sampai di kampus sebelum penutupan di mulai. Biar bagaimanapun jeleknya tulisan tangan yang di goreskan oleh dokter Hayyas, menjadi buktiku sungguh- sungguh terhadap apa yang telah ku tulis.
Setiap lembar yang dibaca oleh instruktur semuanya mengangguk- angguk seakan mereka juga ikut menyelam ke dalam hasil penelitianku. “Dek ini di ketik rapi ya”? “Ini semua kan sepuluh lembar doble folio di ketik rapi dengan spasi 1/5 semuanya mungkin menjadi lima belas lembar.” “Baik kak, tapi…, uang saya habis membayar ongkos tadi kerumah sakit, dan saya belum tentu bisa pulang kekampung lagi karena ongkos saya juga tidak ada, “Kalau begitu kamu tidur tempat kakak aja malam ini, kamu boleh mengetik di kosan kakak.
“Kalau begitu terimakasih banyak ya kak, berarti aku boleh mengetik sepuasnya, iya kamu boleh mengetik sepuasnya. Pesan singkat lewat memo telah ku selipkan di bawah pintu masuk agar kawan sekamarku bisa tahu dan tidak menghawatirkan keberadaanku. “Hayu dek kita pulang ke kosan kakak”, ajakan dari senior membuatku bersemangat melanjutkan babak berikutnya yang harus di tulis dan di jadikan sandaran hidup untuk lebih bangkit dan bangkit. Ternyata sesampainya di kosan itu, aku malu untuk masuk karena dalam kamar yang ukuran 3x8 hanya sendirian dia tinggal, setiap sudut kamar terpajang piala kaki empat dua piala dan lima piala kecil-kecil yang tersusun rapi bersama rapinya susunan buku dan baju, menandakan kak Maya termasuk orang serius dalam bidang perlombaan dan berprestasi dalam bidang keilmuannya.
Semua serba instan, air dari galon yang hanya tinggal pencet, nasi tinggal tekan dan sambal tinggal beli di depan kosan.
Selayaknya tamu aku di servis dengan baik. “Kapan pun adek mau mengetik silahkan aja asalkan jangan terlalu larut mengetiknya.” Aku di suruh tidur terlebih dahulu nanti kira-kira jam sepuluh dia membangunkan ku, karena terlalu banyak tenaga yang di keluarkan tadi sore.
Jam sepuluh teng, aku dibangunkan oleh kak Maya, semua makanan telah di hidangkan untukku, aku disuruhnya solat dan makan, sesampainya di kamar mandi, bukannya tempat sabun yang ku temui, malah susunan buku yang tebalnya mencapai ratusan lebih halaman di buku yang tersusun rapi dengan rak buku yang tertutup sehingga kalau mandi tidak tersentuh oleh air. “Maaf kak sabunnya dimana ya? “Oh ya tuh sabun ada di belakang lemari buku, putar aja ke kanan tombol ijau itu ntar terbuka sendiri, “Ya…i..ya kak, waw kerrrrren abis…ruangan penuh teka teki, aku jadi kerasan bermalam disini.
“Na kok lama sekali di kamar mandi? Tok…tok..dek Na kamu baik saja dek…kecemasan kak Maya terasa olehku saat pintu mulai bergetar mengeluarkan suara mengisyaratkan aku harus menyelesaikan kegiatanku di kamar mandi, sedangkan aku sedang membaca buku yang berjudul “kamu pasti bisa” karangan warga keturunan Arab-Minang. Ya kak aku baik saja, “Waduh pasti kamu baca buku ya? Setelah semuanya buku yang ku pegang disusun kembali dan hanya satu buku yang "Kamu pasti bisa" itu aku bawa sampai ke depan kak Maya. “Maaf ya kak jadi nge-repotin. “Buku itulah yang membuat aku bisa berarti bacalah, dek, kamu kakak pinjamin buku itu ya, biar kamu lebih semangat lagi, serius kak pinjamin aku? "Iya baca aja “Oke deh kak.
Oh ya Na besok ada perlombaan pembuatan proposal kamu mau ikut? Pengen sih kak tapi saya kan baru semester satu, ah nggak apa-apa kok dek, yang penting adek coba dulu, gimana? “Mmmmmm…dengan banyak pertimbangan aku mencoba melirik kembali piala yang berkilau yang disemaikan oleh pancaran lampu philips. “Na, kamu itu termasuk anak yang berbakat, buktinya kakak lihat sewaktu kamu memberikan ide yang jauh dari praduga kami para instruktur pelatihan kemaren. “Ah janganlah kak…takut nanti karyaku jadi bahan olokan para dosen dan teman seperlombaan? Loh kok udah kalah duluan sebelum perang?
Semalaman aku dan kak Maya tidak tidur kami berusaha memperbaiki hasil risetku selama pelatihan kemaren supaya esok pagi bisa di kasihkan kepada panitia, sebab panitia lomba sedang gencar-gencarnya mencari bibit baru, jadi para panitia dari rektor membuka pendaftaran sampai hari minggu, dan kebetulan minggu besok itulah penerimaan terakhir.
Minggu ini kamu mau kemana Na jadi pulkamp alias pulang kampung? Kalau iya nih terima ya, kakak punya uang segini, kasihan kedua orang tuamu telah berharap menunggu kepulanganmu dilibur semester ini. terima kasih kak tapi saya tak ingin kakak memberi saya uang lima puluh ribu ini, bukan saya sombong kak tapi dengan kakak mengizinkan saya menginap, mengetik, dan membaca sebagian koleksi buku kakak itu udah lebih dari cukup bagi saya, tapi…kalau tidak kamu terima nanti pulangnya dengan apa? Makasih aja deh kak, oh ya gimana kalau kita sekarang ke kampus kak, mana tau ada pekerjaan yang bisa saya bantu, gimana kak? Dengan sedikit merasa heran, diam-diam kak Maya membungkuskan makanan yang berada dalam laci belajarnya memasukkan kedalam tas ransel tanpa sepengetahuanku dan selembar memo.
Tak ada satupun pekerjaan yang bisa ku bantu di lokasi kampusku, “Kak Maya ku pamit ke pasar ya mau cari kerja, yang penting halal, supaya bisa bertahan tidak minta-minta heeee.
Emang kamu mau kemana Na…biar kakak aja yang menanggung belanjamu sampai pengumuman lomba di umumkan minggu depan mana tau kamu bisa masuk final diantara 19 peserta kakak yakin deh kamu bisa juara. He..sekali lagi terima kasih aja kak biar aku berusaha dulu kak, oh ya pulang dari pasar aku langsung aja ke kosku ya kak. Semoga kebaikan kakak mendapatkan rezeki yang bertambah banyak. “Amin. Na, hati-hati ya pintu kos kakak masih terbuka kok buat kamu.
“Pasar dek….,pasar dek, telunjuk tangan sopir angkot merah menanyaiku, ya…ya bang. Begitu sepi sekali penumpang yang menaiki angkot si supir yang asyik manggut-manggut mendengarkan nyanyian yang berada di kaset rekorder kebetulan menjadi pajangan untuk memanjakan para penumpang. Belum lagi sampai pada perbatasan jalan, penumpang lain naik dengan suasana yang sedikit berbeda dari sebelumnya, yang naik ibu paru baya dengan barang dagangannya sampai memenuhi tempat duduk semuanya.
“Mau kemana nak? “Saya mau kepasar bu, ketemu, apa yang di cari, masalahnya semenjak awal ibu naik angkot ini, kamu sibuk dengan pencarian dalam tas ranselmu, sebenarnya apa sih yang kamu cari? He… saya mau cari uang buk yang ditaruh dibawah buku. “Uangmu ada berapa,? Cuman tiga ribuan kok bu, o…o ya kamu mau bantu ibu nggak, bantuin jualan sayur singgkong di emperan jalan raya? “Waduh dengan senang hati bu, sebenarnya saya butuh kerja untuk cari uang mau pulang kampung, pada dasarnya mau nambah uang anak jalanan yang berada dikontrakanku.
Segala ke gengsian ku kesampingkan demi uang untuk pulang kampung dan adik-adik jalanan itu, kalau uang untuk makan sih…bisa di puasakan untuk sementara waktu, paling ntar kalau ku lapar, kulari aja ke mesjid kala suara azan telah memanggil, melepaskan dahaga dengan air segar tak mengeluarkan uang se-senpun.
Bu Ani membagi dua sayurnya di dua tempat, di dekat parkiran saya di suruh bu Ani untuk melayani pelanggan, yang sebelumnya telah di bagi juga dengan almarhumah cucu angkat bu Ani. Bu Ani tidak pernah menanyai siapa nama dan dari mana asal ku, bu Ani seakan telah cukup lama mengenalku, akupun juga tidak mengharapkan bu Ani lebih mengenalku, tapi ada satu sifat dari bu Ani yang membuatku nyaman dengannya, “keyakinan”. "Ni ada dua puluh sayur kangkung bu titip padamu ya dan pakailah topi sawah ini supaya wajahmu tidak kepanasan? Oh ya dari dua puluh sayur ini kamu ntar kasih aja ke ibu kira-kira lima ribu aja, lima ribunya lagi ambil buat upah dari ibu, aku hanya terdiam sejenak mengingat jabaran pembagian hasil dan berapa harga pasti yang sayur kangkung ini.“Ya Tuhan ini pekerjaan baru buatku, betapa yakinnya bu Ani memberikan pekerjaan buatku tiada rasa curiga sedikitpun denganku, tapi ku tekatkan aku harus bisa membantu ibu Ani mejual sayurnya sampai habis.
Yur…sayur kak…, yur sayur bu…, udah setengah jam aku menawarkan sayur pada setiap yang lewat, terjualnya masih dua ikat, ya Robb…gimana caranya jualan menarik pembeli supaya sayur ini cepat laris manis, mungkin wajahku kurang menarik kali ya? Gumam hatiku menerawang untuk menciptakan siasat bagaimana menjual yang profesional. Sesekali bu Ani mengaggetkan ku, “Gimana nak sayurnya, udah banyak yang terjual.? Punya ibu hanya tinggal delapan lagi, kamu nak tinggal berapa? “Tinggal delapan belas lagi bu, “Ya nggak papa yang penting kamu tidak patah semangat.
“Bismillah”…sayur bu, sayur pak…, sayur kak…lima ratus satu ikat, aku berusaha semampuku untuk mengubah ketertarikan pelanggan dengan cara menyanyi, yooo…sayuur, yoo.. sayur.., murah bu ayo cepat beli bu karena kami mau pulang, sayur segar-segar sekali, “Sayurnya lima ikat nak” Kata bapak yang berbadan tegak yang wajahnya masih ditutup dengan hitamnya helm. “Ne pak…,ada uang kecilnya pak cuman dua ribu lima ratus semuannya, “Gini aja nak kembaliannya ambil aja buatmu, semoga daganganmu laris ya nak…! “Kembaliannya masih banyak kok pak, saya malu pak menerimanya, “Nggak papa kok nak, anggap aja bapak bersedekah padamu, maaf nak…., kamu mahasiswi jurusan bahasa Arab ya? Namamu Syekhana kan? “I...ya pak, loh kok bapak tau, “Masak menjual dagangan pakai baju almamater, tu bapak membacanya di kokarde bajumu, saya Ari. Oh ya…ya pak, terima kasih banyak ya pak semoga ini berkah buat saya, amin.
Tak terasa seluruh dagangan terjual habis, hasil dari dagangan berjumlah dua puluh lima ribu lima ratus rupiah, batas dagangan hanya sampai waktu zuhur, ternyata sesuai pesanan bu Ani, alhamdulillah laris manis. Seluruh uang ku kasih kan sama bu Ani, bu Ani sangat heran dan bersyukur, “Nak wah banyak sekali rezkimu nak, seharusnya terjualkan sepuluh ribu di bagi dua, jadi sesuai janji, uang yang lima ribu buat ibu dan selebihnya buat kamu, sebagai ucapan terima kasih ibu padamu, ibu akan mengajakmu makan kerumah ibu, gimana kamu mau? “Kalau begitu kata ibu boleh-boleh aja, lagi pun jadwal pulang kampung masih lama, kira-kira jam empat sore. “Kalau begitu, yuk…kita kemasin plastik pembungkus sayur, dan kita pulang ke rumah ibu.
Sepanjang jalan bu Ani banyak membicarakan tentang jalan hidupnya yang di tinggal mati suami dan anak tercintanya karena kecelakaan kereta api sembilan tahun yang lalu, dan mengasuh dua puluh anak terlantar dari kalangan berbeda semuanya perempuan, yang membuat bu Ani selalu bersemangat dalam hidup karena dua puluh nyawa yang tak berdosa yang ia sayangi, cintai dan di banggakan. Tanpa di duga kami telah sampai di rumah bu Ani yang jauh dari keramaian, sekilas melihat rumah bu Ani seperti garasi mobil, banyak berlubang kesana kemari kalau dilihat dengan teliti, tapi berkat jiwa telatennya bu Ani menutupi yang bolong itu dengan rangkaian bunga hampir menyerupai jendela yang sangat kuat, bu Ani selalu tersenyum dengan kondisinya, banyak tetangga jauhnya yang sangat peduli dengannya, tapi berkat besahajanya bu Ani yang tidak mau merepotkan orang lain, maka bu ani mendidik seluruh anak asuhnya dengan penuh kasih sayang walaupun kekurangan selalu datang silih berganti. “Subhanallah aku tak menyangka anak yang di asuh bu Ani selama dua setengah tahun sebagian mereka telah dewasa dan telah banyak yang menuai keberhasilan di ajang pendidikan, namun bu Ani tidak mau juga pindah apalagi di buatkan rumah baru dari anak asuhnya yang telah berhasil.
“Semua anak asuhku telah menjadi orang yang sukses dan di segani oleh masyarakat, kamu nak nanti jangan terlalu mengharapkan uluran tangan mereka yang mampu karena apa yang kita harapkan belum tentu diberkahi, selagi kamu masih bernyawa nak teruslah menjadi orang yang selalu berusaha dan bersungguh-sungguh dalam menuntut ilmu, hidup sekali ini saja nak, jadi pergunakanlah umurmu dengan baik sekali. Nasehat itu merupakan nasehat terakhir bu Ani pada ku, karena seminggu kepulanganku dari kampung, ku dapati rumah bu Ani telah dibongkar oleh masyarakat setempat semenjak meninggalnya seorang manusia yang baik hati.
Pertama kembali kuliah semenjak liburan semester, aku dikejutkan oleh pengumuman lomba pembuatan proposal yang diikuti seminggu yang lalu, sebagai juara ketiga dari 19 peserta, bukan kebahagiaan yang kurasakan melainkan kejenuhan sesaat, menurut informasi yang didapat setiap pemenang akan di beri hadiah berupa uang dan piagam, ternyata janji tinggalah janji, yang diberikan hanya berupa nasi bungkus dan buku. Bukan aku saja yang merasa kecewa, justru kak Mayalah yang lebih kecewa dibandingkan diriku sendiri. Dalam lingkungan kampus, aku termasuk mahasiswa yang tidak pernah bermasalah sama dosen dan sebagian staf kampus, tapi Aku termasuk orang yang bermasalah besar dengan keuangannku sendiri, hidup dirantau seakan hari ini gali lobang dan besoknya lagi tutup lobang.
Afwan aku bukan jurnalis tuan.. ah dasar monyet…tu lihat wajahmu berbulu, kamu nyemot ya..ha..ha.. nyemot sedang membaca buku mulai lagi deh pujian maut mereka. Sepanjang hari, setiap kesempatan tidak pernah ada yang memanggil namaku dengan manis. Pedih rasanya ketika saudara dan kawan kerabat menghina keberadaanku yang lain dari yang lainnya.
Kehamilan dalam keluarga merupakan kebahagiaan yang luar biasa, apalagi kehadiran buah hati ke empat belas dari delapan belas bersaudara dalam target dari pasangan pedagang kaki lima yang professional dalam bidangnya. Pergantian hari, bulan, dan tahun semakin terlihat keganjilan dan keanehan sikap proaktifnya terhadap sianak pedagang yang dilahirkannya beberapa tahun yang lalu. Kadangkala kehidupan yang serba ganjil itulah yang membuatnya berlaku aneh dan melalukan setiap kebiasaannya jauh dari kebiasaan anak seusianya dari parasnya yang oval, berkulit hitam berbulu, berkarakter keras, cerewet, dan serba ingin tahu, tak ada yang istimewa dari dirinya melainkan kenakalan yang melampaui batas.
Usia kanak-kanak menjadi usia yang serba salah dan serba canggung ketika sikap dan tingkah laku menjadi ketidakwajaran untuk memulai segala sesuatu yang bernamakan perubahan. Punya saudara yang banyak dalam angan menjadi semangat dan pemicu kasih dan sayang tapi punyanya kakak tiri menjadikan rumah itu sebagai neraka, dihadapan kedua orang tua mereka memperlakukanku dengan baik dan sopan tapi, ketika dibelakang kedua orang tua aku disiksa dan lebih sadis penyiksaannya dari pada binatang, lagi-lagi aku berusaha di usia dini memahami dan beranggapan bahwa mereka melakukan ini karena tidak sengaja dan di dasari oleh factor kecemburuan. Seraut perputaran waktu, usiakulah yang menentukan apakah aku masih bias bertahan hidup bersama saudara tiri yang setiap waktu memukul, mencubit dan menganngap diri ini sebagai aib keluarga. Berbekalan rambut hitam panjang terurai, kulit berbulu dan tinggi semampai membuat aku bisa menjalani proses hidup yang serba sulit, ada pencarian rambut sunsilk di tempat tinggal ku, dan aku termasuk ke dalam satu bagian dari calon pemilihan.
Terlalu banyak yang harus diselesaikan oleh orang tua untuk mencari nafkah, sebagian anaknya mencari kehidupan sendiri dan tanpa menghilangkan maksud dan tujuan pengabdian kepada kedua orangtua, keseharianku bermain dan menghabiskan waktu di rumah tetangga, sampai kedua orang tuaku mengizinkan aku besar bersama tetangga, jadi mau tak mau segala kebiasaan dirumah bersama saudara tiri bisa di hindarkan. Kebersamaan ku dengan orang lain membuat pribadiku tumbuh sebagai gadis yang berkarakter. Bukan berarti di rumah orang itu mendapatkan kesenangan saja malah aku sempat di jadikan pembantu tanpa sepengetahuan keluargaku, di caci, di hina, dan dibuat aku se-menderita mungkin, lagi-lagi aku tak sanggup mengadu pada kedua orang tuaku. Ada satu jalan yang membuatku bisa jauh dari siksaan yaitu melarikan diri ke mesjid terdekat dan tidur di dalam mimbar dan sampai fajar akan membukakkan matanya.
Tiada yang mengetahui tentang keberadaanku bergelimun kain dalam mimbar solat subuh selesai, dan selesai pula rasa kantuk bergelayut. Ketakutannku pada kekerasan meninggalkan kenagan yang tak bisa dihilangkan begitu saja, tak sanggup di sakiti ku urungkan niat untuk kembali ke rumah tetanggaku itu, dan aku dengan mantap melangkah kerumah orang tua ku untuk mengambil baju yang dirasa cocok untuk melindungi diri dan membongkar celengannku yan g terbuat dari tanah liat.
Pergi sendiri bukanlah hal yang menakutkan dalam hidupku dan dari kemandirianku itulah seorang Dosen yang mengajar di kampus lamaku pada jurusan tanah, ternyata secara diam-diam mengikuti kemana arah langkahku, walaupun aku sudah lama wisuda dikampus itu dan memiliki tempat kuliah baru, namanya Raihan, seorang dosen yang sudah lama menjomlo semenjak dia masih mengajariku di ilmu tanah dulu.
Pada perkumpulan alumni jurusan ilmu tanah disitulah kesempatan pak Raihan memulai sukanya sama aku, pak Raihan menghampiriku di salah satu kegiatan alumni yang bertempat di Balai Room Bumi Minang, kalau dilihat dari segi umur, jarak aku dan pak raihan berkisar 10 tahun, raihan berusaha mengambil simpati dari ku sedangkan aku hanya menganggapnya masih seorang dosen. Tak terasa aku diundang ke kampus lamaku untuk melakukan penelitian tentang longsor, tempatnya di padang panjang yang kerap terjadi longsor kecilan. Antara kinerjaku dengan kinerja raihan saling mendukung satu sama lainnya, istilahnya bisa menutupi kekurangan yang lain saling membutuhkan satu sama lain. Ternyata selama empat bulan kebersamaanku bersama-sama Raihan untuk meneliti longsor, akhirnya aku membuka hatiku sedikit disaat jarak “ya” ku menjawab dengan ajakannya untuk mengikatku kejenjang pernikahan.
Hubungan ku dengan Raihan setelah empat bulan hanya dilewati dengan hubungan jarak jauh, karena Raihan telah berada di Jepang untuk menambah pendidikannya kejenjang yang lebih tinggi yaitu S.3.. setelah setahun di jepang Raihan pulang ke Indonesia untuk pulang dan langsung kerumahku memenuhi janjinya padaku dan keluarga agar sepulang Raihan dari Jepang aku dilamar langsung menikah dan dibawa kembali ke Jepang.
Selama seminggu di Indonesia Raihan telah menyiapkan segala keperluan untuk hari yang bersejarah itu, antara keluargaku dan keluarga Raihan telah bertemu dan menyepakati hari pernikahan sehari sebelum keberangkatannya ke Jepang.
Ternyata Tuhan berkehendak lain, sesudah pemasangan cincin tunangan, akan melaksanakan akad nikah tiba-tiba Raihan yang sebelum itu dia mengeluh sakit kepala semenjak berada di Jepang, mengalami pendarahan dasyat di bagian hidungnya, para tamu undangan yang datang saat itu kaget melihat Raihan, belum lagi sempat mencicipi hidangan Raihan di bawa ke Rumah Sakit terdekat untuk mendapatkan perawatan. Para undangan yang kenal dekat dengan Raihan ikut menemaniku untuk menunggu sembuhnya Raihan. Malam itu juga dokter menyarankan untuk langsung dibawa keruang ronsen, hasil ronsen ternyata Raihan mengalami penyakit kangker otak stadium empat.
Semuanya seakan tidak percaya dengan penyakit Raihan, dan aku teringat kembali kejadianku beberapa tahun nan lalu Liwi, seorang sahabat langsung kekasih, Tuhan….. apakah Raihan, calon suamiku dan awal timbulnya sayang ini padanya juga ikut menemuiMu? Oh..Tuhan jika iya berilah hamba kekuatan dan jika tidak besarkanlah sayang hamba kepadanya.
Maut, reski, jodoh, pertemun dan perpisahan adalah rahasia Ilahi. Dan inilah yang aku hadapi, dibalik doa khusuk ku, Raihan memanggilku dan membisikkan kata maaf dan kata Cinta padaku setelah itu dia diam dan membisu, sekitar jam 02.30 dini hari raihan memanggilku lagi dan menatap wajahku tanpa mengedipkan matanya. Ku bisikkan kalimah “ Laillahailallah Muhammadarosulullah” sebanyak tiga kali, pas dalam bacaan yang ketiga dia tersenyum padaku, senyum yang terakhir, Raihan pergi dalam tatapanku, tidak ada bernafas, bersuara dan tdak ada pula tatapan manjanya padaku. Lagi-lagi aku tidak bisa mengeluarkan air mata. Aku redho dia pergi dan aku sangat ikhlas dia meninggalkanku. Cukuplah kenangan bersamanya menjadi obat untukku.
Aku tak kuasa tinggal lebih lama di kampungku, seluruh keluargaku telah memberikan kebebasan untukku apapun yang aku lakukan asalkan aku berada dijalan yang baik. Telah satu bulan aku alfa dalam kuliah sastra Arabku, dan aku membuat surat pernyataan untuk bisa mengikuti kuliah seperti biasa. Kuliah disastra Arab tidak semulus kuliah di ilmu tanah, mungkin pengaruh ilmunya yang susah ditambah lagi dengan ketidak seriusanku dalam menuntut ilmu.
Hampir ketraumaan menyelimuti pikiranku, tidak ada nafsu makan, badan sedikit kurus, mata cekung dan yang paling sring kukerjakan adalah bermenung dan tidur, sekali-sekali jalan sendirian malam-malam ke pasar, melihat keramaian dua pasang anak manusia yang lagi pacaran. Sepanjang perjalanku hanya satu yang menarik, membangunkan anak jalanan yang tidur di emperan toko.
Niat hati mau mengantarkan ke rumahnya masing-masing tapi sepuluh dari mereka delapan yang mengatakan dia tidak punya orang tua, dan akhirnya kesepuluh anak jalanan tersebut aku bawa ke kos ku, dan mintak izin kepada perangkat RT dan RW, ternyata mereka mengizinkan, dan lagipun rumah yang aku ngontrak berkamar dua jadi mereka ku suruh tidur di sebelah bagi yang laki-laki dan bagian perempuan tidur dikamarku. Esokan harinya aku berniat mengantarkan mereka ke rumahnya dan ke kantor dinas sosial.
Setelah kuantarkan ke kantor dinas social ternyata anak jalanan ini sudah didata oleh dinas social dan ditampung oleh rumah singgah, dan anak yang punya orang tua juga telah di usir oleh orang tuanya karena anak itu suka ngisap lem dan memakai ganja.
Timbulah niatku untuk mengajak anak jalanan itu ikut tinggal dikontrakan khusus anak jalanan binaanku di desa Dopoh yang di asuh oleh seorang Ibu yang di tinggal mati suaminya. Tugasku hanya memberikan pelajaran agama, memberikan ilmu sesuai dengan kemampuannya membuka home school dan memberikan mereka sedikit uang jajan, jadi anak jalanan binaanku di tambah dengan sepuluh orang menjadi 26 orang . Bagi anak jalanan yang telah terlanjur memakai barang terlarang, aku dan bu Minah mencoba mengobati mereka dengan memakai ramuan kampung. Alhamdulillah sedikit demi sedikit kebiasaan jelek anak itu berangsur membaik. Bermacam-macam kelakuuan anak jalanan binaan ku, ada yang mantan homo seksual, mantan gay, mantan lesbian, mantan pembunuh, mantan ganja, narkoba dan ada yang baru masuk Islam.
Tanpa menunggu waktu lama mereka memanggilku dengan sebutan “Bunda” sebutan yang membuatku memiliki tanggung jawab besar dalam diri mereka, ngilu, dan rasanya aku belum siap di panggil dengan sebutan Bunda. Suka duka yang aku alami bersama bu Minah sungguh tidak bisa di gantikan dengan uang maupun emas, semua pengorbanan itu berawal dari sebuah kepedulian pada sesama.
Banyak yang dari LSM yang menawari jasanya untuk bisa membantuku mencarikan donator agar anak-anak ini bisa mengdapatkan pendidikan yang layak bukan secara home school, telah ku fikirkan masaak-masak bersama buk Minah ternyata kami berdua memilih untuk mengasuh dan merawatnya dari hasil jerih payah sendiri. Banyak cara yang kulakukan untuk menutupi kekurangan ku dan anak binaanku, mulai dari menjadi bekerja sebagai tukang cuci piring disalah satu kedai kopi, di salah satu kantor periklanan sebagai tukang suruh, bekerja sebagai pemotong rumput, pembungkus kue, penjual kosmetik, bekerja sebagai penjual jasa untuk membersihkan pusara orang, samapai bekerja sebagai guru sekolah dasar di kampungku.
Catatan harian Seorang Guru Honorer.
27 September 2006.
Langkah hidup yang dilalui bukanlah secara kebetulan semata, melainkan sudah digariskan tangan oleh Yang Maha Kuasa pada setiap persendian dan desah nafas alam semesta ini. Kadangkala apa yang telah direncanakan seperti menggapai cita-cita yang tinggi bahkan lebih tinggi dibandingkan dengan kemampuan yang ada, sulit untuk menjadikan sebagai landasan yang pasti menuju kenyaataan yang dilewati, Punya pengalaman yang menggunung bukan berarti kita mampu untuk menetapkan pengalaman apa yang lebih dominan yang bisa kita jadikan pegangan untuk mencari nafkah yang melimpah, itulah jalan rezki yang harus kita nikmati punya kerja kadang dapat gaji dan terkadang direlakan saja, tapi bukan berarti tidak adanya gaji dapat menghentikan segala kesibukan aktifitas yang telah menerjemahkan ilmu demi kepuasan batin.
Bulan September 2006, bulan yang penuh tantangan, kenapa kubilang seperti ini karena aku berusaha mengenyampingkan kata hati demi melepaskan segala kesibukan dari aktifitas yang belum tentu ini terbaik bagiku.
Siapa yang menyangka kalau permintaan hati dapat diijabah oleh Empunya keajaiban Roh, awalnya aku mencoba cari kerja yang lain diperusahaan asing berbekalan bahasa Inggris yang minim dan mengutamakan pengalaman kerja yang telah ada, dan setelah mau ikut tes, ku mendapatkan pesan singkat dari adikku sendiri bahwa ada lowongan kerja sebagai guru honor untuk menggantikan guru PNS yang sedang sakit, nekatnya ku bekerja di salah satu sekolah favorit merupakan bukti kecintaanku pada dunia anak-anak, walaupun begron utamaku bukanlah seorang guru, tapi dengan demikian pengalaman jugalah yang mengantarkanku kepada pekerjaan baruku.
Seperti layaknya di perusahaan lain pertama masuk kesekolah itu yang diwawancarai adalah dimana kuliah, punya pengalaman ngajar selama ini dan berapa gaji yang dibutuhkan, pertanyaan itu semua terjawab saat diruang tamu bersebelahan dengan ruang guru dan ruang kepala sekolah. Yang paling berat bagi ku saat berkenalan dan berinteraksi kepada seluruh majlis guru adalah menelan pahit kejutekan wajah rekan sekerja, mungkin itu hanya perasaanku saja, namun bagaimana pun juga aku harus membelai hatiku untuk tidak berprasangka jelek pada sesama.
Satu sisi ada prasaan tak nyaman saat berkenalan pada rekan kerja, tapi dibalik ketidak nyamanan itu keesokan harinya aku terhibur oleh gerumunan siswa terhadap kedatangan guru baru. Mungkin ketulusan menanam senyum disetiap kesempatan itulah yang membawaku membaur secara tak diprediksi selama ini dengan kepolosan semua mata siswa memandangku.
Tak tanggung-tanggung amanah dan beban yang kupikul dihari ketiga mengajar, kepala sekolah memberiku peluang untuk mengajar kelas empat, lima dan enam, semua kelas terdiri dari tiga lokal satu tingkat dan berjumlah sembilan lokal, kalau dihitung semuanya dalam keseluruhan mulai dari kelas satu sampai kelas enam berjumlah delapan belas lokal dan lebih kurang tujuh ratus dua puluh enam murid, bisa dibayangkan betapa banyaknya siswa dalam lindungan gedung bertingkat dan halaman bermain begitu sempit dan dibatasi oleh jalan raya yang banyak kendaraan mondar-mandir dapat mengakibatkan kecelakaan, tidak kondusifnya lapangan tempat bermain siswa dan lapangan untuk membantu perkembangan ekspresi siswa tersebut.
Selama empat bulan aku dipercaya untuk mengajar bidang studi pendidikan agama Islam, tentu banyak sekali kekurangan yang tersirat dihati bagi seluruh rekan seprofesi. Aku sedikit goyah saat siswa mulai melakukan ulangan mid semester, semuanya kembali kepadaku, ada sedikit ketidak telitianku dalam mengalikan berapa betul soal dengan jumlah ketentuan pertingkat kelas, kurasa nilai yang kuberikan tinggi sekali sesuai yang diharapkan. Ternyata nilai itu belum termasuk kedalam target atau pencapaian siswa dalam memahami ilmu yang disampaikan. Sudah berbagai jalan kutempuh untuk memperbaiki ini semua, tapi kata temannku yang lain ku tidak mau bertanya bagaimana caranya dalam memberikan nilai.
Bukannya aku tidak mau bertanya tapi selama empat bulan aku tidak mendapatkan kenyamanan apa-apa dari rekan kerja, walaupun dari anak-anak keceriaan selalu kudapatkan. Mungkin dalam hal ini aku harus lebih bisa membaca situasi dan kondisi. Selama menjadi guru bidang studi aku selalu berusaha belajar dan memahami setiap materi yang akan aku ajarkan. Enam bulanlah masa ku untuk mengajarkan pelajaran yang anak-anak merasa nyaman dengan cara penyampaiannku. Dua orang guru senior secara diam-diam menghadap bapak kepala sekolah agar aku bisa di gantikan cdengan guru yang PNS, karena aku guru baru dan belum berstatuskan PNS tidak layak seharusnya untuk mengajar kelas yang lebih tinggi. “cemburu”.
Secara diam-diam pula aku dipanggil oleh kepala sekolah, dengan halusnya kepala sekolah mengatakan aku bodoh, dan aku merasa tersinggung dengan perkataan itu. Selanjutnya kepala sekolah yang tidak pernah bijaksana itu menggantikan posisiku dengan guru baru katanya sudah lama dia minta dikantor dinas pendidikan. Semenjak tidak lagi aku mengajar kelas empat, lima, dan enam, sebagian anak-anak tidak mau belajar, banyak yang cabut, yang anehnya lagi apa yang aku ajarkan tidak nyambung yang diajarkan oleh guru baru tersebut. Aku akui aku memang punya kesalahan tapi tidak terlalu fatal, pada akhirnya anak yang telah lulus yang sempat belajar denganku mengakui ilmu yang aku ajarkan pada mereka. Dan aku dipanggil lagi ke kantor untuk menghentikan pemberontakan anak terhadap kepala sekolah. Aku tidak mampu dan akhirnya kepala sekolah tidak mengasihku jadwal mengajar sedikitpun di bulan ketujuh. Dan bulan kedelapan aku meminta pada kepala sekolah supaya aku bisa menghidupkan kembali pustaka sekolah yang telah lama mati, kepala sekolah membolehkan, dan akhirnya murid yang merasa dekat dengan ku membantuku untuk menyusun buku, hanya dua orang guru yang membantuku untuk membersihkan ruangan pustaka yang penuh dengan kotoran tikus dan kucing.
Seminggu sudah ku bereskan pustaka, tidak ada satupun dari mulut mereka yang PNS mengunjungi dan mengucapkan terima kasih, jangankan itu kepala sekolahpun tidak mengucapkan kata yang sama, tapi bukan itu yang aku harapkan sebenarnya. Selama dua bulan di pustaka sudah nampak perobahan dari bentuk fisik pustaka samapi bahan bacaan yang sedikit kurang berbobot dan di jadikan bacan yang paling berbobot. Di bulan kesepuluh kawan-kawan yang PNS marah kepadaku karena anak-anak yang mereka anggap nakalnya luar biasa menjadi tunduk kepadaku, dan kunci pustaka diambil oleh guru PNS, agar aku tidak boleh bekerja di pustaka dengan alasan anak yang nakal tidak baik kepadanya kesan itu semua seakan-akan akulah dalangnya untuk memisahkan hubungan anak dan guru. Padahal tidak benar. Aku hanya mengingatkan saja betapa besar dosa yang kita dapati apabila durhaka pada orang tua dan guru.
Aku tidak tahu lagi harus mengadu pada siapa, karena kepala sekolah lepas tangan tentang permasalahanku, dan dengan perasaan hati yang sedih, aku mencoba menghibur diri untuk membersihkan mushollah sekolah, mencuci mukena sekolah, menyapu dan membersihkan kaca Mushollah itu, itu semua kulakukan karena anak asuhku yang sangat membutuhkan untuk melangsungkan hidupnya, walaupun mereka ada pekerjaan sampingan kepada masyarakat setempat yang telah kupercayai.
Setahun sudah ku bekerja di sekolah dasar favorit tersebut setahun pula kesedihan yang menyelimutiku. Setahun lebih sebulan, sekolah itu mengadakan perlombaan bahasa Inggris antar siswa sekota setempat, tidak ada satupun guru PNS yang mau jadi protokoler acara dengan berbahasa Inggris, dengan manis mulutnya mereka yang PNS, aku dijadikan sebagai protokoler, dengan tujuan untuk lebih mencari kesalahanku dan mempermalukanku. Sungguh Tuhan maha adil, ternyata aku dulu punya bekal sebagai Presenter TVRI walaupun mengisi acara teledakwah, namun aku masih punya bekal agar mereka tidak terlalu menyepelekan kemampuanku.
Banyak yang memuji kemampuanku, dan bahkan kepala sekolah merasa bersalah atas tindakannya selama ini, setiap perlombaan guru selalu aku mengikutinya, dan akhirnya dengan prestasi yang kupunya, aku ditawari oleh kepala sekolah untuk mendapatkan beasiswa untuk guru honor, semenjak berita itu, gajiku semakin hari semakin berkurang oleh bendahara sekolah. Dan semenjak kabar beasiswa itupulalah aku dimusuhi kembali untuk tidak membersihkan Musholla, dan mereka yang PNS mengadakan rapat kecil-kecilan untuk mengkaji tentang tenaga guru yang tidak mengajar disuruh untuk menjaga koperasi sekolah. Belum dua bulan genap aku dituduh oleh mereka yang PNS korupsi uang koperasi. Dan segala data dan fakta yang ia sampaikan tidak bisa di buktikan justru merekalah secara diam-diam mengambil barang koperasi tidak pernah dibayar. Aku yakin kejujuran itu pasti akan terbukti, yang benar itu akan tampak, dan sepandai-pandainya menutupi bangkai suatu saat akan tercium juga baunya.
Telah diadakan rapat besar-besaran untuk membahas tentang apa saja kesalahanku, maka guru yang merasa sok suci itu tidak pernah sedikitpun mengeluarkan suara.
Satu tahun lima bulan aku berhenti secara diam-diam, terlalu banyak teroran yang ku dapati selama disekolah itu, aku kecewa pada dunia guru yang moralnya bobrok, teroran pertama aku dapati dari guru PNS yang sedang hamil, dia memarahiku dan mendakwahiku tentang masalah pelayanan selama di koperasi. Teroran selanjutnya berasal dari guru PNS yang mandul, dia menfitnahku sebagai aliran sesat karena aku memiliki ilmu yang serba bisa., teroran selanjutnya berasal dari tetanggaku yang juga guru disana, bahwa aku telah mengadudomba anak-anak untuk benci kepadanya, padahal dia selalu mengeluarkan kata kasar dan selalu menyubit anak didiknya. Dan masih banyak yang lainnya, tapi diantara teroran itu ada yang paling membekas dihati yaitu mereka yang sudah tua dan sudah bau tanah menempelkan surat pemecatan sementara dari dua puluh orang PNS, ditempelkan di atas kasur UKS.
Sungguh malu sekali, sebenarnya mereka tidak pantas berbuat seperti itu apalagi mereka sudah tua, yang selalu teringat adalah “guru honor tidak pantas mengalahkan guru PNS”. Memang betul kita bekerja pasti ada saingannya, tapi tidak seluruh guru PNS yang bisa ilmunya di pertanggung jawabkan dan tidak semua guru honor itu yang bodoh.
Maafkan Bunda nak, bunda tidak bisa membelikan baju seken buat kalian untuk sementara waktu. Tidak bisa membelikan kalian makanan yang enak tiap bulannya, maafkan bunda nak. Umur anak asuhku berkisar dari 9-28 tahun, mereka telah merasa nyaman bekerja dengan orang lain. Walaupun sudah bekerja aku wajib untuk membantu mereka yang sudah delaapan tahun bersamaaku. Umur yang 20 ke atas dianjurkan untuk belajar mengaji dan bekerja di sawah, di kebun, di toko pupuk, membersihkan mesjid membantu garim mesjid, dan menolong masyarakat setempat. Walaupun anak asuh asupan gizi empat sehat lima sempurna sangatlah utama, yang hobinya mengamen, maka pulangnya harus sesuai jadwal. Ingin hati menyekolahkan mereka tapi mereka belum ada yang mau. Demi anakku pula aku kembali ketempat dimana anakku berada, aku ikut bekerja sebagai pencari kayu bakar, sebagai penyiang sayur dan sebagai tukang stika baju di kampung-kampung.
Tak heran bila razia anak jalanan anak binaanku selalu jadi sasaran empuk satpol PP, selalu dipanggil dan selalu dimintai keterangan, yang anehnya semakin sering anakku terjaring semakin sering pula aku berurusan dengan satpol PP.
Anakku adalah mutiara yang tidak bisa dinilai dari apapun, aku sudah terlalu cinta dengan mereka, semua sepandaian yang dimiliki anak binaan ku, aku berupaya untuk mendatangkan guru ketempat kontrakanku, mengajari anak-anak yang memiliki bakat seni, tulis menulis, melukis, mengaji, semua guru tersebut ku gaji dengan uang hasil keringatku selama menjual sayur kangkung. Yang penting mereka semua punya keterampilan dan bisa diterima kembali dengan masyarakat dan orang tua mereka.
Januari 2007, aku akan dilamar oleh seorang pemuda dari negeri Jiran Malaysia, pertemuanku begitu singkat, dia kuliah S.2 di salah satu Universitas terkenal di kota Padang ini. Dia mengambil jurusan akuntansi, antara aku dan dia bertemu disalah satu aula kampusku sastra Arab, dia datang sebagai pemateri keuangan syari’ah, aku rasa tidak ada yang menarik dari diriku, dan di waktu istirahat sejenak, dia menghampiriku, dan mengayunkan tangannya untuk berkenalan,
“Siapa nama anda?” katanya,
saya Syekhana,
“Wow nama yang indah sekali, maaf anda semenjak tadi saya perhatikan, anda begitu serius dan sangat memperhatikan kami didepan.
“Oh ya maaf pak Abdul, saya suka sekali materi yang anda bawakan tadi, “Secara jentelmen dia meminta nomor Hp ku. Belum lagi waktu maghrib, Abdul menelfonku menanyakan bagaimana kondisiku dan apakah aku sudah makan. Aku menjawab pertanyaan Abdul, hari demi hari, waktu berganti, dan tahun berganti, dia berniat untuk meminangku dan akan menjadikan ku istri, sekali lagi dia pergi keindonesia dia kuperkenalkan dengan dua puluh orang anak asuhku.
Dia bangga dan bahagia melihat aku punya aktifitas yang tidak dipunyai oleh orang lain. Sewaktu dia pergi lagi ke Malaysia di meminta alamat rumahku, dan meminta foto keluargaku, semua itu aku berikan. Setibanya di kampung halamannya, dia selalu mengirimkan buku, buku yang pertama dikirimkannya adalah Latahzan, buku yang kedua, maukah kau menjadi istriku, buku yang ketiga, Kupinang engkau dengan hamdallah, buku keempat Ayat-ayat cinta, dan terakhir adalah cincin dan buku kado pernikahan dan selembar surat.
Isi suratnya menguatkan hatiku untuk mengenalkan dia kepada keluargaku,
Assalamu’alaikum dek,
“Sungguh belumlah dikatakan sempurna suatu umat sebelum dia memilih hidup untuk berumah tangga, tanggal 19 Januari kami beserta ayah ibu pergi ke Indon untuk mengikat pertautan hati menjadi satu. Dek cuba lihat surat ini pada kedua orang tua adek untuk bisa dipersiapkan dan difahami, sebelum itu abang dan adek haruslah dulu melakukan sholat Istikoroh untuk meminta ketetapan hati.”
Wassalamu’alaikum dek
Abdul bin Syuaibi
Suratnya begitu simpel dan banyak maknanya, kucoba memakai cincin pemberian Abdul yang dihiasi antara namaku dan namanya. Surat itu telah ku kirimkan kekampung halamanku agar kedua orang tuaku bisa mengetahui, dan saat tanggal delapan belas aku masih tetap di sini menjemput kedatangan Abdul di Bandara International Minangkabau (BIM).
Bu Minah dan kedua puluh enam anak binaanku ku bawa ke kampung halamanku, dan kami mencater mobil bus kota satu dan mobil pribadi satu, ku sewa dengan uang tabunganku selama menjadi penelitian bersama almarhum Raihan.
Rasa bahagia yang mendalam terpancar dari mata anak binaanku, dalam soraknya mengatakan, “Hore Bunda mau punya bapak,” Bapak baru, bapak baru bapak baru, Abdul ikut manggut-manggut mengikuti nyanyian itu. Tidak ada rasanya sebahagia itu rasanya kulihat selama ini, yang anehnya lagi sesampainya di kampung halamku, semua mata memandang tertuju kepada gerombolan anak-anak, ada yang beranggapan negativ dan ada pula yang beranggapan positif. Sesampainya di pintu rumah ternyata semuanya telah tersaji, tiba di rumah jam 10 pas, dan semua anak asuhku, ku perkenalkan satu persatu pada kedua orang tuaku dan kedua orang tua Abdul, semuanya menanggapi dengan respon baik, dan sebelum pertunagan di mulai, Abdul minta izin pada ku untuk mandi sebelum beangkat jum’at. Setelah mandi ayah dan ibunya memberikan sepasang cincin dan tujuh helai baju Basiba di pakai sewaktu pernikahan. Dan cincin itu dipakai secepatnya. Semua apa yang dikatakan oleh ibunya Abdul ku turuti dengan senang hati.
Kata ayahnya Abdul sebaiknya dihari ini jualah di adakan pernikahan setehah sholat jum’at berhubung keberadaan nya sangat jauh sekali, dan kemungkinan untuk balik kesini belum bisa dipastikan. Tanpa saya sadari ternyata kedua orang tua ku menghendaki hal seperti itu juga. Maka pihak saudara laki-laki angkatku mengurus pernikahan dan meminta kerjasama dengan pihak pengurus masjid untuk jamaah Jum’at bisa bertahan sebentar untuk menyaksikan pernikahan, antara Syekhana dan Abdul dari Malaysia.
Setelah disepakati aku dan anak binaanku yang perempuan bekerja sama membersihkan dan mengankat kursi keluar rumah, dan bagi anak asuhku yang laki-laki pergi bersama-sama ke masjid untuk melakukan sholat Jum’at berjamaah. Selesai sholat berjamaah tetangga membantu kami untuk menghidangkan makanan yang telah dibuat lebih oleh ibuku. Semuanya telah siap, dan sebelum pernikahan dimulai, Abdul, ayah dan anak-anak kembali ke rumahku untuk makan, dan lagipun acaranya lima menit setelah sholat.
“ Assalamu’alaikum…Secara serempak terdengar suara anakku,
“Wa’alaikumussalam ayo masuk dan langsung aja makan, ayo yah, bang silahkan masuk kita langsung makan bersama dan siap itu kita siap siap kemesjid.
“Dek boleh abang istirahat sebentar?
Abang capek sekali, nanti saja abang makan setelah ayah dan ibu makan, dan kita makan berdua aja ya, dan abang belum pernah makan sama adek.
Telah lebih lima menit rasanya, abang Abdul belum juga bangun. Saat ibu dan ayahnya membangunkan dan sebagian anak-anak sudah tiba di mesjid beserta penghulunya, tidak mau bangun yang mengherankan badan Abdul tumbang kekanan tanpa terasa apa-apa. Sewaktu ayahnya memegang hidungnya, tidak ada sedikitpun angin yang keluar dari hidungnya itu, dan sewaktu di pegang urat nadinya, tidak ada tanda-tanda denyutan nadinya. Aku khawatir apa yang terjadi sebenarnya, aku tidak peduli apa kata orang. Yang jelas aku tidak bisa menahan pedihnya dan traumanya yang ku alami. Setelah dibawa kerumah sakit, dokter mengatakan dia telah meninggal tiga hari yang lalu. Ibu dan ayah Abdul kaget bukan main, masak anaknya sehat bugar tadi disebutkan telah meninggal tiga hari yang lalu, merasa tidak percaya dipanggilah hari itu juga ustadz, dokter lain untuk memastikan apakah anaknya baru meninggal tadi menjadi tiga hari, dan paling mengejutkankan lagi ustadz juga mengatakan demikian, dan katanya lagi Abdul kesini hanya memenuhi janji pada kedua orang tuanya aku, aku tidak percaya tentang hal itu, tidak percaya. Tapi yang membuat ku sedikit percaya adalah ibunya, Abdul pernah berdiri di tempat terik matahari, dan saat itu Abdul tidak sendiri, dia berdua dengan ayahnya, bayangan ayahnya nampak dan bayangan dirinya tidak nampak itu sudah seminggu ibunya memperhatikan itu, tapi tidak mengingat tetang kepergian anak semata wayang untuk selamanya.
Semua yang berada di mesjid berbondong-bondong mengikuti kemana jenazah Abdul dimalamkan, dan malam itu juga mayat Abdul di bawa ke bandara dan di pesan pesawat dengan harga dua kali lipat dari harga normal menuju Malaysia. Erat sekali dekapan ibunya Abdul padaku, aku dicium, dibelai dan di nasehati agar selalu sabar, dan tegar, ayahnya juga menasehatiku untuk tabah dan banyak bertawakal pada-Nya. Semua mata anak binaanku tertuju padaku, kami sekeluarga dan perangkat mesjid dan masyarakat juga ikut mengantarkan kepergian Abdul ke bandara.
Ibu, ayah dan ibu Abdul…
Bolehkah aku meminta satu hal sebelum keberangkatan ke Malaysia?
“ Apa itu nak?” kata ayah Abdul dan masyarakat.
“Aku ingin menyolatkan Abdul untuk yang terakhir kalinya.
Masyarakat di bandara keheranan melihat kami semua, aku hanya menyolatkan Abdul dengan cara sholat gaib, karena mayat Abdul harus segera di masukkan kedalam pesawat. Bukan aku hanya yang menyolatkan Abdul tapi seluruh masyarakat yang ada di sana saat itu juga ikut mendoakan dan sholat gaib. Walaupun Abdul sudah ditanam di tanah Malaysia namun kami tetap juga mengadakan doa khusus selama empat puluh hari berturut-turut.
Keesokan harinya seluruh mahar ku simpan rapi dalam lemari kacaku, kujadikan hiasan rumah. dan ketiganya cincin, mulai dari cincin Liwi, Raihan, dan Abdul ku kumpulkan menjadi satu, kujual dan ku serahkan semuanya kepada masyarakat yang membutuhkan. semuanya itu atas nama mereka semua.
“Allah siapakah yang bisa menerima pelabuhan hatiku, semua orang tidak ingin disakiti, dikhianati dan dirasuki, dan aku tidak tahu harus berkata apa dalam jeritan mata yang setiap, disudut membatasi ruang lingkup. Sangat sedihnya jiwaku sampai anakku juga merasakan kepedihanku, dan merekalah yang selalu menghibur kesedihanku, sampai sampai dia menuliskan puisi duka yang harus dijalani. Ini adalah puisi anakku Auliana yang juga merasakan apa yang aku rasakan.
Dunia lihat ku tersenyum,
Dunia lihat ku tertawa,
Dunia lihat ku berjalan seorang diri,
Dan juga lihat ku berlari untuk tujuan itu,
Tapi tak ada yang tahu kehilangan ini
Tak ada yang hibur dengan kesepian ini,
Tak ada yang sadar dengan kesedihan ini,
Dan tak ada yang mengerti dengan satu sisi hati,
Sembunyi…. hanya bisa sembunyi,
Tutupi sekeping hati yang ngilu,
Samarkan luka-luka yang masih menganga,
Redam air mata yang sudah hampir bobol,
Semua ini buat ku lelah…,
Sejauh mana harus abaikan jeritan hati?
Ada sesuatu yang begitu hampa dan kosong disana,
Yang tanpa ampun selalu hempaskan ku dengan realita.
Sampai sekarang hubunganku dengan keluarga Liwi makin akrab, dengan keluarga Raihan menjadi saudara dekat, dan dengan keluarga Abdul menjadi donatur tetap biaya pendidikan anak-anak asuhku. Dan sekarang jumlah anak asuhku menjadi empat puluh orang dan telah bersekolah di pondok pesantren ternama di pulau Jawa, ada yang telah bersuami dan memiliki dua anak, dan anaknya itu memanggilku dengan sebutan Ummi, ada yang belajar Islam ke Mesir yang awalnya hanya membantu mengantarkan dagangan ke negeri orang dan akhirnya dengan ketabahannya di sana dia diberi kepercayaan oleh majikannya untuk bersekolah disana. Dan yang terakhir tinggalah aku untuk menanti datangnya cinta sejati, yang akan membimbingku, mencintai anak-anakku walau mereka tidak berasal dari rahimku sendiri.
Teruntuk kepada tiga bidadara sorga, Liwi, Raihan dan Abdul semoga amal ibadah kalian diterima di sisi- Nya. Amin!
Dan yang paling berharga cintaku, nafasku, semangatku, permataku kepada seluruh anak binaanku baik di perantauan maupun dimanapun kalian berada dan kemanjaan an kalian akan menjadi penopang rindu Bunda pada kalian semua. Mutmainnah kecilku, ibu, bunda mencintai kalian semua nak.
======================================================

Batanggang

CIEK
Mendung bukan berarti hujan, awan gelap meneduhi alam Minang yang melintasi cakrawala hijau dan penuh gemerlapan, ada yang menandai tempat itu dengan gonjongnya rumah maupun gedung, dengan hadirnya segerombolan anak punk yang memetik gitar dan ayunan tepuk tangan di hiasi cincin yang terbuat dari biji salak, melintasi dipelintasan keramaian masyarakat yang hiruk pikuk dengan aktifitas mereka, melangkah cuek mengisahkan nuansa kebebasan yang tak tahu ujungnya. Rexa melirik bingung melihat gitar yang tergantung di emperan toko saat dia masih atret melangkah tanpa jelas. Jarum jam telah menusuk pada ruang yang harus di temui hari ini.
Ruangan di penuhi paket yang akan di salurkan pada anak asuh menyesakkan di sudut mata, banyak yang menjadi kewajiban saat tulisan yang harus dibuat hari itu juga melalui jaringan internal, menyajikan dengan sangat baik sesuai dengan ke-narsisan seorang marketing “tebal muka” kendati proposal, surat kerjasama dan lobi-melobi wartawan agar bisa hadir meliput kegiatan yang telah dirancang oleh kantor pusat. Tetapi waktu kerjaku akan menghampiri habisnya masa kontrakan tiga bulan. Semakin banyak kerja yang dianggap sulit bisa di mengerti, satu pekerjaan jarang bisa di kerjakan dengan cepat, karena banyaknya permintaan yang harus di segerakan mungkin sesuai dengan masa mood nya seorang pimpinan.
Anak punk sampai melintasi gerbang kantorku yang terbuka lebar tanpa pembatas ruang, dan betapa eratnya ikatan dunia menjelajahi seluruh urat ketidak tahuannya, pada kejamnya zaman yang bergurau dalam alusinasi nafsu. Sungguh sebuah benteng berpintu tanpa bisa di buka. Mengapa harga manusia bisa di lihat dari kerja yang ia pegang? Mengapa pedagang-pedagang di sepanjang batasan mata memandang penuh dengan keceriaan? Ringtone yang berbaur dengan dengkuran langkah menyeruak di pehujung ruang tunggu bandara, dan kemudian seorang wanita cantik berbaju pegawai negeri sipil menghampiri di kursi yang kosong didepan mata, sambil berkata “Berangkat jam berapa ke Jakarta?"
Sepuluh tahun kuliah dengan titel sederhana S.Pd.I dan M.Pd.I, MMc tidak lagi seakrab masa kuliah dulu, ia membelakang menatapku dengan jenjang dikeningnya, di sanalah dia mulai bertanya, mencela dan memperbandingkan baju kuning hambar ke emasan dengan baju kemeja biru yang tampak sedikit lusuh, seorang wanita pendek, gemuk dan kulit sawo matang berjilbab sedang di bahu. Sedikitpun tak pernah pujian keluar dari mulutnya yang judes, berbeda saat pegawai belum berpihak padanya dia baik, menghargai tidak angkuh dan sombong.
Masih nganggur Rexa? Kau tetap culun seperti yang dulu, lamban dan banyak diam!”
“Aku tidak berharap bisa bertemu denganmu.”
Mereka saling sungging senyuman yang berbuah dendam dihati.
“Hitam sekali engkau ku lihat tidak obahnya sehitam “ekor kuali” di dapur orang! Dari dulu engkau memang hitam dekil tapi tidak segemuk ini, seperti ibu-ibu yang memiliki anak lima,” katanya sambil melihat bekas korengan di kedua lengannya kepada Rexa.
Rexa berusaha tenang dan tersenyum menjawab pertanyaan yang semula belum dijawabnya, “Aku tidak ke Jakarta melainkan hobi duduk di sini mencari inspirasi untuk tulisanku nanti.”
“Aku heran dengan kegiatanmu, sejak dulu engkau terkenal dengan seksi sibuk, tidak mau berkumpul dengan kami, suka sendiri dan sibuk dengan uang yang hari ini ada harus pengganjal perutmu?” Bisa jadi gali lobang tutup lobang.
Sungguh ingatan yang bagus sekali dari seorang kawan yang telah memiliki ketetapan kerja. Bagaimanapun, kayanya seorang pegawai tidak luput dari perantara masyarakat yang tidak pegawai juga; siapa yang mengenal seorang penulis biasa kecuali tulisannya bestseller?
Pegawai itu tertawa sinis ketika sedang mengeluarkan telepon genggam Nokia berwarna orange dan berkata, “Kau benar-benar pengangguran. Kau seperti pengangguran tinggkat tinggi, tak ada yang berubah dari dirimu kecuali pena dan lembaran kertas yang dilipat menjadi empat bagian serta sepatu olahraga dan tas ransel!”
Rexa menyeka air wajahnya yang kuyu oleh kata-kata intel yang mengajak menari peluh dingin di pelipis atas, ia memperbaiki letak kacamata minus seraya berpura-pura menguap tanpa mempedulikan lototan mata disekitar.
“Aku tidak senang bertemu denganmu, Pegawai Negeri Sipil.”
“Dan aku malah senang bertemu denganmu karena telah lama aku kurang suka dengan gayamu yang tak sejalur dengan kami, aku puas sedikit mempermalukanmu dengan pertanyaanku yang bisa menjebakmu untuk malu dengan status kerjamu.”
Ia kembali membuka telepon genggamnya untuk meminta nomorku, saat dia harus mempersiapkan dirinya untuk pergi ke Jakarta, mengisyaratkan pada Rexa untuk berhenti berbicara.
“Aku ingin mengajakmu membuang segala yang engkau lakoni untuk beralih keperkerjaan yang bisa dipandang baik oleh masyarakat, bukan serabutan dan bukan pekerjaan hari ini dapat uang dan esok tidak.” Ia membuka buku kecil dan mengasihkan sebuah nama dan nomor agar nanti setelah kepergiannya ke Jakarta bisa cepat di hubungi. “Nama Aris Ahzani, 08167372887, pekerjaan sebagai Agen Asuransi.
“Oh.. ngomong-ngomong kau sudah menikah?.. aku sudah empat tahun yang lalu tapi setiap hamil keguguran terus.”
“Belum.”
“Menurutku sih betapa banyaknya yang harus kamu perbaiki Rexa, mulai dari penampilanmu, dan gaya keseharianmu, sungguh norak sekali sama seperti waktu kuliah dulu? Tapi kini makin menjadi, kemeja kotak-kotak, rok levis dan…? Apakah engkau tidak ingin tampil seksi dan modis?”
“Menurutku yang ku pakai hari ini sudah melebihi modis, bersih dan wangi.”
Pegawai itu membantah dan menunjuk beberapa orang yang lewat dan memuji betapa pantas dan tidak pantasnya baju yang ia kenakan.
Rexa mengelus renda jilbabnya dengan ekor pena dan berkata:
“Aku yakin suatu saat bisa berhasil dibandingkan dengan pekerjaanmu sebagai Pegawai Negeri Sipil.”
Sang pegawai mengeles kata-kata yang ia dengar barusan, “Tidak ada yang lebih berhasil kalau dia telah jadi pegawai, sedikit bekerja, bahkan dalam seminggu itu kerja hanya beberapa jam, dapat gaji tetap, tunjangan ini dan itu, aku dapat berhutang, dan tidak susah cari uang untuk penebus hutang tersebut, sedangkan engkau tunjangan apa yang akan didapat dan di banggakan?
“Ya, ya…"
“Ku akui aku kalah berbicara dengan mu, dengan orang yang sudah punya penghasilan tetap, yang semena-menanya meremehkan orang, dan menyanjung tinggi gaji besar tanpa usaha yang maksimal.”
“Tak ada kerja se-enakku, pns!”
“Masih ada yang akan dipamerkan lagi?”
“Camkanlah ya… pns adalah pekerjaan yang enak, sedikit bekerja banyak gaji, sedangkan kamu terlalu banyak mengeluarkan tenaga, energi, waktu tapi hasilnya tidak sebesar yang aku dapat.”
“Terima kasih sudah support dengan kata-katamu yang bermakna, malah saat akalku telah letih dengan segalanya ini, aku akan jadi pns juga, sebagai pelarian kerjaku.”
“Bagus-bagus… aku setuju pada akhirnya kamu punya niat juga jadi pns, walaupun hanya sebagai pelarian bagimu. Dan tidakkah engkau mau mengambil kesempatan di tahun ini? Semua pendaftaran telah di buka untuk CPNS, CPNSD, dan sebagainya.
Rexa memalingkan wajahnya pada satu titik mobil Damri yang baru berhenti di tempat penyebrangan bagi pengunjung, “Aku jenuh dengan segala yang ku dengar setengah jam yang lalu, muak melihat setiap manusia berpakaian dinas, bahkan permintaan keluarga. Keadaannya semakin rumit untuk ditanggapi.”
“Kalau begitu aku sarankan kamu punya pekerjaan yang bisa mengangkat martabatmu bukan…”
“Masalah martabat dilihat bukan dari sebuah pekerjaan yang di sandang, melainkan bagaimana dia mampu berguna bagi manusia disekitarnya, aku datang kesini berharap dapat ketenangan dari semua yang ku lihat bukan ceramahmu yang menyudutkan setiap pekerjaan.”
pns itu mendapatkan informasi pesawat yang akan dia tumpangi delay tiga jam lagi, kira jam dua-an, ia beranjak menuju ruang informasi. Rexa bergegas berdiri pindah duduk di bangku bagian belakang dari dua bagian bangku pengunjung. Semua kata terhenti, sang pns menunjuk wajah Rexa dengan telunjuk kirinya, memberi tanda akan melanjutkan pembicaraan terputus.
Banyak keunikan wajah dan baju yang dipakai oleh setiap pendatang, mulai dari seragam office boy, supir, calo, polisi, tentara, guru, pelayan restoran dan seperangkat karyawan bandara, semuanya seragam walaupun yang lain tidak memakai seragam yang pasti dengan gaji melimpah. Ide bisa dapat dari apa saja termasuk dari mulut pedas pns tadi, kalau di cermati dengan hati lapang banyak hikmah yang didapat terkadang menyakitkan. Ya memang awal kuliah dulu banyak jenis kerja yang ku lakoni mulai dari; jual sayur, jual ikan, koran, tukang masak, cuci piring di pasar raya, tukang cuci, nggosok, guru ngaji, presenter, guru sekolah dasar, penulis skenario film, dan banyak lagi, serta bekerja sebagai marketing support officer disalah satu yayasan sosial, semuanya berlalu tanpa meninggalkan bekas, suka duka berkumpul jadi satu membentuk kekuatan yang keluar dari dalam diri, bahwa kegagalan itu adalah prioritas utama untuk meraih impian yang maha dasyat.
“Aku bukanlah bodoh kawan…? Rexa memejamkan matanya diam-diam ia mulai melangkah membingkai coretan demi coretan membentuk piramid terbalik. Kenangan tadi mengganggu kesadarannya bagaikan petir menyambar. Ia berharap pns itu menghilangkan pembicaraannya setelah ia pulang dari study banding ke Depok, agar kawan yang lain tidak ikut juga menambah serta membumbui kata-kata yang dikurang serta dilebihkan pns tersebut, supaya kemarahan Rexa tidak menjadi-jadi.
Banyak teman selama kuliah menjadi pemicu amarah karena Rexa tidak sejalur dengannya, sekilas terlihat sedikit individualnya Rexa, berteman ya tapi tidak terlalu mengikuti kemana ekor temannya pergi. Walaupun sebagian teman telah dahulu mendapatkan gelar sarjana, telah bekerja dan menjadi kebanggaan bagi masyarakatnya.
Wajah Rexa melipat kenangan dengan desahan nafas yang terlalu berlebih, berusaha keluar dari deretan sandaran bandara menuju lelaki paruh baya dengan genggaman karcis menuju pulang menyusuri jalan-jalan dan rumah penduduk di sepanjang kejenuhan waktu. Kemudian melihat ke jam digital telpon genggam, menyudahi kegalauan hati dengan gumaman kecil “Aku harus bisa berhasil di bandingkan mereka, aku harus bisa menciptakan lapangan kerja dan menjadikan pekerja sama sepertiku menjadi pekerjaan yang banyak diminati oleh masyarakat, bukannya pns yang selalu terikat dan semena-mena bicara menumpah ruahkan air liur kewajah orang yang telah tersakiti” Rexa menghempaskan badanya yang gemuk di sandaran kursi Damri berusaha mengingat kembali kata-kata pns dan mencari tahu di mana keberadaan Felly yang bekerja sebagai wartawan TV salah satu tv lokal, yang selalu menghargai apa yang Rexa kerjakan, sahabat dikala susah maupun senang. Begitu juga dengan pacarnya yang berprofesi sebagai Satpol PP Padang, mereka saling memberi semangat kepada siapa saja yang menjadi sahabat baginya. Termasuk Rexa, walaupun jarang bertemu tapi dengan pesan singkat yang dikirimkan untuk Felly, menjadikan persahabatan mereka menjadi yang terbaik, memahami satu sama yang lainnya dan tak terkecuali juga membahas tentang impian yang di persembahkan untuk alam yang di pijaki.
==============================================================

Batanggang

DUO
Perasan wajahnya mengintip penuh debaran hati, sebelum mereka bersahutan salam membingkai persahabatan walau hanya lewat celetukan kasar. Kekecewaan terhadap IPK yang sedikit lagi mencapai cumlaude terhalang karena ada nilai C menari-nari pada bidang study praktek mengajar. Kehampaan yang tercipta membuatnya menjadi pecinta sosok melankolis dalam lagu Kerispatih, ada cinta tapi tertinggal dalam kenangan manis di atas pusara. Ia memusatkan senyuman itu pada sosok anak kecil yang masih ingusan dengan cucuran air ludah yang menetes di sele-sela lobang bibirnya. Lelaki kecil itu duduk bagai onggokan boneka yang sabar dan manis bila selalu di pandang lama-lama, matanya yang coklat hitam di lengkungan pelipis menggambarkan tangisan yang masih tersisa, tapi kata-katanya yang tidak lurus mencerminkan keikhlasan dan kerinduan pada kasih sayang yang telah lama ia lupakan, “Jemariku membelai lembut mengungkapkan keterharuan serta menarik senyuman lugu dari bibirnya.”
Felly berdiri di sisinya dengan jaket kuning, rambut kepang satu dan berjalan bak bodigar, sosokya yang santai, perkasa, hanyut oleh tatapan yang menyimpan kerinduan dari lelaki mungil tak berdosa itu yang duduk di halte depan sekolah 34 Purus Padang. Mata sayu dengan jepitan hitam di poni tertawa khas “Betawi” menghampiri Rexa.
“Sejauh mana pertualanganmu hari ini? Apakah ada agenda walikota selama bulan Ramadhan? Ceritakan padaku!”
Fatna berdiri membelakangi rak buku, dan menggenggam satu buku ekonomi yang berada di depan pintu rumahnya. Sikapnya yang bersahaja menatap ke wajah kakeknya dengan penuh pertanyaan. Ia memiliki wajah cantik putih neneknya yang meninggal di Makkah saat menunaikan ibadah haji, wajah khas Pakistan jelmaan perjuangan pada kerajaan Pagaruyung, hidung mancung, bermata besar dan sayu. Meneriaki kegirangan atas kedatangan Rexa dan Felly di rumah tua gonjongnya.
“Tumben kalian kesini, ada angin apa ya…?”
Mereka bersalaman membagi kondisi kesehatan yang telah lama tidak berjumpa seraya duduk lesehan di tengah rumah, Rexa menjawab, kami hanya melepaskan kerinduan yang telah lama di pendam, sekaligus silaturrahim melihat kondisimu dan kakek.
“Benarkah itu Felly, tangkis Fatna.”
“Ya…iyalah Na masak singgah saja, kecuali kami pengen sekali rindu itu terobati dengan sambal lado petai, he…he”
“Huh kalian maunya yang lebih cendrung ke makanan yang gratis.”
Tapi tidak masalah dan sekalian kita membahas bagaimana perjalanan hidup kita selama ini dan di tambah adanya suka dan duka kehidupan, sebentar lagikan akhir thun 2010 menuju 2011.
Sofie serempak mengucap kesenangannya, aku hanya butuh semangat baru untuk generasiku yang akan datang walaupun tahap pertama calon hakimku lulus dan tahap keduanya gagal tapi aku tetap optimis untuk menelusuri jalan kearah cita-citaku itu. Sofie tinggal di rumah Fatna setelah rumahnya ambruk karena gempa 30 September 2009 kemaren.
Sepintas terlihat rona mengharu biru terhadap cerita Sofie akan nasibnya yang hidup menumpang dari rumah kerumah sahabat. Lain halnya dengan kejengkelan yang didapat di bandara siangnya oleh Rexa, dia mengulang kembali cerita geramnya pada PNS teman lama menjempol terbaliknya tertuju pada privasi kerjanya.
Felly dengan sigap berdiplomasi mengatakan jadikan apa yang kita dapat hari ini menjadi cambuk untuk menuju kesuksesan, oh…, ya belum tentu juga PNS menjadi prioritas utama kerja masyarakat untuk tahun yang akan datang, justru sebaliknya menjadikan pekerjaan yang paling rendah di mata luar Indonesia dan dunia. Tak obahnya kerja yang kita lakukan hari ini menjadi “murai” kata-kata orang termasuk teman dekat sendiri, heran, mengapa hanya karena pakaian seragam bisa menyepelekan orang tak berbaju seragam, angkuh dengan gaji tetap, sombong dengan kedudukan tapi mereka tidak sadar bahwa masyarakat menyelipkan doa karena telah terzolimi dengan tugas yang tidak dikerjakan dengan sebaiknya, boleh jugatu PNS disebut sebagai “pelayan masyarakat” cinta dengan gaji besar dan benci dengan kerja menumpuk. Rexa berkata pada Felly, “PNS Rinsya menanyakan tentang Fatna si Pakistan kesasar.” Setelah kebengisan menyeruak hening, ia menambahkan, ya betul Sofie jika kamu mau PNS jadilah sebagai abdi masyarakat untuk negara.
Felly tertawa terkekeh pipinya menutupi seluruh matanya yang sipit, untung aku masih dianggap berarti dalam stasiun TV, tempatku bekerja dan mencari nafkah, walaupun orang bawahan yang tidak PNS tapi aku sudah pernah sebangku, semeja makan dan sekerja dengan petinggi-petinggi daerah maupun kota, duh bahagianya hati dengan menikmati apa yang ku punya, bukan begitu Rexa?
Rexa teringat dengan pekerjaanya yang lain, pekerjaan butuh kesabaran dan butuh perjuangan yang mendalam, guru Sekolah Dasar, selama dua tahun kurang menjadi guru telah mendapatkan NUPTK sampai mati, tapi bagaimanapun saat kawan honor denganku yang sama-sama keluar telah diterima menjadi PNS Dosen di STSI Padang Panjang, tapi temanku ini jauh berbeda dengan sifat kawanku yang bertemu dibandara tadi siang, tidak sombong, dan tidak anggkuh, menghargai apa yang kupunya. Rexa berada saat yang genting, tapi sahabatnya yang lain tidak melihat dimana letak gentingnya itu, dengan sifat periang Rexa sulit mencari waktu pasang dan surutnya. Kejenuhan yang berlebih melele pada bahasa tubuh Rexa, sementara Rexa jenuh dengan segala kemewahan orang yang belum ia cicipi, orang tua yang selalu memaksa untuk jadi PNS, keluarga yang menuntut untuk menikah, dan regenerasi menuntut untuk jadi yang terbaik, lebih baik menikmati menjadi MC petatah petitih, penulis dan menjadi pelicin jalan selalu mondar mandir dalam keadaan mencari inspirasi, sahabatnya menjadi saksi nyata akan keberhasilannya suatu saat duduk berdampingan dengan Kikc Andy, keliling dunia, dan memiliki tulisan yang best seller.
“Kek, jadikan kita berangkat kerumah Buya Hamka?”
“Kita akan mengetahui perjuangan Hamka dalam menjelajahi tulisannya yang populer. Aku akan menunjukkan kepada kawan-kawan bahwasanya perjuangan menulis itu bukan dilandasi dari hanya sekedar hobi saja tapi mencintai huruf per makna, seperti yang pernak kakek ingatkan kepadaku mengenai makna di balik tulisan.”
“Berusaha membuka hati untuk mencintai segala sesuatu.”
Felly sebagai jembatan pelangsung kedua orang tuanya yang meninggal karena tabrakan lari dua tahun yang lalu; semangat, penyelamat dan perawat pertama yang menolong kedua orang tua Fatna, saat itu Felly sedang memantau kegiatan masyarakat Padang dalam pesta ulang tahun kota Padang, maka dari itu Fatna tidak bisa melupakan jasa baik Felly dan Rexa yang di telpon Felly saat kejadian berlangsung.
“PNS itu meludahiku dengan kata-kata culun yang berujung pada kenanganku selama kuliah, seksi sibuk dengan menulis yang belum tentu dapat uang!”
Felly menghibur, oh… ya mereka belum tahu telah berapa banyak tulisan singkat tercipta hanya lewat beberapa menit, yang terakhir pembuatan petatah petitih yang berangsur pudar pada budaya Minang.”
“Andaikan saja tadi aku bersamamu di bandara mungkin sudah ku kuahi kata-katanya itu pada sifat yang tidak sepantasnya menjadi baju kebesarannya. Manusia yang pandai menulis sudah sama artinya dia bisa menggenggam dunia, sedangkan PNS dia hidup didunia yang kita genggam.
“Aku yakin dia yang sok kaya, sok hebat, dan sok berlebih tidak menyukai bacaan?, tidak menyukai musik, dan bahkan tidak mencintai yang namanya buku panduan jika sewaktu-waktu kerjanya itu mendapatkan pelanggaran yang nyaris memecatnya secara tidak terhormat?”
“Keluarganya menyukai petatah petitih yang kamu bawakan pada pesta pernikahan dan pesta adat kan?”
“Kalau begitu mesti dia tidak bisa jauh dari sistim surat menyurat, tulis menulis dan terutama surat cinta.”
“Fatna, sedari tadi mengemasi sisa masakan di dapur, dan menyiapi berbagai bentuk masakan, lalu menyeru, “Ayo kita makan, dan berharap Rexa, Felly untuk dapat tidur disini.”
Rexa memberitahu, bahwa petai dan rebusan kangkung jangan dihabiskan, karena Rexa harus kekamar kecil, okedeh kalau begitu tanggap Felly, “Bagaimana dengan ikan asin? Apakah aku akan menantikanmu juga?” Kemudian mereka melanjutkan makan setelah Rexa kembali dari kamar kecil, kemudian disela kunyahan pada ikan asin, mereka menceritakan tentang beasiswa bagi penulis yang telah memiliki buku pada surat kabar Padang Ekspres oleh Gubernur. Rexa sedikit susah melahap makanan yang berada dihadapannya, saat nasi yang menjulang tinggi pada piring kakek, Fatna, Sofie, dan Felly telah ber-angsur habis karena Rexa memiliki banyak kekurangan jumlah gigi, karena diwaktu kecil sampai semester tujuh Rexa terbiasa tidak mengunyah makanan melainkan mengisapnya sampai rasa manisnya telah hambar. Sofie pun tak mampu menahan keinginannya untuk meminta teh pahit yang ada di gelas Rexa.
Felly mengutarakan filosofi yang dia peroleh dari adat bahwa, apapun yang dimakan saat ini jika disyukuri apa yang kita dapati nantinya saat makanan tak di depan mata memperoleh sifat yang tunduk pada kesaksian alam, siapa dia, bagaimana dia dan untuk apa dia hadir semuanya telah jelas menjadikan itu semua dengan tidak kesenangan semata melainkan semangat yang tinggi akan cita kita.
Rexa mengungkapkan keterharuannya pada setiap kata-kata yang keluar dari bibir Felly yang berilmu.
Setelah makan malam sesudah maghrib, suasana kenyang berpihak pada pemandangan yang gelap dan sedikit dihiasi kelap kelip lampu nelayan, ya tepi laut biasa disingkat menjadi taplau, cukup menghabiskan waktu lima menit menuju hembusan angin malam pantai Padang.
Rexa bergumam sambil memencet senter yang melekat dalam telepon genggam, ada saja pemandangan yang memuakkan saat terik lampu senter menyulut seonggok kotoran hewan, sedikit buruk kondisi cuaca tiada aba-aba bersahabatnya, termasuk bintang yang enggan memamerkan keceriaan dideru ombak. Felly heran “Rexa melihatkan tingkah yang sedikit aneh, spontan yang lain kaget. Rexa berhayal andai hamparan laut bisa disulap menjadi pustaka daerah pengganti pustaka yang ambruk karena gempa, dan membuka peluang usaha yang terlebih dahulu telah teroganisir dengan baik, tertib dan jujur.
“Kamu harus berani mengambil resiko atas gambaran cita-cita untuk memajukan daerah, walaupun kerikil tajam harus kau jalani.”
“Aku ingin berhayal sekali lagi.”
“Oke tapi tolong masukkan kami dalam perjalanan hayalanmu itu, tapi ingat saat dunia International mengetahui ide gilamu, pasti kamu akan di jadikan kekuatan bagi mereka.”
“Maksud lho…, aku aneh aja melihat imajinasimu yang telah memuncak keubun-ubunmu.”
Banyak masyarakat awam yang tidak mengerti tentang kerja yang kita geluti, tiada titel, tiada seragam, dan tiada gaji dan tunjangan perbulan.
“Aku mengerti impianku terlalu tinggi, sehingga waktumu mengimpikan yang sama timbul kebosanan dalam dirimu untukku, karena aku harus menciptakan dalam dimensi imajinatifku kedalam kertas, bukan hanya dalam pidato syairku yang menyayat.”
“Aku memiliki masalah besar dalam keluarga dan masyarakatku di kampung Felly.”
“Benarkah? Kau sedang mengalami pertengkaran hebat dalam batinmu, sehingga telah bertahun-tahun bertahan kau jadikan rahasia, tanpa kau bagi pada kami semua? Sungguh sejauh mana arti kami sebagai kekuatan bagimu…?
“Tolong Felly, jangan kecam aku dengan pertanyaanmu yang menusuk ragaku, enam tahun ku simpan takutku utarakan segala onak hidupku pada kalian semua, aku khawatir menganggu ketenangan kalian, dan menganggap permasalahanku ini hanya sebagai buah ide kreasiku dalam menciptakan buku. Bukan kawan, tapi mungkin malam ini aku ingin mengutarakan segalanya pada kalian semua, ada apa dan bagaimana selama ini aku menyimpan dan berpura-pura bahagia dihadapan kalian.
“Aku menghargai keputusanmu kawan tapi bagiku ini belumlah terlambat untuk memulai hidup yang baru, dan kami sangat prihatin pada masalah yang akan kau ceritakan nanti. Kemudian Felly mendewasa dalam nasehat dan berkata, “kau akan lebih nyaman saat semuanya telah dibicarakan, dan kau harus tetap fokus untuk selalu menulis tentang apa saja yang kau lihat, rasa, cintai dan bencikan. Tidak mungkinkan kita semua menjadi pengangguran yang hanya memusingkan mata bingkai masyarakat? Tidak akan mungkin kita menjadikan apa yang kita impikan hampir diraih pupus begitu saja? Tidak kawan kita harus bangkit, walaupun aku belumlah mendapat gelar sarjana, dan begitu juga kawan kita yang lain belumlah mencicipi gaji bulanan.
Hujan mengingatkan ku pada kisah belasan tahun yang lalu saat ibu Rukhayah memberikan lima puluh ribu untuk anak ingusan yang berdiri disudut masjid Istiqlal Jakarta, ibu itu mengingatkan kondisi saat dia harus dimanja cengeng dan sifatnya cendrung kekanak-kanakan.
“Rajin makan, nulis dan baca.”
“Cengeng.”
“Mencari bahagia adalah motto hidupku, dalam keadaan bagaimanapun, menghayal adalah jembatan untuk merangkai kata-kata indah, menghadirkan kekuatan insting dan di resapi lewat makna hidup mendalam.”
“Aku meninggalkan ngajar tanpa dipengaruhi oleh perkembangan keinginanku untuk terus maju.”
“Apa alasan kau meninggalkan pekerjaan yang mulia itu.”
Ia sangat menghambat kinerja otakku yang biasa bebas berekspresi, menciptakan nuansa inovasi dan menghadirkan metode yang asyik tidak kaku. Gelap yang kerontang, tanpa bayangan, tanpa tawa lebar. Selaksa kegundahan di jalan raya menuju pulang, hujan mulai mencubit dahan tulang yang dibaluti daging yang tebal.
“Apakah pekerjaanmu di lembaga sosial belumlah menjamin kebahagiaanmu.”
“Mengapa masih ada goresan kekecewaan pada piringan katamu?”
Sepintas terlihat dalam telaga matanya ada kekecewaan terhadap sikap dan keputusan pimpinan, serta tidak arifnya menanggap bahasa keputusan dan solusi yang ditawarkan.
“Sebenarnya kau mencintai dunia pendidikan.”
“Tolong katamu di perjelas antara menulis dan mengajar.”
“Kau tidak akan dapat pengakuan saat metode ngajarmu banyak disukai murid, tapi disela-sela tidak menjalankan metode itu, justru banyak yang memakai kriteria metode ajar yang pernah diciptakan.”
Felly menghela nafas perlahan, dan menyepak botol bekas sampai depan pintu gerbang Fatna dan berkata, “Hal seperti itu sudah lumrah dalam kehidupan ajar mengajar, tapi aku heran waktu keputusan untuk dapat guru honor berprestasi kenapa kau memutuskan untuk mengundurkan diri tanpa pamit. Sepengetahuanku guru itu harga dirinya lebih besar dibandingkan dari presiden, coba bayangkan menjadi presiden pasti dilalui oleh bimbingan ilmu seorang guru bukan..? guru bisa menikmati berbagai ilmu yang mendalam, ada seni, agama, ilmu sosial dan budaya. Bagi yang menjalani dan menghargai seluruh jiwanya beruntunglah ia menjadi guru tapi…, zaman sekarang sulit mencari sosok guru berjiwa emas, ah aku tidak ingin berlarut-larut menerangkan keberadaan guru di mata masyarakat padamu Rexa, tapi bagaimanapun aku sekali lagi sangat menghargai keputusanmu untuk menjadi petanya dunia, menjadi penulis, kaca matanya masyarakat tentang apa yang terjadi hari ini, esok, dan dari tahun ke tahun.
“Aku penulis justru dari seorang guru, setia mengajariku menulis berbagai macam bentuk tulisan, dan berbagai macam jumlah buku yang harus dibaca.”
“Aku yakin pergolakan yang mendasar tentang jumlahnya pekerjaan yang pernah kau kerjakaan menjadi jembatanmu untuk meng-audisi mana yang pantas atau tidaknya dalam hidupmu, di hatimu dan untuk generasimu.”
“Lihatlah setiap Jum’at malam siaran Kick Andy, banyak menimbulkan inspirasi yang pantas kita ikuti, terutama tentang menulis, karena jika jasad kita telah mati tapi hati tangan fikiran dan argumentasi dalam tulisan akan tetap hidup sampai zaman ini benar-benar kembali pada Empunya dunia.
“Ya…, ya aku yakin sekarang, dan kami berharap kisah hidupmu yang penuh liku bisa juga kau tuliskan agar suatu saat jika masalah masyarakat sama atau hampir menyamai dengan masalahmu, mereka tentu sudah bersiap-siap dengan solusi yang kau tuangkan dalam tulisanmu, oh ya jangan lupa ya nama kami juga di cantumkan sebagai sahabatmu yang paling setia, walaupun kebenaran setia itu ragu kami peroleh melihat sikapmu yang netral pada yang lain, jadi kesan spesial kami sebagai sahabatmu kurang kami resapi.”
Comments
Add New
=========================================================

Batanggang

TIGO
 KOPI, Mulai saat ini Felly, kamu adalah tinta isi ulangku yang kian habis, kau sering memberikan arti penting bagi kita semua, terutama aku yang menggelandangkan batinku pada pergolakan kerja yang belum tentu bisa di jadikan uji coba yang memiliki kapasitas nilai yang tinggi di mata publik, memang sih kita hidup bukanlah mencari pujian masyarakat, kita hanya ingin di akui, selayaknya masyarakat yang menganggap pegawai sebagai pekerjaan yang mantap, apa salahnya menghargai kerja orang, sehari lagi tahun 2009 berakhir tanpa kenangan yang indah, banyak lukisan luka yang tergores tak disadari dan justru sering mendramatisir keadaan, siapa sangka, dua tambah dua bisa berobah menjadi enam bahkan sepuluh, kemungkinan besar begitulah sebaliknya. Felly, aku ingin kamu bisa membaca pengalamanku jadi jarum dalam kain yang sobek, persisnya aku tidak tahu pasti apakah tulisanku ini layak dikatakan sebagai pengalaman atau…? Ntahlah.

30 September 2009, Sumatera Barat bergoncang dengan kekuatan 7,9 SR, kejadian yang mengisahkan perjalanan hidup manusia di bumi Andalas tercinta. Suasana yang hangat tak bersahaja menerawang pada pokok permasalahan alam, tiada cerah bahkan gelap menyelimuti bilik-bilik langit. Satu persatu sapaan merangkul pada jiwa yang mahir memainkan indra kedekatan pada Empunya alam semesta. Takbir bergema sehela nafas sang pembuat derajat pada pekerjaan yang belum tentu terselesaikan cepat. Siapa sangka keceriaan, adanya canda dalam tawa, tangis dalam masalah, syukur dalam doa semuanya bersatu saat deru tanah mulai bergoyang menyenggol pondasi riang yang belum tentu mekar di sajadah mimpi. Rabu pukul 17:16 kejadian bermula, semuanya terkesima pada jiwa-jiwa individualistis, memamerkan keperkasaan, menyelamati hati yang sempit berkalung persaudaraan, tak satupun teriakan itu berujung pada rayuan lembut sang ibunda, hangatnya pelukan kekar sang ayahanda, kaki yang awalnya berguna berjalan pelan menelusuri lorong-lorong kesenangan semu, ada nafsu bahkan ada secercah kedengkian.
“Egois” pantas berpihak pada pribadi yang bukan pribadi persaudaraan. Darah tumpah ruah, badan yang kekar jadi prioritas terhimpit oleh bangunan yang tunduk atas permintaan Tuhan, tanahpun enggan lagi mengikuti langkah manusia yang selalu sibuk mengurus derajat tak berujung, nyawa tidak lagi ada nilainya, bahkan cemo-ohan orang melebur semuanya menjadi dermaga saat mentari tak berpijak juga dalam belaian hangat Sang Pencipta. Bahkan tak satupun jiwa-jiwa yang alfa tahu bagai mana Tuhan memerintahkan getaran yang berujung pada garis-garis membekas ngilu.
Sore itu, tepatnya di depan masjid Takwa Padang aku dan dua kakakku memenuhi janji, di warung bakso “Baru” berakhir kesepakatan, kebetulan kakaku Marianti baru pulang dari pulau Batam, kerinduan yang besar berpihak kepada semangkok bakso tanpa mie, pengunjung begitu ramai ditambah lagi ramainya petikan gitar, merdunya suara pengamen dengan lagu ST12 “Allah Maha Besar” lagu yang meriahkan hits-hits paling teratas di bulan Ramadhan, radio, televisi. Lagu yang begitu indah membuat mata hati juga ikut bernyanyi mengikuti alunan campur sari melayu pop. Belumlah sempat mencicipi bakso yang tersaji di depan mata, ada getaran lembut pertanda besar goncangan yang menciutkan hati perikmat bakso.
“Gempa” Lari…, hanya suara itu terdegar, aku juga menyaksikan semua yang tertangkap mataku berhamburan keluar, tinggal aku sendirian dalam warung berukuran sedang itu, semuanya sibuk menyelamatkan dirinya, berurai air mata, dan semuanya menyapa Tuhan dengan mulut-mulut pengharapan, seluruh agama bersatu menyebutkan bait-bait Allah, takbir menggema dan Allahu Akbar, aku masih terkurung di warung itu, bakso berpindah tempat, ikut bergoyang menari-nari mengikuti deru gempa yang semakin dahsyat, aku masih bertahan melihat permainan yang sangat unik dari Tuhan, semuanya berantakan, gelas, botol, lemari pecah, dan apapun yang masih tersaji di atas meja tumpah ruah berbaur dengan lantai goncangan yang cukup lama di hiasi lantunan teriakan yang menghantam telinga.
Semua aktifitas terhenti, teriakanpun reda, gempapun berhenti, yang tersisa adalah wajah-wajah cemas, takut dan traumatik. Gedung tempat bernaung masyarakat mencuci mata ambruk, mengikuti robohnya gedung-gedung yang lain. Darah segarpun mulai keluar melukis sekujur tubuh, berlari sekencang mungkin, bahkan ada yang mencari kesempatan dalam kesempitan “maling.” Semuanya berlari mengikuti arus perlindungan diri ada bersisa tapi terpisah secara perlahan, bahkan ada yang mencari kesempatan dalam atraksi rekamanan telpon yang masih menyelipkan gengamannya.
Tunggang langgang, sempoyongan, tak tau arah, pusing dan tak terarah berlari pada satu titik yang belum tentu memberikan signal keselamatan. Tangisan yang membanjiri jiwa, teriakan dan amarah membentang seluas mata memandang, gerobak yang awalnya untuk bernaung anak istri di biarkan saja hangus dimakan api.
Mata ini hanya bisa terpaku bermain di lingkaran kelopak, sesekali berkedip mengeluarkan pertanyaan yang dalam menembus ruang. Kaki juga tidak kalah serunya berlali kesana kemari menggolkan serangan yang mendadak yaitu bantuan yang spontanitas. Waktu kaki yang lain berlari di satu arah, justru arah yang tidak diperbolehakan melangkah secepat perasaan akan kobaran yang butuh bantuan. Kaki wakil walikota Padang pun searah dengan kaki kebanyakan, memberikan aba-aba dan penenangan sesaat terlihat sungging harapan yang mendengar gambaran pelan tapi pasti itu, sapaan manisku tertuju pada pria paroh baya yang mewakili rakyat Padang. “Cari perlindungan diri” kata sederhana penuh makna, ku biarkan saja berlalu tanpa mempertimbangkan dengan apa yang terjadi. Gedung yang dilalui saat itu ikut berlari juga menyalami tanah, miring kekanan, kekiri, kebelakang, kedepan dan hanya tertunduk sujud mengiringi getaran gempa. Percekcokan arus mengakibatkan adanya tegangan tinggi, memberikan lambaian asap dan api, membakar semuanya yang tersapu rapuh oleh situasi yang darurat. Ramayana terbakar, sentral pasar raya (SPR) terkulai, dan di ikuti dengan bangunan antik mengungkapkan kepenatannya, aksi bersimpuh lelah serempak dengan kekompakan bangunan yang tak tahan lagi pada rayuan gempa. Berkeliling mengintari bangunan yang telah dulu lelap berpenghuni, tak berpenghuni merajut kasih di tengah nafas-nafas manusia. “Kota mati” terlintas dari suara yang gemetaran, tidak ada lampu, PLN pun ikut hening tanpa aksi tanggap, gempa telah membuat arus putus, yang bisa menerangi hanya lampu-lampu angkot yang sibuk antar jemput penumpang, mobil pribadi dengan tunggang langgang segudang ketakutan, lampu honda yang bergegas berkeliling menerangi jalan-jalan gelap demi mencari sisa saudara yang selamat, dan lampu senter dari telpon genggaman yang ikut ambil bagian menyelamati mata-mata yang gelap tak bisa menembus terang dan menerangi keinginan hati untuk mencari perlindungan. Semua mata begitu kuyu dengan getaran kedua, waspada pada aturan gempa yang riang datang dengan silih berganti, meniti titik titik yang harus di goyangkan pada bentang aturan takaran dari BMG. Aku sempat mengelilingi kantor yang pintunya ikut ambruk sebelah, dengan sisa tenaga ku tarik pintu ke bagian sebelah kantor, agar tidak terlalu tampak parah dan sebelah kantorku hotel Dipo sudah dulu menangis amruk kekanakan, pustaka daerah dan tempat lain. Begitu tragis melihat kenangan dari gempa, jutaan mata yang berenang dalam kecemasan menoreh kisah sendu saat surau kami juga ikut bersimpuh tahyatul akhir, tak tahu arah kota mati sepintas dalam rabunan yang bergerumunan silih berganti, malam itu juga langit juga ikut menyaingi tangisan manusia, menggenangi kota-kota hati memberikan peringatan bahwa setelah hujan tidak akan ada lagi gempa yang datang kecuali siang harinya. Malam melintasi gemuruh hujan yang semakin kencang, semua jiwa yang merasa rindu dengan keluarga berebutan menaiki angkot, kebetulan tarif biasa angkot berlipat ganda menjadi tiga ribu sampai lima ribuan. Setibanya aku dirumah hidangan gelas pecah, komputer dengan sumbing di pelipis monitor, kumpulan piala tak sekokoh penghias dan penyemangat mata memandang, geseran sedikit vatal untuk meja tamu, dan sentilan kecil dari penjagaan alam di siang dan di tengah malam “waspada.”
1 Oktober 2009, Kamis yang hening, setelah membereskan rumah, air mati, lampu mati, semua alat komunikasi mati karena batrai low, insting relawanku melayang keudara Padang keinginan membantu masyarakat yang terkena musibah, syukur sekali di komplek yang ku tempati tidaklah mengalami kerusakan yang parah. Sengaja bolos kerja berharap pimpinan pusat bisa faham dengan kondisi yang melanda di mana kantor berdiam. Tak ada angkot, ojek bahkan tumpangan menuju pasar raya yang jaraknya dari tempat tinggalku menghabiskan waktu satu jam. Ku putuskan untuk berjalan kaki, sebagian masyarakat yang ku lihat sepanjang jalan banyak yang tidur di luar rumah, tak heran pemandangan ada aksi tidur di jalan raya demi menjaga keselamatan bersama. Sepintas “kota mati” menyeruak di bibir keluarga korban sepi, dan hari itu juga banyak masyarakat yang berbondong-bondong melarika diri ke Padang Panjang, Bukittinggi, Payakumbuh, dan ada juga sebagian masyarakat atau mahasiswa yang pulang kekampung halamannya di luar pulau Sumatera. Sepintas kabar dari berita yang di perjuangkan oleh XL depan kantor walikota sebagai alat informasi bagi masyarakat Padang tentang berapa dan daerah manasaja yang mengalami kerusakan terparah dari keluarga mana dan apa saja yang harus dilakukan oleh masyarakat untuk menutupi dan menjalani kelangsungan hidup mereka.

2 Oktober 2009, kecemasan dan haru terlihat diwajah kawan kerja, semua menanyakan keadaanku semuanya sangat perhatian, sampai-sampai sebagian relawan juga ditanyai keadaannya. Walaupun di komplek yang ku tempati melepaskan segala kepenatan tidak ada apa-apa, justru di kantorku sendiri mengalami kerusakan yang parah dan dinyatakan tidak layak huni oleh pemeriksa bangunan bank Permata dari Jakarta, kebetulan ruko yang di tempati itu bagian belakangnya sangat parah sekali. Semua dikantor sibuk mempersiapkan segala bala bantuan untuk mnolong masyarakat yang membutuhkan, sebagai lembaga sosial rumah zakat ikut andil membantu masyarakat, mulai dari mendirikan tiga posko, di kantor sebagai poosko utama, di posko Telkomsel, dan Indosat. Semuanya sigap gempita bekerjasama untuk memberikan yang terbaik untuk masyarakat dan diri sendiri. Sebagai marketing support officer hari kedua pasca gempa aku melanjutkan kerjaku untuk mencari berita perihal kejadian yang melanda Sumbar, terlalu banyak berita yang dapat di tulis, tapi ada satu berita yang sangat bagus ditulis tentang korban yang menggerjaji kakinya. Selanjutnya sesuai berita yang diihat oleh masyarakat luar Sumbar, respon masyarakat luar Sumbar sangatlah baik sekali, banyak kucuran dana yang disalurkan untuk membatu korban gempa, bukan itu juga dunia International ikut andil memberikan bantuan berupa dana, makanan dan yang lainnya. Malamnya bantuan dari pusat berdatangan, mulai kedatangan relawan dari Pekanbaru, Medan, Lampung, Jakarta, Palembang dan begitu silih berganti relawan yang tergabung dalam rumah zakat berdatangan, yang terakhir relawan Bandung. Kekuatan masyarakat Padang bersatu dengan relawan yang berdatangan baik dari lokal maupun International, berbaur memberikan secercah harapan dan senyum manis berharap kepenatan batin yang tertoreh oleh perhatian Tuhan menyatu kembali untuk pulang merangkul bersama-sama menciptakan kenangan manis, agar kejadian ini tidak terlalu larut dalam duka.

3 Oktober 2009, seluruh bantuan yang datang lewat rumah zakat tertuju untuk kawasan parah bencana, pagi itu semua relawan ikut briefing pagi di ambil alih oleh korlap dari Bandung, setelah itu semuanya telah selesai memberikan posisinya masing-masing maka kebutuhan untuk sewa menyewa kamera dan handicame menjurus kepada aku dan temanku yang sama-sama sebagai marketing support officer, kebetulan selama ini dia ku gantikan sementara dia cuti melahirkan. Waktu ide peminjaman kamera dan handicame, ada sedikit percekcokan manis dari rekan kerja, dengan lantang dia mengatakan kerjaanku tak pernah beres semuanya serba melompat-lompat, tapi bagai manapun saat aku harus menjelasakan kebenaran tentang pemakaian komputer secara bergiliran, ternyata dia merasa tersudutkan, spontan pembicaraan kami mengarah ketopik lain. Siapa yang benar dan siapa yang salah aku tidak tahu yang jelas apa yang kulakukan selama ini sesuai aturan dan ketentuan pusat, mau tidak mau ya di maukan saja. Bagi tim logistik dan survei hari itu telah dahulu menuju pusat terparah gempa, tertujulah kepada daerah Dusun Ambacang, Tandikek, Kampung Apar, Sungai Durian, Dusun Kapur, daerah Koto Tinggi, dan daerah lainnya.

4 Oktober 2009, walaupun telah di susun dalam rapat kemaren, ternyata paginya sebelum beranggkat menuju lokasi korlap menegaskan kembali dimana dan bagai mana cara penyaluran untuk korban gempa. Posko utama di daerah Pariaman di tunjuk kepada Kampung Apar disana didirikan Posko sandang pangan, dan tim medis di gilir secara online serta tim logistik telah dahulu memperluas jaringan untuk memberikan bantuan pertama pada korban gempa. Hari-hari sebagai relawan begitu berarti sekali, segalanya kewajibannya dikampung halaman di tinggalkan demi kemanusiaan.

5 Oktober 2009, jam 11.30 tim medis Rumah Zakat dengan armada klinik keliling gratis bekerjasama dengan Telkomsel berangkat menuju daerah dusun Ambacang Bungo Kasiak Padang Pariaman, sampai di lokasi jam 2 siang, saat itu kehadiran kami disambut baik oleh masyarakat setempat, dusun Ambacang ini terdiri dari 5 korong, dalam pengamatanku kebetulan sebagai media yang mewakili kantor melihat pada umumnya rumah semuanya kurang layak di huni, hasil survei dengan kepala korong, jumlah kepala keluarha disana sebanyak 563 dengan rincian; “Rumah yang ambruk 182 yang rata dengan tanah, 4 warung, 55 mushollah, 2 sekolah dan 1 kantor pemuda.” Sedangkan kerusakan sedang berjumlah; 390 rumah, 8 warung, 3 seekolah dan 1 mushollah. Rusak berat disana juga mengalami; 50 rumah, 1 sekolah, dan 1 kantor korong. Serta rusak ringan keseluruhannya berjumlah 223 khusus rumah, 1 orang meninggal dan 205 mengalami luka parah. Senja telah bertepuk tangan melihat hasil kerja kami, namun pasien dari Dusun ambacang masih banyak berdatangan, walaupun kesepakatan hanya sampai jam 4 sore, tapi sebagai relawan tidak ada kata waktu terbatas, harus melayani masyarakat dengan sebaik mungkin, pasien semuanya rata-rata anak-anak mrngalami infeksi saluran pernafasan, dan usia lanjut mengalami traumatik, asam urat dan ispa. Hidangan makanan yang di persiapkan oleh masyarakat di posko dapur umum menjamu kami sungguh di luar dugaan, masyarakat disana sangatlah baik, semuanya telah lepas dari kepenatan kami kembali pulang ke Padang, tiba di Padang jam 10 malam berharap semangat baru untuk besok masih tersimpan rapi, sebelum tim melepaskan kepenatan pada peraduan malam, PIC menyempatkan rapat untuk perjalanan esok hari, bukan daerah Dusun Ambacang lagi melainkan di Dusun Koto Baru Desa Sungai Lundang Painan.
6 Oktober 2009, Dusun Koto Baru Desa Sungai Lundang Painan, selama dalam perjalanan kami mempertaruhkan hidup kami pada Empunya jiwa, kami berharap apa yang kami lakukan ini bermanfaat bagi orang banyak dan diri sendiri, sampai pada tanggal 10 Oktober terakhir ku bergabung dengan tim medis online, dan aku di tugaskan untuk bergabung ke tim trauma healing.
Trauma healing for children 1, 11 Oktober, tim educare yang dikomando oleh Widariati sekolah juara dengan zisco Yoan dan relawan Bandung teh Mera dan Annisa, pergi ke Pariaman untuk men-survei lokasi yang akan di jadikan sebagai tempat dari kegiatan Trauma Healing. Dalam perjalanan menuju Tandikek Padang Pariaman tim survei mengalami kecelakaan bagian body belakang mobil Avanza rusak. Tak heran kecemasan yang hadir secara tiba-tiba menerangkan pada wajah-wajah yang pucat. Alhamdulillah tak satupun anggota survei mengalami cidera, dan truk yang menabrak mobil Avanza meminta maaf dan langsung mengurus administrasi sesama driver bagaimana sebaiknya persoalan tabrakan. (12/10) Tandikek Padang Pariamanlah tempat survei pertama yang di tuju alhasil tempat itu di acc langsung oleh bapak Bambang Sutrisno sebagai KOPTU (kopra satu) yang di tugaskan untuk mengamankan daerah 11 Korong di daerah Padang Pariaman, dan salah satunya daerah Tandikek. Hari pertama tim trauma healing tiba di Tandikek, sesuai dengan kerjasama antara rumah zakat dengan koptu setempat kegiatan trauma healing di lakukan di tenda berukuran sedang di depan rumah pak Bambang itu sendiri, dan di sebelahnya ada posko siaga sehat rumah zakat, PMI, Pertamina dan Telkomsel, dapur umum PKPU. Jarak tempuh 1 kilo bahkan lebih, orang tua mengantarkan anaknya untuk bergabung mengikuti kegiatan trauma healing. 100 orang anak dalam usia 3 bulan sampai 17 tahun hadir, saat adanya penjelasan untuk memisahkan dari segi umur dan manfaat, anak usia 3 bulan dan 17 di pisahkan dari anak-anak angkatan Sekolah Dasar. Terdapatlah 50 orang anak yang ikut andil mengikuti aturan yang di sampaikan oleh bu Eva. Trauma healing disini membagi job timnya untuk kapasitas SMP dan masyarakat agar mereka yang hadir tidak sia-sia datangnya, tentu dapat permainan tapi tidak sama dengan usia anak-anak, dan di tentukan sesuai dengan kebutuhan mereka. Kehadiran bu Eva sebagai psikolog yang telah berpengalaman menjadikan ilmunya begitu bermanfaat bagi masyarakat, anak-anak, bahkan relawan yang hadir, ada beberapa aturan dan program yang ditawarkan kepada kegiatan trauma healing ini, sejauh mana indentifikasi masalah yang nantinya ditemui di lapangan dengan melihat gangguan kognitif anak, tingkat emosi adanya keluhan pada fisik, prilaku yang menghambat perkembangan pada si anak. Lemah lembut yang di tawari bu Eva dan tim kepada semua anak-anak yang hadir mengidolakan keberadaan bu Eva, pak Hari dengan tujuan agar trauma yang anak-anak alami bisa teratasi dengan konsep Hablu Minallah dan Hablu Minannas, dan dapat membangkitkan kembali semangat yang tinggi. Trauma adalah suatu gejala jiwa yang dilihat oleh suatu permasalahan yang berasal dari luar dirinya. Metode menggambar bebas diwarnai dengan krayon tujuan anak-anak dapat meng-ekspresikan dirinya melewati gambar dan menggambar terstruktur bertujuan untuk mengetahui kondisi psikolog anak, di kumpulkan langsunga oleh bu Eva dan di bantu oleh tim, selesai adanya arahan dari bu Eva, anggota trauma hiling di gilirkan untuk memberikan ilmunya agar anak-anak bisa menikmati ilmu yang disampaikan dengan metode yang kocak, sarat dengan dunia pendidikan. Tak banyak anak-anak yang hadir mengalami trauma imbas dari gempa, tersebutlah nama Suci, Rafles, Suci, Armen, Izel. Setelah di identifikasi melewati orang tua mereka, terdapatlah penjelasan tenyang peran orang tua dalam memaknai gempa itu sendiri.

Trauma healing for children 2, (13/10) Kampung Apar Kurai Taji Pariaman selatan tempat hari kedua kegiatan trauma healing diadakan sesuai hasil rapat PIC, Widariati dengan tim trauma healing yang dikomandoi oleh bu Eva dan pak Hari selain Tandikek. Semakin banyak ilmu yang kita transfer kepada siapa saja semakin banyak pula ilmu baru yang dapat kita raup dari penyaluran ilmu tersebut. Begitu juga dengan kesempatan yang harus di cari, dalam artian siapa cepat dia dapat. Widariati di percaya sebagai educare mengolah ide yang dilontarkan oleh bu Eva untuk mencari tempat baru yang dirasa perlu ada perhatian khusus, adapun barang-barang penunjang kegiatan trauma healing menyangkut buku tuis, buku gambar, krayon kecil dan besar, pensil, ikrak, mukena, sajadah, mistar, penghapus, cat air, spidol warna, pak Hari dan bu Eva dan anggota lain juga ditunjuk jadi PIC sesuai dimana mereka di tugaskan. Contohnya saja pada saat bu Eva tidak lagi bergabung dengan pak Hari di daerah Tandikek, bu Eva dan Widariati mencari siasat tepat untuk mensurvei ulang agar dapat satu posko lagi, saat survei belum clear tim yang di bagi tiga kelompok mengarah ke Kampung Apar. Walaupun teramat awal dalam memahami makna trauma healing ini, tim yang berangotakan tiga orang yang masih semester lima jurusan biologi, pengakuan belum berpengalaman menjadikan mereka tidak kehabisan ide, saat mereka tiba dilokasi Apar, yang ada hanya anak-anak berusia dibawah 5 tahun, dan sebagian dari mereka masih sekolah, peratuaran pasca gempa mulai sekolah siswa sekolah dasar mulainya tanggal 12 Oktober 2009. Semua anak-anak telah dahulu mengenal salah satu anggota trauma healing dengan nama Ayu, satu persatu anak-anak mulai berkumpul sepulang sekolah saat mobil ambulance lewat di pemungkiman warga, hari pertama trauma healing diadakan di Kampung Apar, tim dari trauma healing belum memakai buku gambar sebagai informasi psikologis anak-anak yang ada disana, melainkan pengenalan dengan cara dialog, bermain sampai traveling ke Jembatan akar yang tidak jauh dariposko utama. Lebih kurang 25 orang anak usia SD yang ikut, sepulang dari traveling setiap sebagian anak-anak membawa pucuk kelapa untuk membuat sarang ketupat, setelah jam 5 sore semua anak-anak di arahkan untuk pulang karena mereka telah letih beraktifitas sekolah dan traveling, sebelum pulang anak-anak di suruh bergotong royong untuk membersihkan dan mengumpulkan sampah yang ada disekitar posko. Buku-buku yang direncanakan juga baru datang berhubung pembagian buku baru di putuskan hari itu juga.

Trauma healing for children 3, (14/10) siasat jitu yang membuat segala bentuk permainan untuk bisa mengatasi kejenuhan anak. Mengajarkan berhitung dengan memakai bahasa sunda, jawa minang dan lintas budaya lainnya.

Trauma healing for children 4, (15/10)adanya perlombaan, berbagi, makanan, sistim estavet, saling harga menghargai, pengelolaan kelas, dan kelompok acak.
Trauma healing 5, (16/10) gamenya, adanya lomba dari permainan yang telah di lakukan, lomba menyusun pazel, ular tangga, di perlombakan sesuai dengan perlombaan, dan bermain ular tangga. Bermain bilangan angka dengan kalimat Allahu Akbar dengan hitungan ke tiga berarti dia menang, dan menghempaskan badanya untuk bisa lebih mengekspresikan kondisi kerjasama dalam segala bentuk permainan.

Trauma healing 6, (17/10), Direncanakan tim trauma healing menghadirkan pendongeng dari Padang. Nana terbilang sebagai relawan termuda dalam aksi tanggab bencana, suasana yang haru berbaur dengan harapan anak-anak yang traumatik dengan impian yang menabjubkan dikemudian hari. Tim juga datang kerumah-rumah, selain memperkenalkan diri juga ikut menghibur hati masyarakat yang gundah dengan berbagi cerita dan harapan. (20/10) Trauma Healing yang akan dilakukan di seputar Kota Padang Insya Allah akan dilakukan hari ini bertempat di Gang Mushala Al-Faizin, yang beralamat di Jl.Parak Manggis RT 03 RW 05 kel. Parupuak Tabing Kec. Koto Tangah. (21/10) Trauma healing ke dua kota Padang dilakukan di daerah Siteba SD No 20, Banyak yang mengalami trauma terutama pada bunyi-bunyian yang tinggi tekanan yang membidik perkembangan kognitif, afektif dan keyakinan serta ketahanan tubuh anak itu sendiri.

Nah di tanggal 21 itulah aku di panggil oleh branch manager membicarakan sedikit persoalan keberangkatanku bisa dikatakan aku akan di mutasi ke Medan, setelah branch manager dari regional di Medan mengumumkan secara terang-terangan ke seluruh karyawan tentang keberangkatanku, walaupun manager dari Padang mengharapkan aku bisa merahasiakan sampai waktunya telah pas untuk di bicarakan. Saat aku kerja mau siap-siap untuk pergi trauma healing manager mengatakan bahwa aku tidaklah jadi di pindahkan ke Medan, dengan alasan tidak adanya dana dan aku harus membuat surat pengunduran diri, dan sewaktu-waktu aku di bolehkan lagi melamar kerja kesini. Aku hanya terdiam sejenak saat harapan semua relawan, kami sempat tangis-tangisan yang menjijikan, dan perpisahan kecil-kecilan sampai menimbulkan sedikit bumbu permusuhan, setelah semuanya tau, bagian officer mencarikan solusi agar aku tidak jadi mengundurkan diri bagaimanapun itu caranya, setelah di konfirmasi ke pusat dan keregional maka… kata maaf yang tertuang dari bibir pimpinan, sungguh mudah maaf bergentayangan di bibir kekuasaannya, tapi ada satu hal yang menjadi hal yang tidak masuk akal yaitu, manager Medan tidak menyebutkan tentang dana tapi temanku yang satunya lagi tidak dapat acc dari pusat untuk dipindahkan ke job yang lain. Timbul satu pertanyaan bagiku apakah sebenarnya terjadi? Mau tidak mau aku harus minta ketetapan hati pada Empunya doa agar aku bisa menentukan jalan mana yang harus aku pilih. Dua malam ku manfaatkan untuk istiqoroh, hassilnya aku harus juga membuat surat pengunduran diri, dan di situ bukanlah tempat yang tepatku untuk bertahan mencari nafkah, masih banyak pekerjaan yang lain.

(22/10), Seperti biasa hari-hari kerja ku jalani dengan baik, ku habiskan hariku untuk mengirim berita ke web internal dan media massa lokal tv dan radio semasa perjalananku ke luar daerah dalam penyaluran bantuan untuk korban gempa, masih ceria, tetap semangat dan selalu membuat kelucuan disudut keseriusan.

23 Oktober 2009 Sabtu, terakhir kerjaku secara bersama-sama, sebelum pulang aku sempatkan membuat surat ucapan terimakasih dan beribu maaf di web internal, dan sekaligus membuat surat pengunduran diri. Persisnya tanggal 24 Oktober 2009 aku terakhir kali kekantor, saat semua relawan yang tinggal beserta pimpinan pergi jalan-jalan ke Bukitinggi, ku tatap sekeliling tempat disudut kenangan, dan kubersihkan segala bentuk yang berhubungan denganku. Semuanya bersih rapi yang tinggal hanya kenangan yang berhubungan dengan kewajibanku selama bekerja disana.

Jangan lupa komentari dulu pengalaman kerjaku, mana tau bisa jadi berita hangat setelah ada pengeditan darimu tidak susah lagi kau mencari berita kesana-kemari walaupun beritamu juga lebih luar biasa dari kisahku ini.”

“Aku tidak bisa mengomentari perjalanan Rexa ini, Fatna.”
Terkesan seperti berita yang pantas secepat mungkin di publikasikan sekurang-kurangnya pada siaran curhat di radio, dan di televisi, aku hanya menemukan ada sedikit kekecewaan dari diri Rexa terhadap apa yang dilakukan dan tidak dihargai, tapi ya sudahlah aku hanya bisa berharap kita dapat sama-sama mengumpulkan semangat agar bisa menciptakan lapangan pekerjaan, setuju nggak…? Matanya menoleh keseluruh tatapan yang hampa disekeliling pembatas duduk.
Felly sampai kapan kita akan seperti ini..? zaman makin hari makin menipis di sela kesempatan, menjadi jurnalis bukanlah hal yang gampang membalikkan telapak tangan butuh banyak perjuangan, kamu wartawan, aku penulis lepas, Sofie kritikus dan Fatna menjadi kamus berjalan.
“Sabar kawan kita punya potensi masing-masing yang bisa di banggakan.”
“Betul tu Felly, tangkis Fatna sambil membuka catatan hariannya.

“Aku sangat setuju sekali, gimana kita membuat suatu gebrakan baru di ranah Minang ini, mumpung Padang sangat butuh perhatian khusus dari berbagai pihak termasuk dari kita.

“contohnya apa Fie, gimana caranya kita membuat proposal dan mengirimkan ke pemerintahan pusat untuk meneliti tentang keadaan alam kita saat ini, itukan sangat berpengaruh buat swadaya masyarakat kota, kebetulan bisa dikatakan sebagai aset negara maupun bangsa.

“Waw…, tumben tokcer idemu Sofie..”

“Fatna…, janganlah kayak gitu walaupun aku seperti ini ya aku kan juga penulis, cinta baca dan suka mengkritisi, ingat ya.., apakah perlu aku tunjukin piagam ku yang terpampang di pintu rumah..? he… he.. he.

Spontan riak ketawa menghunus sunyi..

“Aku yakin suatu saat masyarakat mengenal kita dengan informasi yang kita suguhkan dengan solusi yang luar biasa.” Gimana kawan..?

“Ya.. aku yakin jika semangatmu selalu membumbung tinggi keangkasa dan dibantu dengan usaha dan doa. Felly memberikan gambaran semangat yang nyata tentang arti persaudaraan.

“Aku banyak menggantungkan hidupku dijalanan, sepuluh tahun diperantauan tapi belum juga nilai juang itu berpihak pada diri ku, sekurang-kurangnya kantong kering bisa terisi setiap menit, jam dan gajian tiap bulan.”

Semua mata tertuju pada Rexa, mereka ikut merasakan apa yang dirasakan temannya tersebut, dan dia menjadikan waktu yang sepuluh tahun itu sebagai cambuk untuk tetap menjadi yang terbaik dan berharap ada hikmahnya dibalik perjalanan hidup yang dilalui, ada suka duka dan harapan yang tertunda. Utama sekali harus menjadikan hari esok lebih baik dari hari sekarang dan begitulah seterusnya.
“Kita berharap ini adalah motivasi yang besar untuk kita semua, bukan begitu Rexa, kata Felly. Aku yakin suatu saat pekerjaan kita ini akan dicari orang, bukan kita yang mencari pekerjaan, melainkan kepercaan masyarakat selayaknya kita telah mempertahankan keprofesionalan kita selama ini.”
“Kita harus berani bermimpi terkadang mimpi itu sering mentertawai kita, tapi bagaimanapun sebanyak apapun kita usaha pasti Tuhan akan membantu dan mengabulkan salah satu diantara doa kita” bukan begitu Felly ungkap Sofie
“Yalah yang jelas yang kita lakukan ini dilandasi dengan hati yang lapang dan ikhlas, mana tau suatu saat rezki membanjiri kita dipintu yang tidak pernah kita sangka-sangka selama ini.”
“Oh..ya..? berarti dimana pintu satu tertutup maka pintu lain masih terbuka lebar tanpa ada kunci sedikitpun.”
Empat sekawan mulai mengumpulkan kekuatannya untuk menjadikan hari-hari yang akan datang sebagai semangat baru dengan kreatifitas dan inovasi yang tinggi untuk merajut rezki di kerongkongan langit.
=======================================================================

Batanggang

AMPEK
KOPI, Sepintas kegundahan datang menyesak dada, migren Fatna kambuh secara tiba-tiba, penyakit yang membuat disekitar Fatna hanya bisa diam kecuali dokter yang bicara, Fatna suka hening saat dia sakit, tidak ada tanya maupun perhatian yang berlebihan tentang sakit yang ia derita. Sofie dengan bajunya yang galembong dengan jilbab ikat di leher memberikan isyarat agar keluar dari kamar Fatna.
“Aku ingin mengajakmu kerumaku di Pariaman,” katanya ketika telah sampai dipintu rumah Fatna.
Ternyata Fatna terdengar pembicaraan Sofie yang mengajak ikut kerumahnya setelah kepala Fatna benar-benar sembuh, dokter keluar berbarengan dengan Fatna sampai kepintu, dan Sofie minta maaf karena saat Fatna sakit, Sofie berani merencanakan kepulangannya, sehingga ia berkata, “Kau akan pulang dengan kami dan keluargaku, kami ingin juga melihat kondisi rumahmu. Kalian semua harus memulai perjuangan ini semua dari hal yang paling kecil yaitu menciptakan kebahagiaan untuk sahabatmu yang dilanda musibah.”
Ia merampas senyuman haru di wajah Sofie, dan bersorak kepiluan.
“Kapan kita kerumahmu Sofie?
“Saat sakitmu tidak membatasi kami untuk bertanya dan memperhatikanmu.”
“Oke deh kalau begitu, kasih aku waktu dua hari ini agar kepalaku benar-benar ringan, nanti aku kasih kabar pada kalian semua.”
Akhirnya Felly, Rexa pulang kerumahnya masing-masing dan berharap di hari selasa Fatna bisa ikut berhubung Felly masih libur kerja.
Tiba di rumah Rexa tidak langsung membuka pintunya melainkan mengambil ember dan menampung air agar bunga yang tidak disiram tadi pagi bisa disiram segar dipetang hari. Air telah melimpah keluar, Rexa termenung bingung sendirian tanpa mempedulikan apa yang dihadapannya. Kesendirian Rexa mengakibatkan ia harus bertanya-tanya dalam hati, apa yang telah ia lakukan selama ini dan prestasi apa yang telah ia torehkan untuk daerah yang ia cintai.
“Tuhan aku merasakan hidup yang ku jalani selama ini banyak sekali kesia-sian dan tidak satupun diantara kawanku yang mengetahui persis pergolakan batinku pada hidup yang ku jalani ini, bukannya aku tidak pandai bersyukur tapi aku tidak pandai lagi merayu hati dengan menonjolkan kepandaian yang kupunya memasukkan lamaran kerja sesuai dengan bidangku menulis dan seni, aku belumlah bisa juara dalam lomba nulis apapun saat ini, satu sisi kekuranganku akan pemahaman materi, ketidak seriusanku dalam menulis dan… ah masih banyak yang harus diperbaiki dalam sistim tulis menulisku.”
Banyak skripsi orang yang ku buat tak heran mereka banyak mendapatkan nilai sangat memuaskan, prakarya dan tessis juga ikut mendapatkan nilai terpuji, mungkin merekalah yang pandai menjawab dan bersilat dalam kata setiap penguji menanyakan hasil karya dihadapannya. Lagi-lagi bukanlah aku yang pandai menulis. Tak ada satupun orang yang mengetahui apa pekerjaanku selepas mengundurkan diri dan penyiar radio, bagi orang awam aku masih terbilang sebagai pengangguran tiga hari kerja dan tiga harinya lagi tidak keluar rumah.
“Tuhan…, kapan hidupku berubah.” Sepintas air wajahnya jatuh mengiringi derasnya air yang tumpah ruah.
Harapan penuh harapan tertuang dalam sanubari Rexa, ia menghendaki ditahun 2010 ini adalah tahun yang dapat mengantarkannya pada nilai hidup yang sebenarnya, tulisan yang diperlombakan bisa menang, novel yang ia buat bisa jadi best seller, dan skenario yang terangkai bisa difilmkan serta dapat menyambung kuliah yang lebih tinggi.
Rexa anak terasing dalam keluarga, ia memiliki prinsip yang tidak sejalur dengan keluarga, Rexa lebih memilih jalur bebas tapi terikat dibandingkan jalur ketat tapi tidak tau arah. Amarah dan kejutekan keluarga menjadikan Rexa terdampar tak bertuan, ia harus bisa menghidupi dirinya sendiri, menjadi kakak, adik, orang tua dan keluarga hanya untuk dirinya sendiri, tidak ada sapaan manis, tidak ada nasehat, tidak ada teguran dan tidak ada canda maupun tawa dalam dirinya. Kata “keluarga” dalam diri Rexa hanya sebagai klise ataupun simbol, nikmatnya menjalani kehidupan dengan keluarga tidak seutuhnya Rexa rasakan melainkan nikmatnya hidup dengan orang lain yang nyata-nyata tidak memiliki hubungan keluarga.
Suara azan magrib telah bersayub sayupan menandakan Rexa harus menyelesaikan kata dalam lamunanya, harus bangkit dan mulai mematikan kran dan menyiram rentetan bunga yang berdiri tegak di kelopak mata. Membenahi diri melarikan pada peraduan sujud mengharap ada secercah solusi dan gambaran hidup. Semut berkeliaran menguntai tali persahabatan dan mempertahankan prinsip pada kehidupannya berkumpul dan memecahkan solusi, lain halnya dengan kucing yang takut dengan tikus justru kucing saat lihat tikus lari pontang panting dibelakang kain sarung Rexa.
Rexa kembali membuka laptop melanjutkan tulisanya yang sempat terbangkalai selama empat hari, melanjutkan pertualangan dengan tulisan yang membuat hati menyadari siapa dia dan apa yang telah diperbuat untuknya dan imajinasinya.
Pesan singkat menganggu kekusukkan Rexa, ternyata ajakan dari Felly pergi ke Pariaman sebelum Fatna memutuskan sehatnya di hari selasa.
“Rexa.., kamu besok sibuk? Ikut samaku yuk melihat perkembangan Pariaman dengan Binuang.”
“Oke deh.., tapi kamu malam ini kerumahku kan? Jarak stasiun dengan rumahmukan jauh nanti kita tidak dapat tiket, kalau dari rumahku lumayan dekat.”
“Yap.. nanti jam sembilan aku sampai dirumahmu, tunggu ya.”
“Ok!”
Rexa dengan santai melajutkan tulisannya itu, tanpa mempedulikan pangsit, sate, dan mpek-mpek lewat depan rumah, Rexa membiasakan membeli semua yang lewat dengan alasan biar rezkinya kebagi sama orang lain. Maraup rezki dengan imajinasi membuat Rexa bersemangat terus menulis dan menulis, dengan hidup yang kian terjepit, kemiskinan dimana-mana, kemelaratan jadi pahlawan dan kiasan hidup kaya tambah kaya dan miskin tambah menjadi-jadi. Satu hal yang membuat hatinya tertambat pada jiwa sosial yaitu rezkinya tidak akan pernah diambil orang, umurnya tidak akan dipotong orang, begitulah seterusnya sampai ajal benar-benar merangkulnya pada pertanyaan Tuhan atas apa yang telah diperbuat selama hidupnya.
“Rexa..” aku nih..
“Ya.., ya.”
“Ni..nasi goreng, sate, mpek-mpek dan skotang, pegang dulu lah aku buka sepatu.”
“Waw..kereeen.., pantasan aku cuek dengan makanan yang lewat barusan, eh…ternyata kamu membawa rezeki, he..he.., aku jadi terharu.”
“Kesini naik apa Felly?”
“Ya naik hengkol lah masak naik eagle, he..he, masak kamu tidak dengar suara hondaku? Serius amat sih..?” Kan yayangku yang ngantarin kesini, dan beliau langsung pergi ada dinas malam ini.
“Benar coy he… he aku tidak dengar.”
“Barusan aku keliling Kalawi, Kalumbuk, dan Taruko, rumah mereka disana banyak yang tidak beres, menyedihkan sekali melihat keadaan mereka, kondisinya yang tidak normal lagi dikatakan sebagai tempat berteduh. Syukurlah rumahmu tidak rusak sedikitpun.
“Alhamdulillah, tidak apa-apa kecuali komputer adikku yang berguling kesana kemari.” Masih ada bekas pecah depan monitornya.
“O.. ya?”
“Rexa.., gimana malam ini kita susun program untuk besok.”
“Maksudnya?"
“Program yang bisa dijadikan sebagai bahan penelitian manatahu nanti kita ajukan kepada pemerintah pusat.”
“Boleh juga tu.”
“Aku dah bawa kamera besar, buku catatan, tinggal kamu yang buat draf pertanyaan untuk masyarakat setempat.”
“Tapi perjalanan kita jauh Felly, masak menghandalkan angkot kesana kemari..?"
“Iya..ya, tapi tidak masalah Rexa anggap kita pergi hunting film kesana kemari, ya segala resiko tentu terlebih dahulu kita kaji.”
“Perlu aku masak malam ini, untuk bekal diesok hari.?"
“Hua…ha..ha janganlah kita beli aja disanaa.”
“Bukan begitu Fell tujuanku bawa nasi agar uangnya bisa hemat dan bisa dipergunakan ke yang lain, kita makan bisa sepuasnya, tidak harus mengeluarkan uang, gimana..? kamu setuju nggak?"
“Mmm, bolehlah tapi sedikit kelihatan konyol saja, seperti pergi kemping dan…? Ya terserah kamulah.”
“Kalau aku sih sangat butuh membawa bekal karena aku tidak ingin orang repot-repot dengan kehadiran kita disana, kelihatannya kita sebagai kru tv yang satu punya identitas dan satunya lagi ilegal, di tambah lagi kita bawa kamera yang besarnya melebihi kepalamu.
“Oke bos..”
Felly merasa kalah bicara sama Rexa, dan melanjutkan program yang belum siap disusun. Jarum jam telah bertambah sepuluh lewat lima belas menit. Siaran tv tidak menyedot perhatian, mereka hanya fokus pada topik untuk esok hari, selisih pendapat itu hal yang biasa bagi mereka, tak terkecuali lempar melempar bantal jika ada kalimat yang tidak tepat sasaran. Keinginan untuk membuat skenario film lewat pertualangan esok hari menjurus pada proposal roadshow kira-kira seperti ini:
Proposal Roadshow Film Pendek Independent
LINTAS ALAM
Seri Pertama- Akhir
WISATA BENCANA
OPENING
Karya yang didukung oleh kemajuan alat informasi dan teknologi bisa dijangkau dari aspek kehidupan mana saja, dan tidak seluruhnya kaya film pendek akan tampil lebih baik didukung oleh peralatan yang bagus tanpa didukung dengan kreativitas yang menarik. Kepastian dalam mengeksploitasikan hasil sebuah film dilandaskan dengan kinerja yang ekstra. Terkesan monoton namun asik juga dinikmati, bahkan banyak menciptakan ide penuh hikmah yang tinggi.
Terlalu banyak yang harus di ubah dalam pencerahan pembuatan film, melalui konsep yang jelas dan didukung dengan peralatan yang memadai dan ditambah lagi dengan keseriusan terjun langsung kelapangan, bukan berarti film zaman dahulu tidaklah bagus, tapi hanya menambah untuk dipoles sedikit lagi agar kesan dan pesan yang disampaikan benar-benar tercipta di hati masyarakat. Berlandaskan daerah nilai natural akan tercipta dengan bukti adanya kejadian alam disekitar lingkungan, bukan itu saja semakin tingginya nilai suatu ilmu maka keingin tahuan masyarakat mengenai perfilman akan terbukti dengan diangkatnya lomba film dokumenter.
Satu sisi kecanggihan teknologi dapat menerka-nerka keseriusan para sineas pemula untuk merambah menggeluti dunia perfilman. Sampai-sampai otonomi daerah juga ditentukan oleh kreatifitas anak nagari untuk menciptakan perubahan baru dan memberikan kontribusi positif yang luar biasa pada pembangunan daerah kususnya daerah-daerah yang telah disapu bencana. Dibentuknya Ranah Perantau maka setiap yang berdarah Minang akan bisa merasakan kondisi kampungnya saat ini setelah pasca bencana di Sumatera Barat.
RaNaH PeRaNtAu, Ranah Perantau terbentuk sehari pasca gempa Sumatera Barat 1 Oktober 2009 dan merupakan ide spontanitas relawan “Sumbar Bagoncang”. Maksud dan tujuan didirikannya Ranah Perantau ini sebagai sarana memperjuangkan nilai budaya yang telah lama tertidur lelap bagi yang tidak menghargai dan sungguh nilai yang harus dipertahankan oleh regenerasi yang berada di perantauan maupun didaerah ranah Minang sendiri, menghidupkan kreatifitas anak nagari dengan cara mencintai budaya sendiri. Juga merupakan wadah pemberdayaan dan eksplorasi seni budaya, mendukung sepenuhnya kegiatan kesenian, serta menciptakan apresian yang berwacana, kritis yang sopan terhindar dari kebrutalan sekaligus menghormati karya orang lain. Ranah Perantau akan berusaha menawarkan sejumlah penawaran alternatif bagi apresian yang mengapresiasi karya-karya yang dihasilkannya, boleh lewat telpon genggam maupun lewat kamera digital.
WiSaTa BeNcAnA, Ide kreatif yang lahir secara spontanitas asal Minang langsung menyiapkan program sebagai perkenalan diri. Program yang mengusung tentang bencana alam di ranah Minang mencerminkan suatu wadah bahwa apa yang di kehendak-Nya tidak luput dari kebaikan-Nya terhadap apa yang telah diciptakan. Tema tersebut diambil sebagai ingatan sebagian dari alam menjalankan apa yang DIA anjurkan dan menjauhkan segala apa yang DIA larang. Serta meletakkan nilai yang paling tinggi untuk selalu bersyukur atas apa yang telah didapat, dan berusaha untuk merasa puas walaupun kodrad sebagai manusia tidakklah bisa puas terhadap apa yang ia dapati. Misalkan : berbagai bentuk ajal menyapa, ada yang meninggal dalam keadaan baik: sujud, mengaji, berzikir dll, dan meninggal dalam keadaan buruk: sedang mabuk, sedang berzina, tabrakan, pembunuhan, bunuh diri, dll. Berbagai fenomena menyenangkan dan menyedihkan inilah yang kemudian diangkat sebagai bahan refleksi lewat film LINTAS ALAM.
Tulisan keseluruhan yang dirubah menjadi skenario secara keseluruhan didapat dari cerita dari mulut kemulut yang dikumpulkan menjadi kisah yang unik untuk diangkat jadi cerita yang layak ditonton.
SPESIFIKASI PRODUKSI
Ranah Perantau
Seri Pertama- Akhir
Wisata galodo di Tanah Datar, wisata gempa di Pariaman, wisata gempa di Padang
Produksi
RANAH PERANTAU “Relawan”
Durasi
30 MENIT
Format Screening/Pemutaran
DVD/MINIDV
Screening Premier
Nova’s House 2012
Second Screening dan Diskusi
WORKSHOP Ranah Perantau
Roadshow
PARA PERANTAU BERDARAH MINANG, terbuka untuk umum
(Daftar roadshow screening dimuat tersendiri)
Director
VELLY MINANG TV’S
Scenario
DEYYEN
VELLY’S
Produser
UPIAX
Roadshow Produser
ANTAHLAH YUANG
Support
ALAM TAKAMBANG
Segmentasi
BUDAYAWAN
MASYARAKAT UMUM
Metode Screening
ROADSHOW SECARA SWADAYA BEKERJASAMA DENGAN BERBAGAI KELOMPOK TERKAIT (simpatisan perantau)
Metode Publikasi
KORAN SAJO
Bentuk kerjasama
1. PIHAK PENYELENGGARA SCREENING MENYEDIAKAN :
A. PANITIA PENYELENGGARA :
* MC/petatah petitih
* BUKU TAMU
* DAN BIDANG LAIN SESUAI KEBUTUHAN PENYELENGGARAAN
B. RUANGAN TERBUKA
C. FASILITAS PUTA MAMUTA
* SCREEN
* PROYEKTOR/PLAYBACK PEMUTAR
* SOUND HOME TEATER
D. MEDIA PUBLIKASI
2. RANAH PERANTAU MENYEDIAKAN :
A. MATERI FILM DALAM MINIDV
B. RUANG PROMO
C. ADANYA NARA SUMBER PADA TIAP DISKUSI
D. MENYELENGGARAKAN PENDOKUMENTASIAN KEGIATAN
SCREENING DAN DISKUSI ( Video dan Photo)
3. PROPOSAL KERJASAMA DENGAN PIHAK SPONSOR kalau ada
Contact Person :
Roadshow Produser RANAH PERANTAU
Ketua Ranah Perantau COPEK BONA S.S
Email : ranahrelawan_perantau@yahoo.comThis e-mail address is being protected from spambots, you need JavaScript enabled to view it
“Waw keyyen…cuy.., aku dah siap mudahan maknyos, nih Felly."
“Haaa, maknyos palalu, yang aku minta program Rexa… bukannya proposal, ya ampunnn, aneh..!”
“Loh kok aneh Felly, kan bagus ini juga bisa jadi ajang perkenalan diri dan mencari duit untuk amal.”
“Iya tapi waktu kita tinggal dikit, lima belas menit lagi orang azan subuh.”
“Aku ingin lihat, apa yang kamu bikin Felly, mana tau kamu tidak bikin melainkan tidur.”
“U…enak aja ne program yang aku bikin dan rute yang akan kita tempuh nantinya, ah aku tidur dululah, kalau dapat kamu tidur juga sebelum subuh nanti habis solat subuh kita siap-siap.”
“Lho kok tidurnya lima belas menit Felly?”
“Ya iyalah kan kamu yang awalnya bikin kesepakatan aku arahnya nurutin aja.”
“Tapi proposal yang aku buat barusan bisa ngga ya di kombinasikan dengan hanting kita nanti?”
“Itu mah mudah Rexa, ayo tidur..”
“Ngga ah aku mendingan mandi, habistu masak.”
“Mantaplah kalau begitu, oh ya tolong bangunin aku untuk sholat nanti ya.”
“Rebeslah."
=========================================================

Batanggang

LIMO
KOPI, “Bisakah aku menikahi otakmu Rexa, pikiranmu sungguh keterlaluan mengenai perombakan nagari yang telah hancur, betul sih ide itu mahal tapi aku tidak bisa menjilati imajinasiku sampai sejauh itu: adanya rehabilitas dari petinggi-petinggi rakyat bekerjasama dengan seluruh masyarakat tanpa terkecuali untuk membangun kembali semangat hidup untuk cinta yang mendalam, dengan cara itulah segala kesedihan menjadi suatu kenikmatan yang besar demi membangun nagari yang telah hancur. Selain mendapatkan bantuan dari seluruh yang simpati sampai aksi galang emas untuk gonjong."
“Mumpung sebagian gonjong telah rapuh, bagai mana caranya wisata bencana di dedikasikan untuk kembali kenagari agar semua pekerjaan masyarakat tidak terlalu sibuk dengan urusan duniawi saja melainkan dilandaskan dengan apa yang telah ada dalam keyakinannya.”
Rexa dan Felly berjalan menelusuri lorong-lorong embun dengan Sibinuang, kereta api jurusan Padang-Pariaman, lima ribu rupiah berdua hanya ongkos menuju kota gempa Pariaman, sewaktu masih menantikan kehadiran kereta api dari tempat tidurnya, Rexa dan Felly kembali membahas apa saja, dan bentuk apa saja pula yang akan di jadikan point utama mendapatkan sumber yang pasti. Secara hati-hati mengulangi segala bentuk rencana agar hari-hari yang dijalani begitu berarti dan bermanfaat.
“Aha.., Felly tu kereta dah datang, naik yuk.”
“Yap, tapi aku ntar nyambung tidur ya, nanti kan kinerjaku bisa semangat, lagian aku sedikit pusing, takut sakit kepalaku kumat lagi.”
“Ya, ya tapi setiap ku lihat, ku jadikan sebuah konsep jangan salahkan aku ya, karena banyak yang aku lihat banyak pula yang akan menjadi pelangsung imajinasiku yang mendalam, cea..he.he.”
“Oke deh tapi jangan kelewatan ya, maklum aku kurang bisa membaca semua logat sastramu yang kental membuat kepalaku makin puyeng.”
“Aman.. dijamin menyesakkan dadamu, he.”
Dua sahabat yang berlainan arah ini ternyata bisa juga disatukan dalam suatu visi kedamaian dan misi untuk membangkit batang tarandam. Keyakinan yang kuat dan optimis terhadap perubahan akan terwujud berkat kerja keras dan doa. Ada- ada saja yang menjadi bahan tertawa sesampainya di lokasi, dua sahabat memulai aktraksinya selama di atas kereta api, walaupun telah ditempel disetiap dinding sepanjang kereta api bahwasanya ada larangan tidak boleh berdagang, tidak boleh mengemis bahkan tidak boleh mengamen. Felly tidak jadi tidur nyenyak karena ulahnya Rexa yang iseng ikut jadi gitaris diantara pengamen yang singgah di tempat duduk mereka. Rasa percaya diri yang tinggi, meminjam gitar bermerek kapuk pada salah satu pengamen yang berjumlah tiga orang. Uniknya diantara mereka ada yang sumbing namun suaranya indah sekali. Mumpung mereka belum mendapatkan uang sesenpun, tersentuhlah hati Rexa membantu berkeliling dari ujung-keujung melagukan beberapa lagu agar dapat uang. Pertualangan yang indah sekali, sesekali masih ada juga pujian sinis dari beberapa penumpang, pujian sinis dari bibir berbaju pegawai. Walaupun demikian aksi Rexa tidak berhenti begitu saja, lanjut sampai benar-benar bisa mengumpulkan uang lima puluh ribu rupiah. Malu dan enggan untuk memberi komentar pada Rexa saat Felly benar-benar melukiskan merah wajahnya pada tinta tanda tanya. Pengalaman yang membukakan mata inspirasi, tidak cukup itu saja persoalan baru menjurus pada episode klasik, memeras waktu seharian menjadi intel dan wartawan sekaligus men-sutradarai perjalanan menuju lorong-lorong siang yang memanas. Mencantumkan identitas laskar gempa, mencari jejak-jejak hantaman gempa yang menyeruak kemanca negara. Bukan menafikan bahwa bencana Sumbar yang dasyat tapi ada yang lebih maha dasyat setelah itu, Haiti dan bingkai-bingkai bencana alam yang menari di negara sendiri.
Betapa perkasanya kamu, Rexa. Wajahmu yang legam adalah bukti keseriusanmu bersatu padu dengan fitrahnya alam yang menjilati kulit. Barangkali aku adalah sahabat yang culun membiarkan anak angkatmu mengambil alih rasa keseriusanmu dalam menangani kasus hidupmu yang rentan dalam perasaan. Sangat disesali bahwa kamu terlalu mencurahkan perhatian totalmu pada orang yang tidak terlahir dalam rahimmu, aku malu padamu karena sangkar emas batinmu terkunci mati untuk dia yang telah lama meninggalkan cinta tulusnya untuk mahligai rumah tangga. Rexa apa yang kamu simpan dari tatapan kosongmu itu, kendati selama ini kita selalu terbuka mengenai kerja dan cita-cita tapi apakah boleh aku lebih mengetahui ruasan rahasia yang selama ini kamu lipat dalam hatimu yang paling jurang. Oh Tuhan bagaimana sebaiknya kami menerawang keadaan ini menjadi kenyataan yang bisa di ekspor ke manca negara. Kita jarang meluangkan waktu untuk berkumpul bersama sebelumnya, sekurang-kurangnya makan ikan panggang di lesehan Lubuak Idai.
“Maafkan aku Felly itu salahku.”
“Kita tidak pernah salah Rexa kecuali waktulah yang belum bisa kita taklukkan, waktuku habis bermain dalam kata berlari dalam realita dan berfakta dalam hidup: rumah, musyafir jalan raya, kantor dan rumah lagi.
Rexa menghempaskan lengan tangannya yang besar pada sandaran kepalanya, menegadah kelangit dengan mata yang sayu kearah bayangan sanset yang berdiri tegak di tubuh awan yang berarak tinggi, sampai kapan kita akan mengupas fenomena alam yang kian menjurus pada akhir zaman nan memilu.
“Kamu sehatkan Rexa..?”
“Kurang sehat, Felly, tapi aku sedikit bertekuk lutut pada impian untuk lebih serius menjalani sisa hidupku ini..”
“Gini aja kita komitmen harus sehat sampai kapanpun karena kekayaan yang terbesar bukanlah uang melainkan kesehatan yang sentiasa membulatkan impian untuk lebih semangat dan prestasi, setuju..?”
Rexa terdiam, gadis yang berumur 28 tahun membaur pada masyarakat, sesekali aroma tanjung menusuk kepusat syaraf.
“Aku memang sakit Felly sampai apa yang akan kita hunting ini belum juga selesai: meriang, dingin, jantungku debar, kepala ku pusing, mataku tidak bisa dipejamkan sampai masa itu telah datang, bukan ajal tapi rampungnya sebuah konsep perjalan seharian ini.
“Kita punya Tuhan untuk bisa membantu menyelesaikan persoalan ini, yang jelas kita harus berusaha, kamu harus juga sehat kuat.”
“Yang kita lakukan ini bukanlah gampang Felly, butuh kekuatan untuk menciptakan konsep dan aplikasi di tengah masyarakat.
“Haruskah konsep ini kita tawarkan pada eagle award, atau muri sekalian..?”
“Tidak segitunya kali Felly, sudahlah lupakan saja keinginanmu yang melambung tinggi ketahap yang.., nobel kali.”
Felly memahami maksud dan harapan singkat Rexa, meninggalkan inti pembicaraan dan beralih pada pembicaraan lain. Terkadang konsep tidak sesuai dengan prakteknya, suatu hari kamu Rexa akan disibukkan dengan orang lain harus menulis biografi ini dan itu, membuat rankaian novel dan membuat buku-buku yang dirasa berguna untuk generasimu kelak, mana tau kamu bisa buat biografimu sendiri.
“Aku pernah mengatakan pada teman kerjaku, bahwa kamu punya keinginan untuk bisa menjadi seorang sutradara, mana tau cita-citamu itu bisa menjurus dan berjalan mulus, tapi temanku itu penasaran sekali denganmu Rexa, kapan kamu ada waktu main kekantorku.”
“Ah segitunya mempromosikan aku, Felly, selain menulis aku ingin selalu eksis jadi pembawa acara petatah petitih, andaikan tulisan ini bisa dikolaborasi dengan petatah petitih, icon Minangkabau tidak akan terkikis habis, orang Minang tidak akan bisa jauh dari bahasa daerah yang kental dari berbagai daerah di Sumatera Barat, ciri khas pakaian Minang, makanan, mulai dari hal yang paling kecil sampai ke hal yang paling besar…”
Felly menghayal sepanjang jalan pembatas sepotong awan, berusaha membingkai susunan kata sahabatnya, bagai manapun dan apapun yang diinginkan sahabatnya itu, dia mendukung dan selalu memberikan semangat yang tinggi untuk kelangsungan masa depannya.
“Wajib..! Rexa kamu harus sukses. Aku ingin sekali membaca semua tulisanmu yang kamu anggap tidak bagus, oh ya kapan kamu ada acara petatah-petitih lagi? Aku ikut ya, berhak atau tidaknya kamu eksis didua keinginanmu itu, maklum berusaha untuk menilaimu.”
“Benar Felly, tapi belum tahu kapan pastinya orang bisa menghubungiku membawakan acara mereka dengan petata-petitih, kecuali dibulan Mei sudah ada yang mencaterku dari pihak mempelai wanita di Lubuak Basuang.”
“Aku ikut ya, kamu jangan khawatir aku akan memberimu pont, yang jelas aku akan jujur menilaimu, eit.., tapi kamu harus fokus dulu dengan amanah hari ini, aku yakin kamu akan bahagia, melebihi kebahagiaanku pada perjuanganmu untuk selalu mencoba-dan mencoba.”
“Aku senang dengan semangatmu Felly."
==================================

Batanggang

ANAM
KOPI, Keseriusan berubah menjadi kegamangan, terlintas bayangan yang menghantui kewajibannya untuk berumah tangga dan dapat kerja yang menjamin dimasa tuanya nanti, dalam butir-butir peluh yang jatuh di pundak keluguan kita, apakah masih ada asa yang tersimpan dihati untuk menjadikan bintang yang berkedap kedip sebagai penunjuk arah langit yang meraba-raba lelap.

“Suatu saat aku akan mengundangmu dalam pesta keluargaku.”
Rexa hampir saja tenggelam dalam semangat untuk menggenggam dunia, menakhlukkan kekejaman dunia, membelai langit-langit duka, suka dan kehampaan terhadap kenikmatan sesaat.
“Penulis sebaiknya peka terhadap kejadian yang ada disekitarnya, nah itu bisa kamu jadikan sumber tepat untuk membidik pasar, mumpung ide ini masih hangat-hangatnya lebih baik dituang langsung dalam secarik kertas, takut nanti hilang kalau masih dalam memori.
“Iya Felly, tapi akukan masih terbilang sebagai penulis pemula.”
“Tapi kamu tetap menuliskan? sekurang-kurangnya tulisan kecil berupa diary, cerpen, atau novel.”
“Jujur bila dikata, apakah pantas curahan hatiku itu dikatakan sebuah tulisan, bernilaikah tulisanku itu..? terlalu banyak kekurangan, ejaan yang harus disempurnakan, pemakaian diksi yang tepat, dan.. yang jelas aku harus banyak belajar.”
“Apa yang menjadikanmu beralih profesi, jelimet dan pahlawan tanpa tanda jasa seharusnya telah membawamu menjadi guru tetap pegawai negeri, kerja yang punya masa depan gemilang, dikenang dan dirindukan setiap merasakan ilmu yang kamu sampaikan, sekurang-kurangnya imbas dari segala keberhasilan siswamu yang akan datang.
“Ku ingin mengganti profesi guruku menjadi dosen suatu masa, yang aktif menulis dan berkreasi yang jelas semua kesempatan dicoba.”
“Aku melihat kamu telah menjadi penulis, tak heran semua yang kau tempuh membawa perubahan yang mengakibatkan lidahmu berlumuran kata-kata sastra, apa yang yang kau inginkan belum tercapai masih berada dalam saku otakmu?”
“He..he dalam waktu dekat aku ingin membuka pustaka di garasi mobil orang tua angkatku, tapi aku sedikit butuh dana untuk memperbaiki kerusakan kecil yang disebabkan oleh gempa, dan penambahan menutup semua lubang-lubang air, batasan angin dan lampu, pokoknya masih banyak diperbaiki. Manatau nanti aku bisa membuka kesempatan masyarakat sekitar tentang pentingnya membaca, dan menarik simpati anak-anak usia sekolah dasar mampir tiap sepulang sekolah, sore atau hanya dihari libur saja, syukurlah aku sudah dapat izin dari empunya rumah, tinggal mencari strategi untuk sumbangan buku, dana atau ide.”
“Ne ambil buku panduan menjadi penulis profesional, semoga masa depanmu menjadi nyata, nobel dalam genggaman dan mengharumkan nama bangsa, he..he paling penting nama tempatmu lahir.”
Rexa membuka lembaran-lembaran pada buku berwarna coklat muda, dengan penuh harapan, disaat ia membuka dan membaca daftar isi karangan tahun 2006 menghantam membacanya, menciptakan keinginan yang belum terjamah oleh idenya manusia yang ia lihat sejauh pantauan mata memandang.
Memandang sekelompok manusia menulis yang tergabung dalam forum lingkar pena mencerminkan bahwa ia harus terus mencari yang baru didunia tulis menulis, tukar fikiran dan mengikuti pelatihan serta seminar.
“Ini benar-benar tulisan yang mengagumkan, kamu buat dengan lantang, mencerminkan keseriusanmu pada pencerahan langit dan bumi. Aku terus memberimu semangat kawan, karena tidak ada lagi waktu senggang yang bisa ku tuai untuk memberimu perhatian khusus, aku kerja, tanpa singgah dan selalu lembur itupun sesuai dengan liputan yang harus ku kemas sedemikian simpel dan mendabling suara di setiap gambar yang ku jepret.”
“Belumlah sedemikian rupa kawan, karena wanita di daerah kita banyak menuai kontrofersi dengan pakaian, pergaulan dan apakah aku mampu untuk menorehkan fenomenal wanita Minang dengan se abrek kebiasaan yang tidak biasa dimata orang, pakaian, pergaualan dan sekelumit yang ku biasakan, sekurang-kurangnya pakaianlah.”
“Siapa yang kamu maksudkan tadi Rexa? Aku..?
“Bukan Felly, aku meragukan generasi yang kita tinggalkan esok.”
“Ah.., kamu yang jelas hari ini di lakukan dulu, dan semua kecemasanmu itu tergantung pada apa yang telah kamu perbuat, dan kamu tinggalkan. Menurutku teruslah menulis, apa saja yang kamu anggap menarik. Tapi aku harap ini bukanlah tujuan akhirmu untuk menakhlukan dunia, masih panjang jalanmu untuk menggapai pengakuan dunia.”
“Sulit bagiku sebenarnya mengaggumi pengakuan tulusmu Felly, tapi di setiap kata itu aku mendapatkan ketulusan hatimu untukku agar selalu bangkit dan bangkit.”
Felly menggapai jaket kuningnya yang tebal, berusaha mengintip sisa-sisa semangat yang terekam sebelum liburan di hari kedua. Makin tua makin berisi hendaknya kita.
“Aku ingin melihatmu bersanding Felly, bersanding menggambarkan ikatan yang seimbang antara kamu dengan keagungan kesetian lelaki.”
Tatapan haru terpancar dari wajah Felly, tatapan sayang yang akan meninggalkan sahabatnya yang cengeng pada nasib, dan semangat pada impian. Perkataan yang tidak bisa direkayasa, perkataan yang menghantam Felly untuk menyatukan lagi kegundahan sesaat, namun pasti dalam kenyataan.
Pertengahan Januari 2010, Rexa tertarik menawarkan jasa kepada sahabatnya yang tak lain seorang dosen bahasa Inggris di UNP dia terkenal semasa kuliahnya sebagai mahasiswi teladan nasional di tahun 2004 membuat biografi dirinya, sesuai dengan hitungan kandungannya delapan bulan memasuki sembilan bulan, sebagian besar arsip penting, dokumentasi dirinya telah terkumpul rapi, bahkan Rexa memberanikan diri untuk memulai menulis sesuai dengan kemampuanya dalam merangkai dan mengolah sebuah kalimat. Dalam bulan Februari enam puluh persen tulisan itu terselesaikan, banyak pelajaran berharga yang dapat di petiknya dari semua arsip sahabatnya itu, tak heran Rexa kembali melanjutkan tulisannya sampai tahap hanting kebeberapa mahasiswanya, sahabatnya, dan orang yang mengenali dirinya, selama proses wawancara singkat dengan masyarakat kampus yang mengenalinya Rexa terserang penyakit aneh yang membuat dirinya makin hari makin kurus, wajah pucat dan tidak pernah tidur walaupun keinginan tidurnya sangat besar, kata dokter dia terserang penyakit insomia, anemia dan oksigen kepembuluh otak sangat sedikit bukan berarti tersumbat tapi sangat minim sekali.
Di ruangan fapiliun yang dulunya di pergunakan sebagai kantor penjualan karcis pesawat terbang oleh orang tua angkatku, yang kini telah beralih fungsi menjadi kamar tidurku yang di lengkapi dengan meja belajar, lemari baju, tempat tidur, ruangan yang dirasa cocok untuk mencari inspirasi kecil mungil dan nyaman.
Kebingungan yang memuncak membuatnya semakin tak betah dengan kondisinya saat ini, bagaimanapun dalam ketenangan jiwanya tersimpan suatu cita-cita yang menekuk lutut-kan dunia fana, sungguhpun hal yang terparah dalam hidupnya adalah kegemaran yang membuat mata di sekelilingnya marah, subuh, siang maupun malam es adalah sahabat karibnya, tiada es tiada pernah minum, lingkaran matanya yang mengitam ruas bibir ke abu-abuan tidak membatasinya agar tetap melanjutkan tulisan untuk sahabatnya itu walaupun masih dalam flesdis otaknya.
Rexa terbilang orang yang sangat biasa saja, tiada yang menonjol dalam dirinya, walaupun memiliki prestasi tapi belumlah bisa mewakili dirinya untuk di hargai dan di anggap “ada” bagi sekelilingnya.
Tapi ada hal yang menarik dalam keseharian Rexa, dia mau berjalan delapan kilo demi menjawab kebutuhan batinnya yang tidak ada kemungkinanya dalam kamus sahabatnya yang lain, di dalam tujuh hari Rexa mencoba membagi waktunya yang sibuk untuk memprogram senyum masyarakat yang butuh atau tidak bantuannya, sore hari senin Rexa berjalan menelusuri pasar raya Padang memantau perkembangan anak jalanan, anak yang mengamen di lapangan Imam Bonjol, taman Melati, di tepi laut, tidak ada data yang akurat dari hari kehari yang Rexa catat dalam diarynya mengenai berapa jumlah anak jalanan di kota Padang, tak heran kawan-kawan yang melihat aksinya mendapat perlawanan yang tak masuk dalam logika, ungkapan yang sangat berkesan sulit ia lupakan mengenai: mustahil uang akan turun begitu saja kalau kerjamu seperti ini, mendingan kamu jadi pembatu sekalian, itupun ada gaji perbulan atau apakah uang itu akan berjalan sendiri melalui tulisan ecek-ecekmu yang menciptakan hidup gali lobang tutup lobang, buanglah semua itu, atau cari kerja yang tepat. Tak termakan olehku gayamu yang santainya menjalani kehidupan yang sulit, atau masihkah kamu mengharapkan impian untuk jadi ”penulis” terkenal katamu dulu..?
Sahabat yang baik dia mampu mengkritisi kekurangan kawannya dengan solusi yang membangun, ada di saat susah maupun senang. “Sahabat” zaman sekarang sulit untuk dicari, ntah kemana lagi akan di cari sesuai dengan perhitungan nilai tertinggi pribadi seorang sahabat, Rexa punya jitu ampuh untuk mencari sahabat yang dihati, melalui cara menghargai apapun yang menjadi kesenangan kawannya itu dengan meluangkan waktu apa bila suatu saat seorang sahabatnya itu membutuhkan pertolongannya.
Rexa melangkah di sepanjang jembatan Siti Nurbaya sementara yang hadir di situ hanya manusia yang berkelompok, jarang menemukan orang dalam keadaan pergi sendiri sepertinya. Rexa menciptakan banyak tatapan dan senyuman orang yang menyuruh mampir di tempat penjualan pisang panggang, jagung panggang dan sebotol teh botol. Diam-diam Felly tersenyum geli melihatnya berjalan menuju pembatasaan jembatan seraya saat itu Felly masih dalam masa meliput berita.
“Haaa.., ngapain lu Rexa mondar mandir kayak stika aja..? masih pengintaian atau acara mencari inspirasi..? Hai.., loh di panggil nggak nyahut, maklum Felly yang badanya seperti bodigar mulutnya masih tertutup helm..
“Hai Fell, loh kok disini?”
“Kebetulan aku ada job bagian sini.”
"Waw kebetulan sekali Fell, aku sendirian, tuh orang pada pasangan,”
”We.. maunya, aku kan kerja Rex,”
”Iya aku tahu apakah aku bisa membantumu?”
”Apa yang akan kamu bantu?”
”Oh ya tema kamu kesini apa Felly?”
”Ne..ntar lagi kan malam minggu, pasti banyak pasangan muda-mudi memadu kasih disini, kecuali aku he.. he.
”Woh jomblo gersang...”
Selama pengintaian, Felly dan Rexa saling berbagi informasi sesuai dengan apa yang mereka lihat, baik dari keadaan yang sopan sampai pada tingkat ketidak wajaran sepasang muda mudi yang belum di ikat pernikahan.
Malam semakin larut, Felly dan Rexa melanjutkan pengintaian di sepanjang pantai Padang, suasana semakin heboh dengan adanya pertunjukan band lokal, tak heran malam yang mengisyaratkan hujan di meriahkan dengan kerlipan mercun menandakan malam minggu makin asik yang menikmati, dan makin terjepit bagi yang tidak menikmati, karena apabila hujan angkot sangat sulit di dapati karena sesak.
Tepatnya pukul sembilan malam, Felly mengajak untuk mentraktir Rexa di kafe Wanita, suasana Bali ala kota Padang, disana mereka mendiskusikan hasil pantauan tadi. Sungguh jauh berbeda cara pandang Felly memandang dengan cara Rexa memantau, setelah di perlihatkan hasilnya maka Felly seolah diam seribu bahasa.
”Ne.. Felly hasil ku tadi, gimana menurutmu...?”
Sesaat setelah Felly membaca..
“Haaa..???”
“Haaa?, maksudnya apa Felly..?”
Mata Felly tertuju jauh menerobos dinding mata Rexa.
“Aku tak percaya, kamu menulis ini..?, tiada dalam fikiranku memantau ini..”
”Yang jelas ngomong dong..!”
”Dari sudut pandang yang bagai mana kamu mengambil ini..” Felly sungguh terharu, seakan apa yang ia baca barusan adalah pukulan yang berarti membangunkan matanya yang mulai sepuluh watt.”
”Hoi... yang jelas dong aku tak faham apa yang kamu maksudkan.”
”Ini Rexa, sebenarnya oleh pimpinan pusatku, ide dan cara kamu menulis inilah yang diharapkan pada kami, kamu menulis sesuatu yang belum pernah di tulis orang.”
”Kalau kamu?”
”Aku hanya menilai dari sisi moral dan adat.”
”Di gabungkan saja gimana Felly, biar ceritamu dengan ceritaku sangat berkaitan, toh tujuannya sama kan?”
”Emang boleh?”
”Ya.. iyalah, kan kamu yang bawa saya untuk mengekor kerjamu, walaupun aku meminta di awal.”
Sepintas dalam pandangannya yang menuju titik pantai, teringat olehnya catatan yang masih terputus oleh sakitnya, melanjutkan biografi sahabatnya itu. Rexa bertekat sebelum tahun 2010 ini habis ia harus selesaikan semua tugas yang masih terbangkalai, novel, cerpen, biografi, segala macam tulisan yang akan di perlombakan.
Hanya 15 menit di kafe Wanita, Rexa mengajak pulang Felly, walaupun jarak rumah berjauhan, tapi vespa telah menelusuri langkah awal dan akhir Rexa sampai di pintu rumah, tapi kalau felly tidak langsung pulang, justru ia kembali lagi kekantornya menyetor berita yang ia dapat hari ini.
Setiba dirumah, sepaket laptop putih menarik perhatian Rexa, berusaha menuangkan apa yang ia dapat seharian tadi pada narasi, sebagai bahan tambahan tulisannya nanti.
Walaupun saat ini kelahiran anak Leni Marlina telah memasuki dua bulan, Rexa belum juga ada waktu berkunjung menemui sahabatnya itu, karena kerja makin hari makin menumpuk serta sakit yang juga tak enggan jauh dari dirinya.
Di penghujung bulan Maret 2010 Rexa di percayai oleh salah satu PH Jakarta untuk membuat proposal film perjuangan pahlawan nasional asal Sumatera Barat yang bekerja sama dengan salah satu karyawan stasiun tv lokal, walaupun belum resmi jadi salah satu personil kru film dan belum adanya surat keputusan mutlak Rexa dengan senang hati menjalani tugasnya itu. Satu paket proposal telah siap di buat, yang tinggal hanya aplikasi di lapangan, menawarkan kepada pejabat-pejabat. Selama membuat proposal, ada suatu kebanggaan yaitu saat memperingati hari kematian pahlawan nasional Bagindo Aziz Chan bertepatan pada hari ulangtahun Rexa, dalam hatinya menyeru pilu bercampur haru.
”Asik..akhirnya hari ulang tahunku bertepatan dengan kematian Bagindo Aziz Chan, 19 Juli.., seumur hidupku tak satupun yang peduli dengan hari lahirku, apakah lupa, atau.., ah biarlah yang jelas aku sedikit bahagia, sekurang-kurangnya pihak keluarga Bagindo Aziz Chan mengingat tragedi itu, tapi kalau di tanya dalam hatiku, sebenarnya aku ingin merasakan kawan-kawan membuat pesta kecil, hadiah yang banyak, bahkan makan yang enak-enak..wah kapan ya?”
Selama keinginan Rexa untuk menulis proposal yang kedua, ada saja yang membuat dirinya tidak mau melanjutkan menulis proposal itu, secara sepihak tidak terlihatnya keseriusan pada kru, dan kerjanya tiada modal sedikitpun, termasuk pada saat harus memutuskan untuk melanjutkan ketahap tinggi.
Kejenuhan yang memuncak, membuat Rexa malas melakukan itu semua, ia berusaha untuk menghibur diri pergi ke Bukittinggi tepatnya di lapangan jam gadang, berharap bisa berkumpul dengan komunitas punk, anak jalanan, pengamen untuk membuka kembali inspirasi yang terkunci oleh kejenuhan dalam mengolah proposal. Pertengahan April Rexa di hubungi oleh rekan kerjanya dahulu untuk bertemu sekaligus mengenalkan suaminya.
Pukul 19.40 di Kafe Aceh Ulak Karang Padang, secangkir kopi khas Aceh berawal pertemuan itu, sosok pria berdarah Aceh, berparas ke Arab-Araban memberanikan diri menyapa Rexa..
”Assalamu’alaikum Ukhti..?” bahasa Arab yang masih menyangkut di anak lidahnya menyapa Rexa dengan riang.
”Wa’alaikumussalam Akhi..!” kebetulan Rexa punya besic bahasa Arab yang di dapatnya pada perguruan tinggi pada jurusan sastra Arab, menawarkan diri untuk bisa bekerjasama dengan nya di salah satu komunitas kebencanaan di lapai, tanpa basa basi Rexa yang suka sekali dengan dunia bencana, mulai bencana cintanya yang kandas ditengah jalan sampai kepada cintanya di ujung pelaminan. Batanggang membuat dirinya kembali menggoreskan keluakaan hatinya yang ntah kapan ia bisa bertahan dengan menjadikan dirinya manusia yang berkarater, bukan hanya menahan kantuk yang menghantui sampai pada impiannya untuk bisa menjadi pembicara handal, penulis profesional dan menjelajahi dunia dengan lentiknya ujung pena.
=========================================================