Jumat, 15 April 2011

DPD-RI: RUU Intelijen Harus Akomodasi Perlindungan dan Kebebasan Warga Negara

KOPI, Komite I Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menekankan agar Rancangan Undang-Undang (RUU) Intelijen Negara harus mengakomodasi kebutuhan perlindungan dan kebebasan warga negara. Menghindari kemungkinan penyalahgunaan kegiatan intelijen, Komite I DPD mengusulkan pasal/ayat khusus dalam RUU Intelijen Negara yang mengatur hak-hak korban sebagai wujud kewajiban negara untuk memulihkan status warga negaranya.
“Jika terjadi penyalahgunaan kegiatan intelijen yang merugikan warga negara, baik materiil maupun non-materiil, maka negara wajib melindungi warga negaranya, antara lain, melalui kompensasi dan rehabilitasi, guna pemulihan status korban,” ujar Ketua Tim Kerja (Timja) RUU Intelijen Negara Farouk Muhammad (asal Nusa Tenggara Barat). Ia membaca draft pandangan dan pendapat Komite I DPD terhadap RUU Intelijen Negara dalam Sidang Pleno Komite I DPD.
Persoalannya, pasal/ayat dalam RUU Intelijen Negara belum mengelaborasi persoalan hak asasi manusia dan demokrasi, terutama perlindungan dan kebebasan warga negara. “Berarti, RUU Intelijen negara belum menyeimbangkan antara kebutuhan membentuk kerangka kerja demokratik dan menguatkan kapasitas dinas-dinas intelijen,” sambungnya.
Acara dipimpin Ketua Komite I DPD Dani Anwar (DKI Jakarta) yang didampingi dua wakilnya, Eni Khairani (Bengkulu) dan Ferry FX Tinggogoy (Sulawesi Utara), di Ruangan Komite I DPD Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (4/4). Sidang pleno membahas dan mengesahkan pandangan dan pendapat Komite I DPD atas RUU Intelijen Negara, selain membahas RUU Desa.
RUU Intelijen Negara diinisiasi Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Dani menyatakan, Komite I DPD menyampaikan pandangan dan pendapatnya sebelum Komisi I DPR dan Pemerintah membahas RUU Intelijen Negara. “Sebelum Sidang Paripurna DPD tanggal 8 April, Komite I DPD menyampaikan pandangan dan pendapatnya terhadap RUU Intelijen Negara.”
Pada bagian lain pandangan dan pendapatnya, Komite I DPD menegaskan, selama ini beberapa regulasi gagal menguatkan jejaring kerja intelijen sebagai pilar sistem pertahanan dan keamanan negara. Regulasi-regulasi juga gagal menjadi kerangka kerja yang demokratis, sehingga kegiatan intelijen tidak mengimbangi perlindungan dan kebebasan warga negara dengan penguatan kapasitas dinas-dinas intelijen.
Dinas-dinas Intelijen
Di negara-negara demokratis, menurut Komite I DPD, pembagian kerja dinas-dinas intelijen menjadi empat kategori, yakni intelijen nasional, intelijen strategis, intelijen militer, dan intelijen keamanan. Dalam RUU Intelijen Negara, penyelenggaraan intelijen negara dilakukan dinas-dinas intelijen intelijen TNI, intelijen Polri, intelijen Kejaksaan, dan intelijen kementerian/lembaga atau pemerintah daerah.
Farouk memaparkan, dinas-dinas intelijen memiliki kewenangan khusus melakukan kegiatan intelijen yang agresif jika memerlukan informasi yang hanya diperoleh melalui metode langsung mengancam, membatasi, dan/atau menghilangkan perlindungan dan kebebasan warga negara. Kegiatan intelijen yang agresif terutama menghadapi elemen-elemen yang memenuhi empat syarat.
Empat syarat tersebut, yaitu bekerja bagi kepentingan asing atau musuh seperti spionase, menunjukkan permusuhan terhadap konstitusi dan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara seperti separatisme dan ektremisme, mendorong konflik primordial, serta menggunakan cara-cara kekerasan untuk suatu perubahan seperti terorisme dan pemberontakan bersenjata.
Farouk menjelaskan tiga pertimbangan utama yang melandasi kebutuhan untuk menyusun regulasi tentang intelijen negara, yakni pertimbangan strategik dan substantif, pertimbangan politik, dan pertimbangan hukum. Pertimbangan strategik dan substantif menyangkut kebutuhan mendesak untuk mengembangkan intelijen negara yang profesional guna mengatasi kompleksitas ancaman keamanan nasional.
Pertimbangan politik menyangkut tindakan intelijen dalam proses konsolidasi demokrasi di Indonesia yang memungkinkan transparansi dan akuntabilitas keseluruhan sistem intelijen negara. “Sistem intelijen negara harus berubah, dari watak kedinasan yang tertutup, represif, dan melayani kepentingan rezim, ke watak yang terbuka, akuntabel, responsif, dan melayani kepentingan bangsa Indonesia.”
Terakhir, pertimbangan hukum yang menyangkut pengaturan yang tegas tapi terbatas terhadap kegiatan spesifik intelijen negara. Kegiatan spesifik tersebut mencakup metode-metode dinas intelijen yang bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi serta mengancam masyarakat demokratis dan hak asasi manusia selama proses konsolidasi demokrasi di Indonesia.
Komite I DPD menghendaki pelarangan disertai sanksi terhadap pempolitisasian intelijen, bahwa personil intelijen harus nonpartisan, netral kehidupan politiknya, tidak menyatakan preferensi pilihan politiknya, dan tidak terlibat kegiatan politik praktis. “Melarang personil intelijen menjadi anggota/pengurus partai politik dan mengikuti terlibat kegiatan politik praktis, serta tidak menjadi alat kekuasaan suatu partai politik.”
Pelarangan tersebut selengkapnya menjadi kode etik intelijen, yang meliputi antara lain ketaatan kepada negara, konstitusi, dan lembaga negara; ketaatan kepada hukum dan peraturan perundang-undangan, penghormatan terhadap hak asasi manusia, dedikasi terhadap pelayanan publik yang efisien dan efektif, menjaga kerahasiaan, netralitas politik; tidak mempengaruhi dan dipengaruhi partai politik, aparat negara, individu, kelompok, media, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga perekonomian; tidak melakukan tindakan represif dan pemaksaan lainnya kecuali melaksanakan keputusan pengadilan, tidak menjadi anggota organisasi kemasyarakatan di luar intelijen, tidak bekerja karena sentimen ras, agama, dan ideologi; tidak menyalahgunakan kekuasaannya, dan menghindari penggunaan dana-dana publik yang semena-mena.
Dalam pandangan dan pendapatnya, Komite I DPD menyinggung manajemen sumberdaya manusia dinas-dinas intelijen, yaitu sistem rekrutmen dan promosi yang berdasarkan prestasi. “Dengan kode etik intelijen, diharapkan terwujud suatu etos kerja yang didukung manajemen sumberdaya manusia intelijen yang mengutamakan profesionalisme, merit system, serta penghargaan dan sanksi.”
Ruang Lingkup
Dalam pandangan dan pendapat Komite I DPD, kegiatan intelijen menghasilkan berbagai produk intelijen yang bertujuan untuk meningkatkan kesiagaan negara. Peningkatan kesiagaan negara berarti menghilangkan dan/atau mengurangi kejutan-kejutan operasional dan taktis elemen-elemen musuh negara yang berpotensi merusak atau melemahkan keamanan nasional.
Komite I DPD mengusulkan, cakupan keamanan nasional terbatas masalah dalam negeri, luar negeri, pertahanan, dan keamanan, yang rujukannya adalah kedaulatan politik, integrasi teritorial, keselamatan bangsa, dan perdamaian dunia. Ruang lingkup tidak menafikan kebutuhan negara mengantisipasi masalah lainnya yang menjadi fungsi, tugas, dan wewenang kementerian/lembaga dan pemerintah daerah.

Tidak ada komentar: